Tak lama kemudian Donna muncul diruang tamu. “Wah ada tamu… eeee Tante Faizah ya?” serunya sambil mencium tangan Umi, kemudian cipika - cipiki.
“Nah… Donna ini saudara kembarnya Donny Zah,” kata Bunda sambil menguisap - usap tangan Umi.
“Owh… sekarang saya jadi ingat semuanya. Donny ini diadopsi oleh sahabat Kang Rosadi yang pengusaha tajir dan menetap di Bangkok itu kan?” tanya Umi kepada Bunda.
“Betul. Orang tua angkat Donny itu sudah pada meninggal. Lalu harta mereka diwariskan kepada Donny semua, berdasarkan surat wasiat dari ayah angkat Donny,” sahut Bunda.
“Ohya… kamu kok bisa ketemu sama Lita ini di mana Don?” tanya Bunda.
“Di Singapore Bun. Dia kan bekerja di salah satu perusahaanku yang di Singapore. Kalau perusahaan yang di Bangkok sudah kujual semua, tinggal rumah saja yang akan tetap kupertahankan. Dan ternyata yang membeli asset - assetku di Bangkok itu anak Ayah dari istri pertamanya.”
“Wah… terkadang dunia ini terasa kecil sekali ya. Saking kecilnya, Donny bisa ketemu sama Lita kok malah di Singapore. Padahal kalian itu satu kakek dan satu nenek dari pihak ayahmu Don,” kata Bunda.
“Lalu gimana nih? Bunda setuju kalau Adelita ini kujadikan calon istriku?”
“Setuju. Setuju banget,” sahut Bunda.
“Tante Faizah aslinya dari Lebanon kan?” tanya Donna kepada Umi.
“Betul, “Umi mengangguk sambil tersenyum.
“Hebat dong Donny… punya calon istri berdarah campuran Indonesia - Lebanon,” kata Donna bernada memuji. Tapi aku tidak tahu apakah ucapan Donna itu datang dari hati tulusnya atau sebenarnya cemburu? Entahlah. Yang jelas, biar bagaimana pun Donna takkan bisa kujadikan istri.
Kemudian Bunda mempersilakan Umi dan Adelita unrtuk makan bersama di ruang makan. Aku pun ikut masuk ke ruang makan, di mana makanan sudah dihidangkan di atas meja makan.
“Kok masakan Padang semua. siapa yang masak Don?” tanyaku kepada Donna.
Donna nyengir dan menyahut, “Yang masak ya warung nasi Padang lah.”
“Ohooo… kirain kamu yang masak.”
Lalu kami makan bersama. Donna duduk di sebelah kananku, Adelita duduk di sebelah kiriku. Bunda dan Umi duduk di depan kami, terbatas meja makan.
Dua jam kemudian mobilku sudah kupacu menuju kampung Adelita kembali. Dengan hati yang tenang dan nyaman. Karena tiada rahasia lagi tentang hubunganku dengan Adelita.
Hari pun mulai malam ketika mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Umi Faizah.
Setelah berada di dalam rumah tua yang masih kokoh dan terawat itu, Adelita berkata kepada ibunya, “Aku pengen lihat Umi main sama Bang Donny. Biar bisa belajar tentang soal yang satu itu. Biar nanti kalau udah jadi istri Bang Donny, aku bisa meladeninya dengan baik.”
“Iiiih kamu ada - ada aja Lit. Kalau ditonton sama kamu, malah umi jadi salah tingkah nanti,” sahut Umi sambil menoleh padaku dengan senyum di bibir sensualnya.
Aku pun memegang tangan Adelita sambil berkata, “Pada waktu foreplay kamu jangan masuk dulu. Tapi pintu kamarnya takkan dikunci. Nanti setelah kami benar - benar main, kamu boleh masuk, ya Sayang.”
Ucapan itu kulanjutkan dengan kecupan mesra di bibir Adelita.
“Iya deh… umi setuju,” kata Umi Faizah.
Lalu Umi masuk ke dalam kamarnya, sementara Adelita menarik tanganku ke dalam kamarnya. Di situ ia membisiki telingaku, “Bang… maafkan aku ya. Aku sudah membohongi Abang… supaya Abang dan Umi lancar melaksanakan skenarioku.”
“Maksudmu berbohong dalam soal apa nih?” tanyaku.
“Sebenarnya aku gak lagi mens.”
“Ohya?! Kalau begitu sekarang aku bisa main dong sama kamu.”
“Iya. Tapi di kamar Umi aja ya. Biar seru…” sahut Adelita sambil menggelitik pinggangku, “Ayo Abang duluan aja masuk ke kamar Umi. Aku mau ganti baju dan bersih - bersih dulu.”
Aku mengangguk, “Iya… tapi kamu jangan masuk dulu ya. Biarf Umi tidak salah tingkah dipelototin olehmu nanti.”
“Iya… iyaa…”
Lalu aku keluar dari kamar Adelita dan masuk ke dalam kamar Umi.
Kulihat Umi sedang melepas baju jubah hitam dan jilbabnya yang berwarna hitam juga. Ketika dia sudah tinggal mengenakan beha dan celana dalam, aku menyergapnya dari belakang. Dengan dekapan erat di pinggang Umi.
“Donny gak capek seharian nyetir terus tadi?” tanya Umi sambil melepaskan baju kausku.
“Nggak Umi,” sahutku, “Soalnya Umi sangat menggiurkan. Membuatku lupa segalanya,” sahutku pada saat Umi sedang menurunkan celana jeansku sampai terlepas dari kedua kakiku.
“Donny juga bukan sekadarf tampan, tapi juga seksi,” kata Umi sambil memelorotkan celana dalamku sampai terlepas dari kedua kakiku. Lalu menarik tanganku ke arah ranjang besinya.
Di atas ranjang besi itulah Umi melepaskan beha dan celana dalamnya. Kemudian menggumuliku dengan segala kehangatan dan kebinalannya.
Aku pun tak mau kalah. Kugumuli Umi dengan segenap gairah birahiku yang sudah berkobar kembali ini. Bahkan pada suatu saat, wajahku sudah berhadapan dengan kemaluan Umi yang luar biasa enaknya ini.
Ketika aku mulai menjilati memeknya dengan lahap sekali, Umi mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas rambutku yang berada di bawah perutnya.
“Aaaaahhhh… Dooooon… Dony pandai benar jilatin memek sih… enak sekali Doooon… “rintih Umi sambil meremas - remas rambutku terus.
Terlebih lagi setelah aku memusatkan jilatanku di kelentitnya yang agak besar itu (sebesar kacang kedelai), Umi semakin klepek - klepek dibuatnya. Dan ketika jari tengahku dijebloskan ke dalam liang memeknya, ternyata sudah basah sekali. Ini salah satu yang menyenangkan dari Umi. Memeknya cepat basah, mungkin karena birahinya gampang dibangkitkan.
“Umi mau posisi doggy?” tanyaku.
“Iya,” sahut Umi, “Ayahnya Lita dulu paling seneng posisi ini. Donny seneng nggak?”
“Aku sih semua posisi seneng. Apalagi sama Umi yang memeknya enak banget,” sahutku sambil menepuk - nepuk pantat gede wanita setengah baya itu.
Lalu… sambil berlutut kubenamkan penis ngacengku ke dalam liang memek Umi.
Terdengar nafas Umi, “Aaaaaaahhhhh…”
Lalu, sambil menumpukan kedua tanganku ke bokong gede Umi, aku pun mulai memompakan batang kemaluanku di dalam liang memek yang legit dan seolah menyedot - nyedot ini.
Pada saat itulah Adelita muncul, melangkah masuk ke dalam kamar ibunya ini. Ia mengenakan kimono yang terbuat dari bahan handuk putih polos. Tapi setelah berada di dalam kamar Umi, Adelita melepaskan kimono itu, sehingga tubuhnyha langsung telanjang bulat. Lalu Adelita naik ke atas ranjang besi ibunya sambil berkata, “Kirain masih pemanasan, ternyata sudah mulai main ya?
“Iiii… iyaaa…” sahut Umi yang sedang kuentot dalam posisi doggy ini.
“Umi,” kataku, “Adelita berbohong tuh. Ternyata dia gak lagi mens…! Dia cuma ingin menyenangkan Umi, lalu pura - pura lagi mens segala.”
“Oh ya udah… jadi malam ini kita senangkan Donny ya Lit.”
“Iya Umi… ini yang disebut posisi doggy ya Umi?”
“Iya Sayang. Supaya tidak membosankan, semua posisi boleh dicoba.”
Adelita cuma termangu melihat ibunya sedang kuentot ini. Sambil mengusap - usap memeknya sendiri. Mungkin Adelita terangsang juga melihat aku sedang mengentot ibunya ini.
Sesaat kemudian, Adelita bahkan berlutut di samping kananku, sambil mengusap - usap memeknya. Aku pun mengerti apa tujuannya mendekatiku dalam suasana seperti ini. maka sambil tetap mengentot Umi, tangan kananku mngelus -elus memek Adelita yang terasa hangat ini, sementara tangan kiriku bertumpu ke buah pantat gede Umi.
Ini memang menimbulkan sensasi tersendiri, karena aku sedang menikmati dua memek sekaligus. Mengentot memek Umi sambil mengelus - elus dan menyodok - nyodok memek Adelita dengan jari tengahku.
Cukup lama aku melakukan ini semua. Sementara Umi tidak membatasi suara rintihannya lagi. Dilepoaskannya rintihan - rintihan histerisnya, meski Adelita ikut mendengarkannya.
“Dooon… duuuh Doooon… kontolmu luar biasa enaknya Dooon… entot terusss Dooon… entoooooltttt… entoooooootttt… aaaaa… iyaaaaa… iyaaaa… entooottttttttt… entoooooootttt…”
Sementara memek Adelita pun sudah basah sekali, karena kusodok - sodok terus dengan jari tengahku.
Akhirnya Umi ambruk disertai pekik tertahannya, “Aaaaa… aaaahhhh… !”
Aku mengerti bahwa Umi sudah orgasme. Batang kemaluanku pun terlepas dari liang memeknya, karena Umi ambruk tengkurap di atas kasur.
Dengan sigap aku cepat berganti haluan. mendorong dada Adelita sampai celentang. Lalu kurenggangkan sepasang paha putih mulusnya, sambil meletakkan moncong penisku di mulut memek Adelita yang tampak kemerahan. Dan… kudorong penisku sekuat tenaga… blesssss… baru masuk sedikit, maklum memek Adelita baru “dipakai” lima kali waktu masih berada di Singapore tempo hari.
Kudorong lagi penis ngacengku sampai masuk setengahnya.
Dan mulailah aku mengentotnya perlahan - lahan, dalam jarak pendek - pendek dulu.
Setelah liang memek Adelita mulai beradaptasi dengan ukuran penisku, mulailah aku mengentotnya secara normal, sambil menlumat bibirnya yang ternganga terus.
Sesaat kemudian, Adelita pun mulai merintih - rintih, “Baaaaang… duuuuuh… Baaaaang… di Indonesia baru sekali ini Abang menyetubuhiku lagi, ya Bang… oooooh… ini luar biasa enaknya Baaaaang… Bang Donny… aku sangat mencintaimu Baaaaaaang… ooooooo… oooooh Baaaaang…”
Sementara Umi Faizah mulai celentang sambil mengusap - usap memek tembemnya. Seolah menantangku, bahwa Umi siap untuk dientot lagi …!
Tapi tentu saja aku harus “menyelesaikan” Adelita dulu. Kalau Adelita sudah orgasme, baru penisku bisa pindah ke memek Umi lagi.
Selanjutnya aku mulai gencar mengentot memek Adelita, sambil menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Di saat lain, jilatan dan gigitan kecilku pindah ke ketiak Adelita yang menyiarkan harum deodorant mahal (mungkin dibekalnya dari Singapore).
Waktu gencar - gencarnya mengentot Adelita, aku masih sempat juga menepuk - nepuk memek tembem Umi Faizah yang menelentang di samping anaknya. Terkadang kusodok - sodok juga liang memek Umi dengan dua jari tangan kananku, jari tengah dan telunjukku. Liang memek yang sudah becek itu malah lancar saja disodok - sodok dengan dua jari tanganku.
Adelita memang belum banyak mengenal sex. Sehingga belum tahu juga bagaimana caranya untuk mengulur kedatangan orgasmenya. Baru belassan menit aku menyetubuhinya, Adelita sudah berkelojotan. Lalu mengejang tegang. Dan terasalah kedutan - kedutan liang memeknya, disusul dengan membanjirnya lendir libidonya, membasahi liang memeknya yang sudah merekah laksana bunga mekar.
Ketika Adelita sudah terkapar lemah lunglai, aku segera pindah ke atas perut Umi yang masih tersenyum - senyum centil sambil mengusap - usap memek tembemnya.
Umi menyambut “kembali”nya aku dengan merentangkan sepasang pahanya lebar - lebar. Aku pun meletakkan “topi baja”ku tepat di mulut memeknya yang ternganga dan kemerahan itu. Lalu kudorong dan… bleeessssssss… melesak amblas ke dalam liang memek Umi Faizah yang masih basah licin ini.
Umi pun menyambutku dengan peljukan hangatnya di leherku. Lalu menempelkan sepasang bibir sensualnya di bibirku, disusul dengan lumatan dan isapannya yang berlangsung lama sekali. Sehingga ketika aku mulai mengentot memek aduhainya, bibirku seolah direkat oleh sepasang bibir dan lidah Umi yang tak mau melepaskannya.
Umi memperlihatkan agresifitasnya lagi. Mulai mengayun pinggulnya lagi, dalam bentuk gelombang lautan di tengah samudera, terkadang dalam bentuk ombak bergulung - gulung menuju pantai.
Goyangannya ini mirip gerakan pinggul perempuan Arab yang tengah menarikan belly dance. Karena perutnya pun bergetar - getar erotis, membuatku semakin bersemangat untuk mengentotnya habis - habisan.
Lalu… rintihan - rintihan erotisnya berlontaran lagi dari mulut Umi. “Dooon… aaaaah… Dooon… aaaaaaaahhhhh… Doooon… kontolmu memang luar biasa Doooon… luar biasa enaknyaaaaa… entottt terusssssss Dooon… entoooooooot teruuuuussssssss… entoooooootttth …
Terlebih setelah aku menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan dan harum parfum khas timur tengah, semakin menggila juga rintihan - rintihannya. Bahkan ketika aku berusah mencupang lehernya, Umi malah mendekap kepalaku, seolah jangan dilepas lagi cupanganku ini.
Mungkin Umi senang kalau lehernya disedot sekuat tenaga, sampai menimbulkan bekas merah kehitaman ini.
Karena Umi menghendakinya, maka aku pun tak canggung - canggung lagi untuk menyedot - nyedot lehernya sekuat mungkin, sehingga meninggalkan totol - totol merah kehitaman sebesar uang logam limaratusan. Sudah lebih dari lima totol membekas di lehernya.
Lalu aku pindah untuk mencupangi toket gedenya. Juga Umi tampak suka sekali. Sehingga bekas totol - totol merah itu bukan hanya di lehernya saja, melainkan juga di sepasang toket gedenya…!
Tampaknya Adelita sudah duduk sambil tersenyum - senyum menyaksikan perbuatanku “ngerjain” uminya.
Begitu lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga akhirnya Umi kelojotan lagi, dengan mata terp[ejam - pejam. Lalu ia mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… disusul dengan gerakan liang memeknya yang seolah seekor ular yang tengah membelit batang kemaluanku, disusul dengan kedutan - kedutan yang mengiringi meluapnya lendir libido, membuat liang kemaluan Umi jadi semakin becek.
Cepat aku pindah lagi ke atas perut Adelita. Mengentotnya lagi dengan gairah birahi yang belum mereda.
Dan akhirnya aku memuntahkan air maniku di dalam liang memek Adelita.
Crotttt… crooooooootttt… crooootttttttt… crotttt… croooottttttt… crotttt… crooootttt…!
Lalu kami terdampar di pantai kepuasan.
Dan akhirnya kami bertiga tertidur pulas, dalam keadaan masih telanjang semua.
Esok paginya, setelah mandi aku bersiap - siap untuk pulang ke kotaku.
Tapi Umi mencegahku, “Nanti… jangan pulang dulu. Umi mau masakin makanan khas Lebanon deh buat Donny.”
Aku mengangguk, sambil ingin tahu juga seperti apa masakan Lebanon yang sedang dimasak oleh Umi itu.
Adelita pun tampak ikut membantu uminya di dapur.
Maka sambil menunggu masakan Lebanon siap, aku rebahan di atas dipan kayu jati beralaskan tikar, di teras depan rumah Umi.
Baru saja beberapa menit aku rebahan di atas dipan kayu jati itu, tiba - tiba tampak seorang wanita tinggi montok melangkah di pekarangan depan dan menghampiriku sambil mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum…”
Aku spontan bangkit dan menyahut, “Alaikum salam.”
Lalu aku turun dari dipan kayu jati itu dan berseru ke dalam, “Lita… ada tamu nih… !”
“Yaaa…” sahut Adelita dari dalam rumah.
Lalu Adelita muncul dan berseru, “Tante Neni… !”
Adelita mencium tangan wanita tinggi montok itu, lalu cipika - cipiki.
Lalu Adelita menoleh padaku, “Bang kenalin nih, Tante Neni… adik ayahku, berarti adik ayah Abang juga.”
“Lho… ini siapa Lit?” tanya wanita yang kira - kira sebaya dengan Umi itu, sambil menunjuk padaku yang sudah berdiri di depannya.
Adelita menyahut, “Ini… anak Uwa Rosadi, Tante.”
“Ya Tuhaaaan! Kamu anak Kang Rosadi?” seru wanita yang dipanggil Tante Neni itu. Sambil mengelus - elus rambutku. Aku pun mencium tangannya, lalu membiarkan wanita itu mencium pipi kanan dan pipi kiriku.
“Siapa namamu Nak?” tanya wanita yang ternyata tanteku itu.
“Donny Tante,” sahutku.
Adelita menambahkan, “Dia anak kembar Uwa Rosadi yang diadopsi oleh pengusaha dari Bangkok itu, Tante.”
“Ooooh… iya… iyaaaa…! Saudara kembarnya yang bernama Donna itu kan?”
“Betul Tante,” sahutku dengan sikap sopan.
Tante Neni geleng - geleng kepala sambil berdecak - decak, “Cek… cek… cek…! Waktu masih bayi kamu kan diadopsi oleh sahabat ayahmu, Don. Sekarang tau - tau sudah gede gini. Masya Allooooh…”
“Umi mana?” tanya Tante Neni kepada Adelita.
“Ada. Lagi masak di dapur,” sahut Adelita, “silakan masuk ke dalam Tante.”
Tante Neni masuk ke dalam. Lalu terdengar suara Umi sedang ngobrol dengan Tante Neni di dapur. Sementara aku mengajak Adelita ke dalam kamarnya. Kukeluarkan amplop besar dari dalam tasku. Amplop yang sudah berisi segepok uang dollar Amerika pecahan 100 USD.
“Ini uang untuk dibagi dua dengan Umi nanti, ya Sayang,” kataku sambil menyerahkan amplop coklat muda berisi segepok uang dollar Amerika itu.
Adelita melihat isi amplop itu lalu berkata, “Bang… ini uangnya banyak banget?!”
“Nggak apa - apa. kamu kan pasti banyak kebutuhan selama di sini. Umi juga mungkin membutuhkanduit itu. Nanti tukarin dulu duitnya di money changer kalau mau dibelanjakan ya.”
“Ya Bang. terima kasiiih…” sahut Adelita dilanjutkan dengan ciuman mesranya di bibir dan di sepasang pipiku.
Setelah menyimpan amplop berisi uang itu, Adelita berkata, “Aku mau bantuin Umi dulu di dapur ya Bang.”
Aku mengangguk. Lalu keluar lagi dari kamar Adelita. Duduk - duduk lagi di atas dipan jati itu. Sambil memperhatikan keadaan di sekitar rumah bergaya zaman kolonial Belanda ini.
Sepi sekali suasananya. Hanya sesekali ada motor yang melintas. Tidak ada satu pun mobil yang lewat.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana kalau aku harus tinggal di kampung sesunyi dan selengang ini.
Tiba - tiba Adelita muncul di ambang pintu, “Bang mari kita makan berjamaah. “ajaknya.
Aku pun berdiri, lalu mengikuti Adelita menuju ke ruang makan.
“Ayo Don makan dulu, biar jangan jajan di jalan nanti,” kata Umi sambil menunjuk ke makanan Lebanon hasil masakannya.
“Ini apa Umi?” tanyaku ke wadah persegi panjang. Isinya seperti nasi, tapi dicampur entah dengan apa. Hanya ada taburan seledri di atasnya.
“Ini nasi pilaf. Nasi yang sudah diaduk dengan bihun,” sahutnya. “Kalau ini namanya kefta, terbuat dari daging kambing muda yang dicincang lalu diaduk dengan bumbu.” Umi menunjuk ke gumpalan daging cincang yang ditusuk oleh tusukan sate, tapi tiap tusuk hanya ada segumpal daging cincang sebesar telor bebek, yang tampaknya dimatangkan dengan arang membara seperti sate.
“Masakan Lebanon sebenarnya banyak. Tapi di sini sulit mencari bahannya. Nah… kita makan seadanya aja ya,” kata Umi.
Aku langsung mengambil daging cincang yang ditusuk oleh tusukan sate itu, sudah gak tahan ingin mencobanya. Ternyata enak sekali.
“Wah… kefta ini enak sekali Umi,” kataku sambil meletakkan sisa gigitanku di piring. Lalu mengambil nasi pilaf yang dicampur merata dengan bihun itu. Dan mulai makan bersama.
“Nanti kalau Donny menikah dengan Lita, umi akan masakin bermacam - macam masakan Lebanon. Kan teman umi yang berasal dari Lebanon banyak juga. mereka semua sudah pada jadi warganegara Indonesia,” kata Umi sambil menuangkan nasi pilaf ke piringnya.
Buatku, sebenarnya makanan yang kami santap ini termasuk amat sederhana. Makan nasi pilaf hanya dedngan satu macam teman nasinya, ya kefta ini. Soalnya aku sejak kecil dibiasakan makan dengan banyak teman nasinya, waktu aku masih tinggal di Bangkok.
Tapi untuk menyenangkan Umi, berkali - kali kukatakan enak, enak dan enak. Biar Umi merasa senang dan bahagia. Bahkan kalau tidak ada Tante Neni, mungkin aku akan berkata, enak Umi… tapi lebih enak memek Umi…! Hahahahaaaa…!
Pada waktu aku masih makan, Adelita berkata padaku, “Bang… rumah Tante Neni ini searah dengan jalan pulang Abang nanti. Bisa kan beliau numpang sama Abang?”
“Boleh,” sahutku sambil melirik ke tanteku yang berperawakan seksi abis itu.
Hmmm… apakah aku ini benar - benar berjiwa incest, sehingga aku selalu tergiur oleh famili dekatku sendiri? Enyahlah. Yang jelas pada waktu makan bersama ini, pikiranku ngeres terus. Malah bertanya - tanya di dalam hati, seperti apa ya Tante Neni yang tinggi montok itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?
Padahal jelas Tante Neni itu adik kandung ayahku almarhum. Tapi mungkin karena sejak bayi sampai dewasa aku tidak pernah berjumpa dengan keluarga Bunda mau pun dengan keluarga almarhum Ayah. Sehingga begitu bertemu, aku merasa seperti berjumpa dengan orang asing.
Beberapa saat kemudian, seperti yang sudah diminta Adelita, Tante Neni sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sudah kuhidupkan mesnnya. Sementara Umi dan Adelita berdiri di samping kanan mobilku.
“Ati - ati di jalan ya Bang,” kata Adelita sambil memegangi pintu di sebeah kananku, yang jendelanya masih terbuka.
Umi pin berkata, “Sering - sering datang ke sini ya Don.”
Aku cuma mengangguk sambil kiss bye (cium jauh). Kemudian mobilku meninggalkan pekarangan rumah bergaya zaman kolonial Belanda itu. Umi dan Adelita melambaikan tangannya, yang kubalas dengan lambaian tangan juga. Lalu jendela kaca ditutup semua setelah menyalakan AC. Dan mobilku mulai menginjak jalanan berluibang penuh lumpur sejauh 20 kilometer.
“Namanya jodoh begitu ya Don. Dengan Lita malah pertama kalinya berjumpa malah di Singapore,” ucap Tante Neni yang saat itu mengenakan gaun hitam yang terbuat dari sutera hitam polos, dengan manik - manik di sekitar lehernya. Berbeda dengan Umi yang senantiasa memakai baju jubah dan berjilbab, Tante Neni inki tidak mengenakan hijab dan baju muslimah.
“Iya Tante,” sahutku.
“Terus kawinnya kapan?” tanyanya.
“Masih lama Tante. Masih banyak yang harus diurus. Lita juga masih dipertahankan untuk tetap bekerja di Singapore,” sahutku.
“Iya. Donny juga harus belajar dulu dong… belajar menggauli istri, supaya istrinya puas. Hihihiii…”
“Hehehee… iya Tante. Emangnya Tante mau ngajarin aku?”
“Hihihihiiii… Donny… ada - ada aja. Masa mau diajarin sama tantemu sendiri?”
“Tapi… aku mau diajarin kalau sama Tante sih. Soalnya Tante… seksi banget sih.”
“Masa sih?!” cetus Tante Neni bernada senang mendengar pujianku. Mudah - mudahan umpan pancingku mendapat hasil…!
“Serius Tante. Tadi begitu melihat Tante… wow… ada wanita seseksi itu… siapa ya? Eeeeh… ternyata Tante adik kandung Ayah.”
“Iya. Ayahmu kan punya adik empat. Yang adik langsung, ya ayah Lita itu. Kemudian dari ayah Lita ke tante. Dari tante ke Tante Tita, lalu yang bungsu Tante Yani.”
“Iya Tante,” sahutku.
Mobilku tidak bisa bergerak cepat, karena banyak lubang yang harus dihindari, kalau bisa. Kalau tidak bisa, ya hajar saja. Karena mobilku tidak bisa berlari cepat, aku jadi sempat memegang paha Tante Neni yang masih tertutup gaun sutedra hitamnya. Sambil berkata, “Ya Tante yaaa… ajarin aku please…
Tante Neni terdiam. Lalu bertanya dengan nada serius, “Mau kapan belajarnya?”
“Sekarang aja. Mumpung kita lagi sama - sama gini,” sahutku sambil memijat - mijat paha gempal yang sedang kupegang, tapi belum bisa memegang langsung, baru sebatas memegang terhalang oleh gaunnya.
“Ya udah. Nanti aja di rumah tante ya.”
“Emangnya di rumah Tante gak ada orang lain?”
“Ada. Pembantu.”
“Emangnya Tante gak punya suami?”
“Nasib tante sama dengan ibunya Lita. Suami tante sudah meninggal dua tahun yang lalu.”
“Owh. Tante punya anak?”
“Punya tiga orang. Cowok dua orang, cewek seorang. Tapi mereka pada jauh. Yang cowok ada yang di Medan, ada yang di Surabaya. Yang cewek di Jakarta.”
“Pada kerja semua?”
“Yang cowok sih iya. Pada kerja. Kalau yang cewek masih kuliah di Jakarta.”
“Terus Tannte sendirian terus di rumah?”
“Kan ada pembantu yang nginep di rumah.”
Lalu kami terdiam sejenak.
Tapi tangan Tante Neni tidak diam. Tangannya merayap ke arah ritsleting celana jeansku, sambil berkata, “Kayak gimana sih penis cowok yang harus diajarin ini.”
Meski Tante Neni baru memegang ritsleting celana jeansku, si johny langsung bereaksi. Jadi menegang dengan cepatnya. Dan ketika berhasil menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku, penisku sudah benar - benar ngaceng.
“Waaaaw…! “pekik Tante Neni, “Segede dan sepanjang ini kontolmu Don…! Sudah ngaceng pula… !”
“Soalnya udah ngebayangin dijeblosin ke dalam memek Tante. Hihihiiiii… jangan marah tante ya.”
“Masa sih? Emangnya tante ini seperti apa di dalam pandangan Donny?”
“Pokoknya Tante sangat menggiurkan di mataku.”
Tante Neni tampak senang mendengar ucapanku. Lalu ia menarik gaunnya ke perutnya, sisusul dengan penurunan celana dalamnya sampai di lutut. Dan menarik tangan kiriku, lalu menempelkannya di permukaan memeknya yang bersih dari jembut, sehingga terasa benar tembemnya memek Tante Neni ini. Jauh lebih tembem daripada memek Umi.
“Waaaah… Tante… nanti mau dikasihin sama aku memek Tante ini?” tanyaku sambil mengusap - usap permukaan memek Tante Neni.
“Iya. Nanti tante kasih sama Donny… sampai benar - benar puas.”
“Hahaaayyyy! Mimpi apa aku tadi malam ya? Tau - tau bakal ketiban rejeki nomplok !”
“Tapi rahasiakan ya Don. Jangan sampai Lita tau.”
“Tentu aja harus kurahasiakan Tante. Percaya deh, mulutku bukan ember bocor,” sahutku sambil tetap anteng menggerayangi memek Tante Neni, karena belum bisa tancap gas di atas jalan yang berlubang - lubang penuh lumpur ini.
Namun tak lama kemudian mobilku sudah dekat dengan jalan aspal yang mulus. Tante Neni pun tgahu itu. Lalu ia menjauhkan tanganku dari memeknya. Kemudian ditariknya celana dalamnya ke tempat semula. Tapi gaunnya masih tersingkap sampai perutnya. Sehingga paha gempal dan putih mulusnya seolah dipamerkan padaku.
Di dalam hati, aku berkata, untung tadi pagi aku gak ngentot Umi dan Adelita lagi. Sehingga aku punya power sekarang, buat ngentot tanteku yang tinggi montok ini. Bahkan mungkin aku mampu menyetubuhinya dua atau tiga set nanti. Pokoknya aku akan menyetubuhinya sepuasku, seperti yang dia katakan tadi.
Tak lama kemudian mobilku sudah menginjak jalan aspal. Sehingga aku bisa melarikan mobilku dengan kecepatan tinggi. Tapi aku tidak mau ngebut, karena takut SIM internasionalku dicabut oleh polisi.
Begitu mobilku berada di atas jalan aspal, Tante Neni berkata, “Dari sini rumah tante hanya duapuluhdua kilometer Don. Kalau jalanan sepi gini sih gak sampai setengah jam juga nyampe.”
“Iya Tante. Aku udah gak sabar nih. Pengen merasakan indahnya menggumuli Tante yang seksi abis gitu.”
“Tante juga udah horny Don. Udah kebayang digumulin sama cowok tampan dan masih sangat muda seperti Donny. Kontolnya gagah pula… ya gede ya panjang… hmmm kebayang…”
Meski sedang melarikan mobil dalam kecepatan yang lumayan tinggi, aku masih sempat menggerfakkan tangan kiriku yang nganggur (karena mobilku matic), untuk merayapi poaha Tante Neni yang dipamerkan terus itu. Terasa padat sintal paha Tante Neni ini.
Namun pada suatu saat Tante Neni menepiskan tangan kiriku, lalu menurunkan kembali gaun hitamnya, untuk menutupi sepasang kakinya yang indah dan membangkitkan nafsu birahiku itu.
“Rumah tante sudah dekat Don,” kata Tante Neni, “Setelah billboard reklame itu cuma dua rumah lagi… rumah tante yang ketiga setelah reklame susu murni itu.”
Mendengar ucpaan Tante Neni itu kupelankan kecepatan mobilku. Papan reklame itu pun sudah terlewat. Kemudian Tante Neni menyuruhku membelokkan mobil ke pekarangan rumah yang tidak terlalu besar, tapi tampak artistik bentuknya, dengan gaya yang sedang ngetrend di masa kini, gaya minimalis.
Mobilku bisa dimasukkan ke pekarangannya, lalu kuhentikan di depan pavilyun seperti yang disarankan oleh Tante Neni.
Tante Neni turun duluan, lalu membuka kunci pavilyun itu sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku pun turun dari mobil, lalu masuk ke dalam pavilyun seperti yang diminta oleh Tante Neni.
Lalu Tante Neni berkata, “Lihat ya… itu kan ada pintu. Nah… pintu itu sebenarnya menuju ke kamar tante. Nanti tante buka pintu itu dari sana. Donny masuk aja ke kamar tante kalau pintunya sudah dibuka. Kita harus agak rahasia - rahasiaan. Takut si bibi tau, entar nafsu pula setelah melihat tante bawa cowok setampan ini.
Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum.
“Tunggu sebentar ya, tante mau masuk ke rumah dulu,” kata Tante Neni sambil melangkah ke luar lagi, ke depan mobilku. Lalu kututupkan pintu pavilyun dari dalam, sekaligus menguncikannya, sambil menunggu pintu menuju kamar Tante Neni itu dibuka.
Tak lama kemudian pintu itu dibuka oleh Tante Neni dan menyuruhku masuk ke kamarnya lewat pintu itu.
“Nanti malam tidur di sini aja ya. Biar bisa abis -abisan sama tante nanti malam,” kata Tante Neni sambil melepaskan gaunnya, lalu menggantinya dengan kimono berwarna orange.
“Boleh, “aku mengangguk.
“Nah… kalau begitu tante akan mengijinkan si bibi pulang sekarang. Karena nanti malam tante ada yang jagain… keponakan yang tampan ini,” ucapnya sambil mengecup pipiku.
Agak lama Tante Neni meninggalkanku. Sayup - sayup kudengar suara Tante Neni berbicara dengan seorang wanita. Pasti itu suara pembantunya.
Aku pun duduk di sofa berwarna coklat tua, sebagai satu - satu nya sofa yang berada di dalam kamar Tante Neni ini.
Akhirnya Tante Neni muncul dan menghampiriku, “Sekarang aman sudah. Dia sudah pulang ke kampungnya. Besok sore baru kembali lagi ke sini,” kata Tante Neni.
“Kenapa Tante seperti takut benar sama pembantu?” tanyaku.
Tante Neni menjawab, “Bukan takut. Tante hanya menghindari tersebarnya gossip mengenai diri tante. Soalnya si bibi itu paling suka nyebar gosip yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Sedangkan tante di daerah ini terkenal sebagai wanita yang baik dan disegani.”
“Owh begitu ya. Aku juga menganggap Tante sebagai wanita baik dan… menggiurkan,” sahutku sambil berdiri dan merangkul pinggang Tante Neni ke dalam dekapanku.
Tante Neni tersenyum dengan wajah cantiknya yang dekat sekali dengan wajahku. Lalu semakin dekat, sehingga pori - pori kulit wajahnya kelihatan jelas di mataku. Dan akhirnya tiada batas lagi ketika ia memagut bibirku ke dalam ciuman dan lumatan hangatnya…!
Cukup lama Tante Neni melumat bibirku, sampai akhirnya ia menarik badanku menuju bed lebarnya. Di situlah ia melepaskan kimono, bra dan celana dalamnya. Lalu menelungkup di atas bed, seolah ingin memamerkan betapa gedenya bokong tanteku itu.
Aku pun menghampirinya, lalu menepuk - nepuh kedua buah pantatnya yang gede itu sambil berkata, “Pantat Tante gede banget.”
Yang cuma dijawab dengan ketawa centil tanteku itu. Sementara aku berpikirf, Tante Neni berbokong gede banget gitu, pasti enak kalau kuentot dengan posisi doggy…!
Tapi Tante Neni lalu menelentang di atas bed sambil mengusap - usap memek tembem itu dengan tangan kanannya dan meremas - remas toket dengan tangan kirinya, dengan senyum yang sangat menggoda.
“Tante nggak percaya kalau kamu belum pengalaman dalam soal perempuan. Bahkan mungkin kamu sudah lebih berpengalaman daripada tante, karena duitmu yang berlimpah ruah, membuatmu bisa melakukan apa saja,” kata Tante Neni ketika aku sedang melepaskan baju kaus, celana jeans dan celana dalamku.
“Pokoknya yang terpenting bisa merasakan memek tembem yang sangat indah dan menggiurkan ini,” kataku sambil menepuk - nepuk memek Tante Neni.
Tante Neni pun merentangkan kedua paha putih gempalnya, seolah memberitahu bahwa ia ingin memeknya kujilati.
Dan memang mulutku langsung menyeruduk memeknya tanpa banyak basa - basi lagi. Lalu menjilati mulut memeknya yang agak ternganga karena kedua pahanya dipentang lebar sekali. sementara jemari tangan kiriku langsung menggesek - gesek kelentitnya yang lebih kecil daripada itil Umi Faizah.
“Oooo… ooooooh… dari cara menjilati memek aja udah keliatan… kamu udah pandai mengoral memek Don… ooooohhhh… luar biasa enaknya… elus terus itil tante Don… oooooohhhh… enak sekali… Dooonny…”
Dalam tempo singkat saja liang memek Tante Neni terasa sudah basah sekali. Sehingga aku pun tak mau mengulur waktu lagi.
Aku merayap ke atas perutnya yang kempes, meski tubuhnya montok. Lalu kuletakkan moncong penisku yang lalu dipegangi pula oleh Tante Neni, untuk menempatkan pada “sasaran tembak” yang tepat.
Lalu dengan sekuat tenaga kudorong penisku… dan… blessss… terbenam amblas ke dalam liang memek yang empuk dan hangat ini…!
Tante Neni menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya, sambil berkata setengah berbisik, “Kontolmu gede banget Don… pasti mantep digenjot sama kontol segede dan sepanjang ini sih. Ayo entot sepuasmu Don… mau sepuluh set juga ta ladeni. Hihihiiiii…”
Sambil mulai mengentotnya, kusahut, “Wow… ternyata memek Tante legit begini ya?”
“Legit? Emangnya dodol?!”
“Heheheee… memek Tante sih jauh lebih enak daripada dodol,” sahutku yang kulanjutkan dengan menjilati leher Tante Neni disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sementara entotanku mulai kugencarkan.
“Kontolmu juga luar biasa enaknya Don,” ucap tante Neni, “Ooooh… Dooon… kalau begini sih tante pasti ketagihan sama kamu nanti.”
“Gampang Tante… kalau kangen sama aku tinggal call aja nanti… duuuh… memek tante ini enak banget…” ucapku terengah sambil meremas toket gedenya Tante Neni. Dan… diam - diam aku membuktikan suatu reaksi… bahwa setiap kali kusentuh ketiaknya, Tante neni mengejut - ngejut. Mungkin ketiak Tante Neni ini termasuk sangat peka baginya.
Dan aku paling suka mengeksplore bagian peka di tubuh pasangan seksualku. Maka ketika entotanku mulai gencar, kujilati ketiak kiri Tante Neni sambil meremas toket kanannya.
Benar saja. Ternyata ketiak Tante Neni merupakan bagian yang sangat peka di tubuhnya. Begitu aku menjilati ketiaknya, Tante Neni langsung menggeliat - geliat sambvil berdesah dan merintih erotis, “Ooooo… oooo… oooooohhhhh… Dooooon… oooooooh… ini luar biasa enaknya Doooon… entoooot teruuuusssss…
Tante Neni gedebak gedebuk terus sambil mencengkram sepasang bahuku kuat - kuat, seolah mau meremukkan tulang - tulangnya.
Terlebih setelah kedua tanganku sibuk meremas - remas dan mempermainkan pentil toket gedenya… bahkan terkadang kutepuk - tepuk toket yang lebih gede daripada buah pepaya itu.
Di saat lain kugigit - gigit ketiak tanteku yang memang menggiurkan ini. Terkadang juga kujilati dan kusedot - sedot ketiak yang mulai membasah dan memancarkan aroma yang merangsang nafsuku ini.
Namun pada suatu saat Tante Neni berkelojot - kelojot sambil memejamkan matanya erat - erat. Hmmm… pasti dia mau orgasme. Maka kupercepat entotanku sambil merfemas - remas toket gedenya sekuatku. Tante Neni tak peduli dengan remasanku di toketnya. Ia bahkan memekik lirih, “Dooooonnnnniiii…
Tante Neni menggelepar, lalu mengejang tegang… tegang sekali. Lalu terasa liang memeknya berkejut - kejut indah… membuatku ingin menikmatinya dengan mendiamkan batang kemaluanku tertanam di dalam liang memek yang empuk tapi legit ini.
“Aaaaaaaaaahhhhhhh… “akhirnya Tante Neni menghembuskan nafasnya yang tertahan selkama beberapa detik itu.
“Kenapa tante? Sudah orgasme ya?”
Tante Neni merangkul leherku ke dalam pelukannya. Lalu menyahut, “Iya Sayaaaang… luar biasa nikmatnya… terima kasih yaaa… “disusul dengan ciuman ketatnya di bibirku “… mwuuuuuaaaaah… !”
Aku tunggu beberapa detik, sampai muka pucat Tante Neni berdarah lagi.
Lalu aku melanjutkannya dengan entotan perlahan. Terasa liang memek Tante Neni jadi becek. Tapi itu adalah becek sehabis orgasme. Dan aku suka memek yangf bcek paska orgasme begini. Karena aku merasa telah memperoleh kemenangan, bisa membuat Tante Neni orgasme dan memeknya menjadi becek.
Tante Neni pun menyadari hal ini. Ia bertanya setengah berbisik, “Becek ya Don? Mau dikeringkan dulu memeknya biar jangan becek?”
“Iiiih… jangan Tante. Aku malah seneng ngentot memek yang sudah becek setelah orgasme gini… biarin aja…” sahutku terengah, karena sudah mulai mempercepat entotanku…
Café itu sudah mulai dibuka. Di hari grand opening saja café itu tampak ramai sekali. Bunda dan Donna jadi sibuk mengelola café itu. Dengan penuh semangat kelihatannya. Dan aku senang menyaksikan semuanya itu.
Namun ketika Bunda dan Donna sedang sibuk - sibuknya, aku teringat seseorang yang seolah terabaikan olehku. Anak Tante Ratih yang bernama Imey itu. Aku ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat yang sepi dan nyaman.
Tapi apakah aku sudah bertekad mau menikahinya?
Tidak.
Setelah dipikir - pikir, aku akan menunda segala rencana pernikahanku. Karena usiaku pun baru akan menginjak 21 tahun. Aku bisa saja menyetubuhi cewek mana pun. Tapi untuk menikah secara resmi, nanti dulu. Mungkin kalau usiaku sudah benar - benar dewasa, barulah aku akan menikah secara resmi.
Lagian kalau pun aku harus menikah nanti, aku tak mau menikah dengan cewek yang masih ada hubungan keluarga denganku. Kalau menikah dengan familiku sendiri, akan terkesan bahwa aku sudah tidak laku lagi, sehingga harus menikah dengan familiku sendiri. Baik Adelita mau pun Imey kan masih famili dekat denganku.
Kalaulah mereka ingin kecipratan hartaku, baik… akan kulimpahi mereka dengan harta. Tapi jangan ingin menikah secara sah denganku. Karena calon istriku haruslah cewek yang tiada hubungan darah denganku. Bahkan menurut teori, perkawinan antar famili dekat itu punya resiko akan melahirkan anak yang cacat.
Selain daripada itu, aku punya rencana lain yang masih kusimpan di dalam hatiku. Bahwa aku ingin agar Donna menikah duluan, barulah aku akan menikah belakangan.
Lalu bagaimana dengan Adelita?
Aku akan menempatkannya di perusahaanku dan meningkatkan taraf kehidupannya. Tapi soal menikah, harus kupikirkan dulu matang - matang.
Lalu bagaimana dengan anak Tante Ratih yang sudah “ditawarkan” untuk dijadikan istriku itu?
Inilah anehnya. Bahwa ketika aku sudah merencanakan untuk mengajak Imey jalan - jalan ke tempat yang tenhang dan romantis, tiba - tiba handphoneku berdering.
Kulihat yang call nomor yang tidak kukenal. Biasanya aku tak pernah mengangkat nomor yang tidak kukenal, karena di zaman sekarang ada saja yang diam - diam mau menipu lewat hape. Tapi kali ini kuangkat juga call itu.
“Hallo…”
“Hallo… ini Donny kan?”
“Iya. Ini dengan siapa ya?”
“Aku Gandhi Don…!”
“Gandhi Bangkok?”
“Iya.”
“Kok kamu pakai nomor Indonesia?”
“Aku memang sedang berada di kotamu Don.”
“Ohya?! Di mana? Di hotel?”
“Bukan. Aku kan punya tante di kota ini. Adikku juga tinggal di rumah tanteku ini, karena dia kuliah di kota ini.”
“Ya udah… kirimkan aja alamat lengkapnya. Aku segera meluncur ke sana.”
“Oke… !”
Lalu alamat lengkap rumah yang ditumpangi oleh Gandhi itu dismskan.
Ini benar - benar kejutan. Bahwa sahabatku dari Bangkok tiba - tiba berada di kota ini.
Gandhi memang sahabat baikku sejak kecil. Karena orang tuanya pun tinggal dan punya usaha di Bangkok. Sebagai sesama orang Indonesia, aku dan Gandhi lalu menjadi sahabat, meski kuliahnya beda universitas denganku.
Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam mobilku yang telah menginjak jalan aspal, menuju alamat rumah yang dismskan oleh Gandhi.
Sekarang aku sudah mulai hafal jalan - jalan di kota ini, karena sering berkeliling dan menghafalkan jalan - jalannya. Memang terdengar aneh juga bahwa aku di usia yang hampir 21 tahun ini baru hafal jalan di kota kelahiranku ini. Maklum sejak bayi sampai dewasa aku tinggal di Bangkok, sehingga aku merasa asing di kota kelahiranku sendiri.
Alamat yang tercantum di sms dari Gandhi itu ternyata sebuah rumah yang cukup megah. Aku pun turun dari mobil, menghampiri seporang wanita setengah baya yang tengah menyirami pot - pot bunga di pekarangan rumahnya. Melihat dari housecoat yang dikenakannya, aku yakin wanita itu bukan pembantu. Karena bahan housecoatnya pun terlihat mahal.
Maka dengan sopan aku berkata dari belakangnya, “Selamat sore Bu.”
Wanita itu tampak agak kaget. Menoleh padaku dan menyahut, “Sore… ooooh… ini sahabat Gandhi yang dari Bangkok ya?”
“Betul Bu. Saya Donny, sahabat Gandhi di Bangkok. Tapi sekarang sudah jadi orang sini,” sahutku sambil menjabat tangan wanita separoh baya yang cantik itu.
“Iya, iya… ayo masuk Don,” ucap wanita itu ramah sambil mendahuluiku melangkah ke dalam rumah megahnya.
Di dalam rumahnya wanita itu berseru, “Gandhi…! Ini temanmu datang…!”
Terdengar sahutan Gandhi dari lantai atas, “Iya Tante… !”
Kemudian terdengar bunyi langkah dari lantai atas menuju tangga dan muncullah Gandhi, sahabat karibku. “Hahahahaaa…! Akhirnya kita ketemu lagi di sini ya?” sambutnya sambil menghambur ke dalam pelukanku. Disusul dengan tepukan - tepukan Gandhi di punggungku.
Kemudian Gandhi mengajakku duduk di ruang tamu. “Tante Sin… ini sahabat karibku yang dari Bangkok tapi kelahiran kota ini.”
Wanita yang dipanggil Tante Sin itu tersenyum dan menyahut, “Iya barusan sudah berkenalan sama tante.”
Kemudian wanita itu masuk ke dalam.
“Dalam rangka apa kamu ke Indonesia Dhi?” tanyaku setelah duduk di sofa ruang tamu.
“Nengok adikku. Sekalian ingin jalan - jalan aja di kota kelahiranmu ini.”
“Kamu kelahiran Semarang kan?”
“Iya. Tapi sama seperti kamu, sejak kecil sudah dibawa ke Bangkok. Sementara adikku tinggal di sini,” sahut Gandhi yang dilanjutkan dengan bisikan, “tanteku kan gak punya anak. Makanya dia maksa ingin merawat dan membesarkan adikku.”
“Ogitu…”
“Nah… itu adikku, baru pulang kuliah,” kata Gandhi sambil menunjuk ke luar. Di mana seorang gadis tampak berjalan di teras depan dan masuk ke dalam.
“Tri… sini… ini sahabatku yang sama - sama tinggal di Bangkok,” kata Gandhi kepada adiknya.
Gadis itu menghampiri Gandhi, lalu menoleh padaku.
Oooo… maaaak! Cantik sekali adik Gandhi itu…!
Memang seperti pepatah China, setinggi - tingginya gunung, pasti ada gunung lain yang lebih tinggi. Kalau kusinonimkan, secantik - cantiknya perempuan pasti ada yang lebih cantik lagi. Ya… tadinya aku merasa Adelita dan Imey sebagai cewek tercantik di mataku. Ternyata adik Gandhi itu… lebih cantik lagi…
Ketika ia berjabatan tangan denganku, adik Gandhi itu menyebutkan namanya, “Gayatri…”
Ooo, pantesan dipanggil Tri… rupanya nama adik Gandhi itu Gayatri.
“Nama ayahku kan Gunadi,” kata Gandhi, “karena itu anak - anaknya berawal dengan hurup G semua. Gandhi, Gayatri dan Galia.”
“Ooo, begitu ya?” sahutku sambil menoleh ke arah Gayatri, “Sudah semester berapa kuliahnya?”
“Baru semester dua Bang,” sahut gayatri dengan senyum manis. Hmm… gak nyangka Gandhi punya adik secantik dan seimut itu. Ramah dan murah senyum pula.
Lalu otakku menghitung dengan cepat. Dan mengambil kesimpulan bahwa usia Gayatri itu delapanbelas tahunan. Otakku pun cepat mengatur rencana. Bahwa seandainya Gayatri bisa kujadikan pacarku, maka Donna akan kujodohkan dengan Gandhi. Hahaha… belum apa - apa sudah punya niat “barter” segala.
Lalu kami bertiga ngobrol ke barat ke timur, sampai akhirnya Gayatri berkata kepada abangnya, “Mas Gandhi… kita nonton yuk. Ada film yang lagi ngetop tuh.”
“Boleh, “Gandhi mengangguk, “Gimana Don? Kamu mau kan nonton bioskop? Mumpung kita masih sama - sama di Indonesia.”
“Ayo…” sahutku sambil mengangguk.
“Kalau gitu, aku mau mandi dulu ya Mas,” kata Gayatri kepada Gandhi.
“Iya. Tapi mandinya jangan pake lama.”
“Nggak lah… eeeh… Tante Sin mau diajak juga?” tanya Gayatri kepada kakaknya.
“Nggak usah lah. Kita bertiga aja. Acara anak muda…”
Beberapa saat kemudian, aku dan Gandhi bersama adiknya sudah berada di dalam mobilku menuju mall yang ada gedung teaternya, yang pernah dimasuki olehku bersama Donna waktu aku baru tiba di kota ini dahulu.
Dari dalam gedung teater inilah aku merasa mulai melangkah di alam baru. Bahwa Gayatri duduk diapit oleh Gandhi di sebelah kirinya, sementara aku di sebelah kanannya. Ketika lampu sudah dipadamkan, tangan kiriku memberanikan diri memegang tangan kanan Gayatri. Mudah - mudahan saja dia tidak menepiskan peganganku.
Ternyata… Gayatri malah meremas tanganku dengan hangat dan lembut. Bahkan ketika remasan tangannya terhenti, aku menjauhkan tanganku dari tangannya. Tapi justru Gayatri yang menarik tanganku pada tempat semula, pada tangan kursi yang kami duduki. Lalu… ia meremas tanganku lagi di kegelapan gedung yang sedang memutar film ini.
Akibatnya, sedikit pun aku tak memperhatikan jalannya kisah di film yang sedang kami tonton kitu. Aku lebih memikirkan indahnya remasa tangan lembut dan hangat Gayatri ini.
Sampai film tamat, aku tidak mengerti apa yang barusan dipertunjukkan di layar putih itu. Lalu aku mengajak mereka makan malam di resto yang ada di dalam kompleks mall itu juga.
Di dalam resto itu, setiap kali aku menatap Gayatri, ia menanggapinya dengan senyum tersipu - sipu.
Dan kebetulan Gandhi mau ke toilet dulu, sehingga aku punya kesempatan untuk mengatakannya, “Tri… sudah punya pacar belum?”
“Belum, “Gayatri menggeleng.
“Kalau begitu aku mau jujur ya… aku suka kamu Tri. Mungkin terlalu cepat aku mengatakannya. Tapi aku takut keduluan sama cowok lain.”
“Jadi ceritanya love at first sight nih?” tanya Gayatri dengan senyum manisnya lagi.
“Iya,” sahutku, “Bisa dijawab sebelum Gandhi keluar dari toilet?”
Gayatri tertunduk sejenak. Lalu menyahut tenang, “Kalau untuk hubungan serius, aku mau. Tapi kalau sekadar pacar - pacaran aja sih gak mau.”
“Tentu saja aku serius Tri. Jujur… belum pernah aku seperti ini. Langsung jatuh hati pada pandangan pertama.”
“Memangnya Bang Donny belum punya pacar?” tanyanya.
“Kalau sudah punya, tentu aku takkan nembak kamu Tri.”
Gayatri tersenyum lagi. Membuat hatiku berbunga - bunga lagi.
“Oke… oke. Jadi sekarang kita jadian ya,” ucapku sambil memegang tangan Gayatri.
Adik Gandhi itu menatapku dengan senyum manis lagi. Lalu mengangguk perlahan.
Tak lama kemudian Gandhi muncul lagi, hampir bersamaan dengan datangnya para waiters yang akan menghidangkan makanan pesanan kami.
“Jadi mau berapa lama kamu tinggal di Indonesia, Dhi?” tanyaku ketika waiters tengah meletakkan makanan pesanan kami di atas meja makan.
Gandhi menjawab, “Sekarang kan hari Selasa ya. Hari Kamis juga aku akan pulang lagi ke Bangkok.”
“Sudah beli tiket pesawatnya?”
“Belum. Besok aja,” sahut Gandhi.
Lalu kukeluarkan uang dollar Amerika pecahan 100 USD dua puluh lembar. Kuberikan semuanya kepada Gandhi sambil berkata, “Ini untuk nambah - nambah beli tiket.”
“Wow… ini sih dipakai buat tiket pulang pergi juga masih banyak lebihnya Don. Thanks ya.”
“Sama - sama. Aku juga bulan dep[an mau ke Bangkok. Mau nengok rumah dan para karyawan yang ditinggalkan.”
“Ajak tuh Gayatri sekalian.”
“Kalau dia mau… boleh aja. Sudah sering ke Bangkok kan?” tanyaku kepada gayatri.
“Baru tiga kali. Aku sih ingin ke Singapore,” sahut Gayatri.
“Pulang dari Bangkok pasti aku mampir di Singapore dulu, karena ada perusahaan juga di sana,” sahutku.
“Donny sih perusahaannya di mana - mana Tri,” kata Gandhi kepada adiknya, “Di Thailand ada, di Singapore juga ada.”
“Yang di Thailand sudah dijual semua Dhi,” timpalku, “Tinggal rumah danb gallery aja yang tidak dijual.”
“Di Singapore ada berapa perusahaan?” tanya Gandhi.
“Hanya dua. Kan yang lain - lainnya sengaja kujual, untuk hijrah ke sini. Ke kota kelahiranku ini,” sahutku.
Lalu kami makan bersama.
Pada saat itu Gayatri duduk berdampingan dengan Gandhi. Sementara aku duduk di depan mereka, terbatas oleh meja restoran. Pada waktu makan itulah Gayatri berkali - kali menatapku dengan senyum manisnya yang seolah memancarkan cahaya gemilang dari sepasang bibirnya. Dan aku jadi salah tingkah, karena masih takut - takut kelihatan oleh Gandhi.
Pada waktu makan bersama itulah Gandhi berkata kepada adiknya, “Donny itu sahabat karibku di Bangkok. Tapi jangan samakan dia denganku. Dia itu pebisnis kelas internasional, sementara aku masih anak kuliahan semata.”
Aku jadi salah tingkah juga mendengar Gandhi mempromosikan diriku. Maka kataku, “Gak usah terlalu berlebihanlah menyanjung diriku Dhi.”
“Kenyataannya memang begitu kok. Hahahaaaa. Donny memang selalu merendah Tri. Dia tak pernah pamer kepada siapa pun. Tapi aku tau benar siapa dia, karena dia itu sahabat karibku.”
Gayatri hanya mengangguk - angguk sambil tersenyum.
“Gandhi… aku mau terus terang padamu ya,” kataku.
“Terus terang tentang masalah apa?”
“Mmm… aku sudah janjian sama Gayatri.”
“Ha?! Kapan jadiannya? “Gandhi terbelalak seperti kaget dan heran.
“Barusan, ketika kamu sedang di toilet.”
“Bener Tri?” Gandhi menoleh kepada adiknya.
Gayatri mengangguk sambil tersenyum..
“Syukurlah, “Gandhi mengelus - elus rambut adiknya. lalu menoleh padaku, “Kamu bisa bikin serangan kilat begitu Don?! Ditinggal ke toilet sebentar saja tau - tau sudah jadian sama adikku.”
“Memang sengaja, aku nembak Gayatri di belakangmu. Supaya Gayatri menerimaku dengan hati yang tulus. Kalau di depanmu, bisa timbul kesan dipaksa olehmu untuk menerimaku.”
“Ooo, aku gak pernah maksa adikku. Apalagi dalam masalah pribadi begitu. Aku sih berusaha demokratis saja. Kecuali kalau adikku berada di dalam bahaya, baru aku akan melindunginya.”
“Jadi kamu sudah merestui hubunganku dengan Gayatri?” tanyaku.
“Iya… aku merestui kalian berdua. Aku malah merasa bebanku jadi berkurang. Karena aku bisa menitipkan adikku padamu. Menitipkan dalam segalanya.”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Dua hari kemudian, aku dan Gayatri mengantarkan Gandhi ke Bandara Soetta. Dan menunggu sampai Gandhi masuk ke pintu keberangkatan internasional.
Di dalam mobilku, waktu pergi ke bandara, Gayatri duduk di belakang. Gandhi duduk di sampingku. Pada waktu meninggalkan bandara, Gayatri duduk di sampingku. Hanya berdua saja dengannya.
Inilah detik - detik yang menyenangkan bagiku. Detik - detik yang membuat batinku berbunga - bunga. Terlebih setelah berada di jalan tol, Gayatri mulai menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku. Sehingga dunia ini seolah milik kami berdua saja.
Biasanya kalau sudah dekat dengan cewek begini, otakku langsung ngeres. Berpikir ke arah seksual. Membayangkan seperti apa cewek itu kalau sudah kutelanjangi.
Tapi kali ini tidak. Dengan duduknya Gayatri di sampingku saja, aku sudah merasa bahagia. Tanpa memikirkan masalah seks sedikit pun.
Terlebih ketika Gayatri mencium pipiku pada saat aku sedang konsen mengemudikan mobilku. Pada saat itulah kupinggirkan mobilku sampai di bahu jalan, menyalakan lampu hazard dan menghentikannya. Hanya untuk mencium bibir Gayatri untuk pertama kalinya…!
Lalu aku berkata sambil meremas tangan halus dan hangatnya, “Aku bahagia sekali Tri. Karena aku telah menemukan cewek yang kucari selama ini.”
“Sama Bang,” sahutnya perlahan, “aku juga merasa bahagia karena telah menjadi cewek Bang Donny.”
Tak lama kemudian aku pun mulai menjalankan lagi mobilku.
“Kita cari makan dulu di kota ya. Perutku lapar,” kataku.
“Hihihi… iya Bang. Aku juga lapar.”
“Gayatri mau makan apa sekarang?”
“Aku sih gak fanatik sama makanan Bang. Mau masaskan Jawa boleh, masakan Padang boleh. Chinese food juga boleh, asalkan yang halal.”
“Ohya Tri… kalau dilihat dari wajah, kulit dan postur, kamu kelihatan kebule - bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”
“Mamaku memang campuran Indo dengan Belgia Bang.”
“Ohya? Pantesan kamu cantik sekali Tri,” kataku.
“Di mana - mana juga cewek sih cantik. Gak mungkin ganteng kan?”
“Tapi jujur aja, kamu adalah cewek tercantik di antara cewek - cewek yang pernah kukenal. Ohya… berarti Gandhi juga ada turunan Indo-Belgia? Kok Gandhi gak kelihatan unsur bulenya?”
“Mas Gandhi itu kakak seayah beda ibu Bang. Ibu Mas Gandhi meninggal beberapa saat setelah melahirkan Mas Gandhi. Kemudian Papa menikah lagi dengan mamaku. Punya anak lagi, aku dan Galia, adikku.”
“Ooo… begitu. Aku sering main dengan Gandhi di Bangkok. Tapi aku belum pernah ketemu sama papa dan mamamu Tri.”
“Nanti kalau aku ikut ke Bangkok, pasti Bang Donny ketemu dengan Papa dan Mama.”
“Kalau Tante Sin itu keluarga dari papamu atau mamamu?”
“Tante Sin itu adik kandung Mama.”
“Berarti dia Indo Belgia juga kan?”
“Iya Bang. Kasian Tante Sin itu. Tidak punya anak, makanya dia maksa agar aku tinggal bersamanya sejak kecil. “Dan aku diperlakukan dengan sangat baik olehnya. Seperti perlakuan ibu kepada anak kandungnya saja.”
“Suaminya ke mana?”
“Suaminya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Sudah tua sih. Tapi kaya raya.”
Tak lama kemudian aku membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan tradisional Jawa. Untuk menyesuaikan dengan Gayatri yang ada darah Jawa dari papanya.
Kemudian kami makan siang di rumah makan itu.
Setelah selesai makan, kubawa Gayatri ke sebuah toko perhiasan yang sangat terkenal di Jakarta. Di situlah kubelikan cincin emas putih bertatahkan berlian berbentuk icon love.
Setelah ada yang ngepas di jari manis Gayatri, aku berkata, “Ini adalah tanda keseriusanku padamu, Sayang.”
Gayatri tersipu dan menyahut, “Terima kasih Bang… cincinnya mahal sekali. Lebih mahal dari harga mobil…”
“Dirimu jauh lebih mahal lagi di hatiku. Aku bahkan merasa dirimu adalah sosok yang paling berharga di dalam hatiku, Beib…”
“Aku juga sangat mencintai Bang Donny,” sahut Gayatri yang disusul dengan kecupan mesranya di bibirku. Tanpa mempedulikan bahwa saat itu kami sedang berada di dalam toko perhiasan.
Begitulah… aku menganggap hubunganku dengan Gayatri merupakan hubungan yang positif. Tanpa mengumbar nafsu birahi. Dan aku cukup bahagia dengan hanya melihat wajah cantiknya. Kemudian memegang tangan halus dan hangatnya. Disusul dengan kecupan mesra di bibir tipis merekahnya.
Mungkin inilah yang disebut cinta sejati. Cinta tanpa dikuasai nafsu sex.
Dan aku bertekad, hanya akan melakukan semuanya di malam pertama pernikahanku dengannya kelak.
Tapi benarkah aku sudah “sesuci” itu, sehingga aku seolah tak peduli lagi pada masalah sex?
Hahahaaa… tidak juga.
Setelah mengantarkan Gayatri ke rumahnya, aku langsung pulang ke rumah Bunda ketika jam tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Café sudah tutup. Bunda pun tampak baru pulang.
“Mana Donna Bun?” tanyaku.
“Sudah tidur,” sahut Bunda, “Kecapean dia. Tadi banyak sekali yang makan di café kita.”
Lalu kupeluk Bunda dari belakang sambil berbisik, “Bunda kecapean juga?”
“Ya begitulah,” sahut Bunda.
“Padahal aku kangen sama memek Bunda…” bisikku.
“Hihihi… sama dong, bunda juga kangen. Tapi Bunda mau mandi dulu ya.”
“Aku juga mau mandi. Ini baru pulang dari Jakarta Bun. Abis nganterin teman dari Bangkok ke Bandara Soetta. Mandi bareng aja ya.”
Bunda menarik pergelangan tanganku ke arah kamar mandi, “Ayolah mandi bareng sama bunda. Udah lama gak ngerasain disabunin sama kamu, Sayang.”
Di dalam kamar mandi Bunda langsung menelanjangi dirinya. Aku pun sama, melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Lalu memeluk Bunda dari belakang, sambil berkata setengah berbisik, “Walau pun aku sudah punya istri kelak, hubungan rahasia kita harus tetap berjalan ya Bun.”
Bunda menyahut, “Iya. Kalau bunda sih jelas takkan mau kawin lai. Jadi satu - satu orang yang bisa meredakan godaan birahi bunda hanya kamu Sayang.”
Pada waktu memeluk Bunda dari belakang inilah tangan kananku mulai merayap ke bawah perut Bunda, sementara tangan kiriku naik ke arah toketnya.
“Terus rencana pernikahanmu dengan anak Oom Zulkifli itu kapan?” tanya Bunda.
“Takkan ada pernikahan dengan siapa pun yang ada hubungan famili dengan kita. Kalau sudah waktunya menikah, aku hanya mau menikah dengan cewek yang tidak ada hubungan darah dengan kita.”
“Ohya? Jadi Adelita mau dijadikan apa?”
“Jadikan simpanan aja sih boleh. Tapi nikah secara resmi aku gak mau Bun. Lagian umurku sekarang baru mau menginjak duapuluhsatu tahun. Nanti aja nikah sih sembilan atau sepuluh tahun lagi.”
“Mmm… sebenarnya bunda juga setuju kalau kamju tidak menikah dengan cewek yang ada hnubungan darah dengan kita. Kesannya seperti gak laku sama orang luar.”
“Lagian menurut para ahli, perkawinan dengan famili dekat itu tidak baik Bun. Bisa menghasilkan keturunan yang cacat.”
“Iya. Dulu bunda juga pernah baca masalah itu. Jadi, pasangan yang ada hubungan darahnya, bisa sama - sama muncul kekurangannya. Sehingga bisa menghasilkan anak yang memiliki kekurangan yang lebih dominan. Syukurlah kalau kamu sudah punya pendirian seperti itu.”
“Iya Bunda,” sahutku yang mulai asyik menyelusup - nyelusupkan jari tangan kananku ke dalam liang kewanitaan Bunda.
“Don…”
“Ya?”
“Udah lama juga kamu gak nyetubuhin bunda ya?”
“Perasaan sih seminggu yang lalu aku masih sempat ngentot Bunda.”
“Oh iya ya. Seminggu serasa tujuh bulan Don.”
“Kalau Bunda ingin kuentot tiap hari, kitanya harus diam di tempat yang terpencil dari kesibukan dong.”
“Terus yang ngurusin café siapa? Tapi gak apa - apa deh seminggu sekali juga. Yang penting bunda dapet jatah darimu secara tyeratur. Karena nafsu bunda ini gede Don.”
Lalu keran shower utama diputar. Air hangat pun memancar dari atas kepala kami. Setelah kepala dan tubuh kami basah, shower dimatikan lagi. Karena kami akan gantian menyabuni. Awalnya Bunda yang menyabuni tubuhku. Kemudian aku yang menyabuni tubuh indah ibu kandungku yang cantik itu.
Pada waktu menyabuni Bunda ini, yang paling menyenangkan adalah waktu menyabuni memeknya yang tembem dan selalu bersih dari jembut ini. Bahkan tak dapat kupungkiri, bahwa setiap kali aku sedang menyabuni memek Bunda, pastilah batang kemaluanku langsung “hidup”. Membesar dan menegang.
Biasanya Bunda kurang suka diajak bersetubuh sambil berdiri di kamar mandi. Tapi kali ini beda dari biasanya. Ketika aku masih asyik menyabuni memeknya, Bunda memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini. Lalu Bunda mundur sampai punggungnya merapat ke dinding. Lalu berkata, “Ayo masukin kontolmu Don…
Bunda menarik penisku ke arah memeknya. Aku menurut saja, melingkarkan lenganku di leher Bunda, sementara Bunda sedang mengarah - arahkan moncong penisku ke mulut vaginanya.
Setelah mendapat isyarat dari Bunda, kudorong penisku sekuatnya. Dan… blesssss… langsung melesak ke dalam liang memek Bunda yang sangat licin oleh air sabun yang belum dibilas itu.
Sebelum mengayun batang kemaluanku, masih sempat aku membisiki Bunda, “Mau nyobain kontol bule nggak Bun?”
“Haaa?! Kontol bule?!”
“Iya. Aku punya teman bule dua orang. Dua - duanya ganteng Bun. Tampang mereka mirip aktor - aktor dari Hollywood deh.”
“Memang kamu sudah bosan sama Bunda, sampai mau ngajak orang bule segala buat ngentot bunda?”
“Bukan gitu Bun. Jujur, aku merasa memperlakukan Bunda secara kurang adil. Aku kan sudah cus sana cus sini, sementara Bunda hanya digauli olehku saja seorang. Coba di rumah ini aja, aku bisa ngentot dua orang. Bunda dan Donna. Sedangkan Bunda kan hanya disetubuhi olehku seorang. Gak adil kan?”
“Ah, sudahlah jangan berpikiran seperti kitu Don. Bunda sih digauli sama kamu seminggu sekali juga sudah puas.”
“Kali aja Bunda ingin mencoba dithreesome atau difoursome. Dientot sama dua orang pasti lebih puas daripada dientot oleh seorang doang Bun. Kebetulan teman - temanku yang bule itu pada seneng sama perempuan setengah baya.”
“Threesome kayak yang di film - film bokep itu?”
“Iya. Bahkan kalau Bunda mau, digangbang juga bisa.”
“Gangbang itu apa Don?”
“Diantre sama cowok lebih dari tiga orang.”
“Iiiihhh… dengernya juga merinding. Udah ah… jangan ngomong kitu lagi. Ayo entotin kontolmu… jangan direndem terus.”
Aku pun mulai mengentot Bunda sambil berdiri dan memeluk lehernya, sementara Bunda mendekap pinggangku erat - erat.
Namun gilanya, ketika aku sedang asyik - asyiknya mengentot Bunda sambil berdiri begini, aku malah membayangkan tengah mengentot Gayatri…!
Tidak! Itu bayangan yang keliru! Aku takkan mengganggu kehormatan Gayatri sebelum dia menjadi istriku yang sah. Dan itu masih lama… sampai Gayatri menggondol S1-nya baru akan menikahinya.
Sementara itu Bunda mulai meringis - ringis. Dan akhirnya berkata, “Lanjutin di atas tempat tidur aja yok. Sambil berdiri begini pegel kaki bunda, Don.”
“Tapi kita kan harus menyelesaikan mandi dulu Bun.”
“Iya,” sahut Bunda sambil memutar keran di warna merah (tanda untuk air panas).
Lalu kami sama - sama membilas tubuh kami sampai bersih dari busa sabun.
AHari demi hari pun berputar dengan cepatnya. Sampai pada suatu sore …
Sore itu aku menerima WA yang agak mengejutkan dari Gayatri. Isinya :- Bang Donny, maafkan aku ya. Aku mendadak harus berangkat ke Semarang karena kakak Papa sakit keras. Aku panik, jadi tidak sempat lagi ngasih tau dan minta ijin pada Bang Donny tercinta. Kalau ada waktu main ke rumah Bang. Kasian Tante Sin sendirian di rumah. Kalau ada teman ngobrol kan bisa hangat suasananya. Syukur - syukur kalau Bang Donny bisa nginep di rumah selama aku di Semarang. Doakan budeku sembuh ya Bang.
Aku sangat mencintaimu,
Gayatri -
Setelah mandi, aku pun berangkat ke rumah Tante Sin (yang kata Gayatri bernama Cynthia tapi lalu biasa dipanggil Sin saja oleh saudara - saudaranya).
Sebelum menuju rumah Tante Sin, aku menyempatkan dulu membeli oleh - oleh untuk tantenya Gayatri itu. Aku sudah mendengar dari Gayatri, bahwa Tante Sin hanya menyukai makanan yang asin - asin, tidak terlalu suka kue - kue yang manis. Karena itu kubelikan beberapa buah burger dan dua buah pizza. Barulah kemudian kutujukan mobilku ke arah rumah Tante Sin.
Hari sudah mulai gelap ketika mobilku berhenti tepat di depan rumah megah Tante Sin.
Pintu pagar besi pun terkunci. Untung ada bel di tiang tembok pintu besi itu. Kupijat tombol bel itu.
Tak lama kemudian pintu depan terbuka. Dan terdengar suara Tante Sin, “Siapa?”
“Donny Tante,” sahutku.
“Oooh… iya… iyaaa… sebentar yaaa…” sahut Tante Sin yang lalu muncul di pintju depan itu, kemudian melangkah ke pintu pagar sambil membawa serangkai anak kunci.
Lalu dibukanya kunci pintu pagar itu dan membukakan pintunya.
“Selamat malam Tante… sudah tidur?”
“Belum lah. Masa jam tujuh sudah tidur. Ayo masuk Don,” sahut Tante Sin yang saat itu mengenakan daster putih bersih namun kelihatan tipis sekali.
“Iya Tante. Sebentar… ada yang mau diambil dulu dari mobil,” kataku sambil balik lagi ke mobil, untuk mengeluarkan dua kantong plastik berisi beberapa burger dan dua kotak pizza.
“Apa ini? Lho… kok repot - repot Don. Hihihiii… Donny tau aja tante suka makanan yang tidak manis begini. Terimakasih yaaa emwuaaaah…” ucap Tante Sin waktu kedua kantong plastik itu kuserahkan padanya, disusul dengan kecupan hangatnya di pipiku
“Kan Gayatri yang ngasih tau,” sahutku agak jengah. Karena kecupannya di pipiku barusan.
“Gayatri udah ngasih tau kalau dia ke Semarang kan?” tanya Tante Sin setelah mempersilakanku duduk di ruang tamu.
“Sudah Tante,” sahutku sambil duduk di sofa ruang tamu.
“Apa dia bilang?”
“Kakak papanya sakit keras. Aku disuruh nengokin Tante, kasian Tante sendirian di rumah, katanya.”
“Iya,” sahut Tante Sin sambil duduk di sampingku di atas sofa yang kududuki. Harum parfum pun tersiar ke penciumanku. Aneh memang… suasana di rumah ini jadi terasa lain bagiku. “Tidur aja di sini ya Don. Biar tante gak kesepian.”
“Iya Tante… Gayatri juga nyuruh aku tidur di sini sampai dia pulang dari Semarang nanti.”
“Baguslah, Gayatri selalu tau pikiran dan perasaan tante. Kalau gitu masukin aja mobilnya ke garasi Don. Biar aman.”
“Iya Tante.”
Aku sudah sering bertamu ke rumah Tante Sin ini. Tapi hanya sebatas duduk di ruang tamu bersama Gayatri. Baru sekali inilah aku masuk ke dalam garasinya. Baru pertama kali ini pula aku melihat sebuah sedan sport built up Jerman berwarna silver di dalam garasi. Ternyata selera Tante Sin tinggi juga rupanya.
Setelah memasukkan mobilku ke dalam garasi yang cukup luas itu, aku diajak duduk di ruang keluarga. “Mau minum kopi?” tanya Tante Sin.
“Boleh Tante.”
“Mau apa? Americano atau espresso?”
“Kalau boleh minta double espresso aja Tante. Wah, ada coffee maker juga rupanya.”
“Iya. Almarhum suami tante kan suka minum kopi, tapi gak mau kopi tubruk. Harus pakai coffee maker terus,” sahut Tante Sin sambil melangkah ke arah coffee maker yang terletak di sudut ruang keluarga.
Tak lama kemudian Tante Sin sudah menghampiriku lagi dengan secangkir espresso yang kuminta. “Ayo diminum… tante juga mau menikmati oleh - oleh Donny nih,” kata Tante Sin sambil mengeluarkan sebuah burger dari kantongnya. “Yang lainnya mau disimpan di kulkas, untuk dihangatkan besok pagi pakai microwave.
“Iya Tante,” sahutku sambil memperhatikan perabotan yang ada di ruang keluarga ini. Membuatku serasa diilhami, untuk memiliki rumah sendiri yang dibangun dari awal sekali, dengan bentuk minimalis seperti kebanyakan rumah masa kini di negara ini. Lalu furniture dan perabotan lainnya harus mengikuti perkembangan zaman, seperti perabotan di dalam rumah Tante Sin ini.
Setelah menghabiskan burgernya, Tante Sin memegang pergelangan tganganku sambil berkata, “Sini yuk…”
Aku pun berdiri dan mengikuti langkah Tante Sin, yang ternyata membawaku ke dalam kamarnya. Kamar yang serba cantik dan kekinian. Lalu Tante Sin menunjuk ke arah dua bed yang berdampingan di dalam kamar itu. Dan berkata sambil menunjuk ke arah salah satu bed, “Nanti Donny tidur di situ ya. Tante di bed yang satunya lagi.
“Nggak… apa - apa Tante? Maksudku… tidur sekamar de… dengan Tante?” tanyaku gagap.
“Nggak apa - apa. Gayatri juga suka tidur di situ, biar ada temen ngobrol menjelang tidur,” sahut Tante Sin dengan senyum yang beda dari biasanya. Senyum yang sangat menggoda.
Tapi aku malah takut. Takut akibatnya nanti.
Memang Tante Sin cantik. Tubuhnya pun nyaris sempurna. Tinggi tegap, dengan dada membusung (mungkin karena toketnya tergolong large), bokongnya pun gede. Tapi pinggangnya kecil, mungkin karena rajin merawat badannya dengan olahraga dan minum obat khusus untuk memelihara keindahan tubuhnya. Dan yang jelas, kulitnya putih sekali, maklum dia wanita Indo - Belgia.
Kalau Tante Sin dibanding - bandingkan dengan Gayatri, mungkin Gayatri menang cantik dan jauh lebih muda. Tapi soal bentuk tubuh dan putihnya kulit, Tante Sin menang.
Lalu kami duduk di ruang keluarga lagi. Tante Sin pun duduk merapat di sebelah kiriku lagi. harum parfumnya berkesiweran di penciumanku. Membuatku bingung campur takut. Takut kalah salah jalan, lalu mengakibatkan rusaknya hubunganku dengan Gayatri. Masalahnya, mencari cewek secantik Gayatri itu susah sekali.
Memang aku tahu bahwa sejak aku sering bertamu ke rumah Tante Sin ini, aku sering melihat tatapan dan senyuman yang “menjurus” padaku. Tapi biasanya aku suka pura - pura tidak melihat apa - apa. Karena aku mendatangi rumah ini untuk Gayatri. Bukan untuk yang lain - lain.
“Donny serius sama Gayatri?” tanya wanita Indo - Belgia itu pada suatu saat.
“Sangat serius Tante.”
“Syukurlah. Gayatri itu sama sekali belum pernah pacaran lho.”
“Iya, dia bilang juga begitu.”
“Terus… sudah ngapain aja sama dia?”
“Ngapain gimana Tante?”
“Maksudnya, apakah hubungan kalian sudah melewati batas nggak?”
“Owh… gak pernah Tante. Paling juga sekadar kissing aja.”
“Baguslah. Tapi tante yakin, Donny terpaksa harus menindas perasaan ke sana kan?”
“Maksud Tante?”
“Kalau Donny cowok normal, pasti membayangkan nikmatnya ML sama Gayatri kan?”
“Aku normal tante. Tapi aku selalu mengusir pikiran sejauh itu.”
“Tapi kamu pasti tersiksa dengan menindas desir nafsumu kan?”
“Yaaa… begitulah Tante. Tapi demi kesucian cinta kami, aku fine - fine aja tuh.”
“Tante punya jalan agar kamu lebih fine lagi.”
“Maksud Tante?”
“Kalau kamu pacaran sama Gayatri, lalu nafsumu bergejolak… salurkan aja sama tante. Jadi misalnya kamu apel sama Gayatri malam hari, besoknya kalau Gayatri sedang kuliah, kamu datang aja ke sini. Biar tante redakan nafsu birahimu.”
“Hihihiii… solusinya kok aneh Tante?”
“Apanya yang aneh? Kamu tentu butuh penyaluran. Sementara tante juga sudah bertahun - tahun tidak disentuh lelaki. Kalau kamu bukan cowok munafik, kamu harus mengakui bahwa saat ini kita saling membutuhkan toh?”
“Tapi aku taku Tante…”
“Takut apa?”
“Takut hubunganku dengan Gayatri jadi rusak nanti.”
“Permainannya harus rapi dong. Kita mesti pandai merahasiakannya, jangan sampai Gayatri tau,” kata Tante Sin sambil memegang ritsleting celana jeansku.
“Hihihiii… Tante…! Mau ngapain?” ucapku sambil berusaha menepiskan tangan Tante Sin. Tapi tangan wanita itu bersikeras ingin menurunkan ritsleting celana jeansku.
Maka akhirnya aku cuma terdiam. Bahkan dengan perasaan ingin tahu, apa yang diinginkan oleh Tante Sin itu sebenarnya.
Aku jadi serba salah ketika batang kemaluanku disentuh dan digenggam oleh tangan wanita 35 tahunan itu (kata Gayatri). Dan Tante Sin berseru tertahan, “Wooow… penismu luar biasa gede dan panjangnya Dooon…! Tante jadi langsung horny niii…”
Tak cuma menggenggamnya. Tante Sin pun menurunkan celana jeans sekaligus dengan celana dalamku. Sehingga batang kemaluanku yang baru menegang ini terbuka penuh di mata adik mamanya Gayatri itu.
Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku benar - benar tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Karena pada dasarnya aku tak mau menyakiti hati siapa pun. Apalagi menyakiti hati Tante Sin yang sudah lama memperlihatkan rasa sukanya padaku, meski belum pernah diucapkan secara lisan. Masalah utamanya, Tante Sin itu pengganti mamanya Gayatri yang berada di Bangkok.
Tapi… apa yang Tante Sin lakukan selanjutnya? Ia merangkak di atas sofa, dengan mulut “menangkap” penisku…!
Ya… ia mengulum dan menyelomoti penisku dengan binalnya, membuatku terhenyak, “Tante…!”
Sebagai jawaban, Tante Sin yang sedang menungging di sebelah kanannku, menarik tangan kananku ke arah bokongnya, sementara tangan satunya lagi dipakai untuk menyingkapkan daster putihnya, sehingga aku langsung bisa menyaksikan bahwa Tante Sin tidak mengenakan celana dalam. Sementara tanganku langsung ditempelkan di belahan pantat gedenya…
Spontan aku lupa segalanya, karena telapak tanganku sedang menempel di antara anus dengan kemaluan Tante Sin.
Tentu aku tahu apa yang harus kulakukan kalau tanganku sudah memegang kemaluan yang bersih dari jembut begini. Kuelus - elus kewmaluan yang terasa masih segar ini. Belum lembek, karena usia Tante Sin baru 35 tahunan. Sementara Tante Sin semakin giat menyelomoti penisku sambil mengalirkan air liurnya ke badan penisku yang tidak terkulum olehnya.
Aku benar - benar sudah lupa segalanya. Karena selomotan Tante Sin begitu cermat dan trampilnya, sehingga dalam tempo singkat saja batgang kemaluanku sudah ngaceng berat. Sementara tanganku semakin asyik memainkan kemaluan Tante Sin yang belum kelihatan di depan mataku, karena memainkannya dari atas bokong gedenya.
Beberapa saat kemudian Tante Sin melepaskan selomotannya. Lalu melepaskan cela na jeans dan celana dalamku, lalu melepaskan dasternya sendiri. Jadi langsung telanjang bulat, karena ternyata di balik daster putih itu tidak ada beha mau pun celana dalam.
Dalam keadaan telanjang bulat itulah Tante Sin duduk di sofa sambil mengangkangkan kedua belah paha putih mulusnya.
Dan aku semakin lupa daratan. Setelah menanggalkan baju kausku, sebagai satu - satunya benda yang masih melekat di tubuhku, aku duduk di atas karpet, di antara sepasang paha Tante Sin yang dipentang lebar - lebar itu. Biarlah… aku cuma berharap semoga tidak terjadi apa - apa dalam hubunganku dengan Gayatri kelak.
Kini giliranku untuk mengoral kemaluan Tante Sin yang setelah diamati dari dekat, betapa indah dan menggiurkannya. Tanpa berpikir panjang lebar lagi kungangakan dan kujilati kemaluan wanita Indo - Belgia yang tembem dan masih kelihatan rapat itu.
“Oooooh… Doooonny… akhirnya impianku mulai jadi kenyataan…! Lakukanlah apa pun yang ingin kamu lakukan, Sayang, “desis Tante Sin sambil mengusap - usap rambutku yang berada di bawah perutnya.
Aku pun semakin bersemangat untuk menjilati memeknya secara habis - habisan. Tante Sin pun merebahkan diri dengan bokong berada di pinggiran sofa. Sehingga memeknya jadi maju ke depan, memudahkanku untuk menjilatinya.
Dan aku tak cuma menjilati memek wanita 35 tahunan itu. Jemariku pun ikut bermain, untuk mengelus - elus kelentitnya, sementara jari tangan satunya lagi kuselundupkan ke dalam liang memeknya lalu digerak - gerakkan di situ.
Karuan saja Tante Sin jadi mendesah - desah sambil meremas - remas rambutku. Bahkan pada suatu saat ia berkata lirih, “Sudah Don… masukin aja penismu Sayang… tante udah ingin merasakan nikmatnya dientot oleh penis panjang gede itu.”
Tanpa banyak cing - cong lagi, sambil berdiri membungkuk kuletakkan kepala penisku di ambang mulut vagina Tante Sin yang putih dan sudah kemerahan itu.
Lalu kudesakkan penis ngacengku sekuat tenaga… uuuuughhhhh… melesak separohnya blessss …!
Tante Sin ternganga, “Ooooooooohhhhhhh… penismu gede banget Don… ini terasa sekali bedanya…”
Aku tidak menyahut, karena mulai asyik mengayun penisku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Sin.
Lalu kenapa gairahku jadi begini menggebu - gebunya? Mungkin karena pengalaman pertamaku dalam masalah seksual, adalah dengan Mama almarhumah. Ibu angkat yang dahulu kukira ibu kandungku itu telah memberiku kenikmatan demi kenikmatan. Untuk yang pertama kalinya aku merasakan nikmatnya liang kewanitaan seorang perempuan, adalah dengan Mama.
Kali ini pun aku merasakan itu. Bahwa menyetubuhi wanita yang usianya jauh lebih tua dariku itu adalah luar biasa nikmatnya.
Tapi pada suatu saat Tante Sin berkata, “Don… pindah ke kamar tante aja yuk…”
“Ayo…”
“Tapi kalau bisa jangan dicabut kontolnya Don. Tante ingin kontolmu tetap berada di dalam memekku. Tapi tante ingin pindah ke kamar. Gimana?”
“Iya,” kataku sambil menarik kedua tangan Tante Sin. Dan meletakkannya di tengkukku. Lalu kuangkat bokong gede wanita itu sambil berdiri tegak. Sambil memeluk pinggang Tante Sin, aku melangkah menuju kamarnya yang telah ditunjukkan tadi.
Lalu kurebahkan dia dengan hati - hati, karena dia ingin agar penisku jangan sampai terlepas dari liang memeknya. Setelah Tante Sin celentang di atas bed, kami bergerak sedikit demi sedikit, menuju bagian tengah bed luas itu.
Dalam posisi klasik (missionary) ini, aku mulai mengayun penisku kembali. Tante Sin pun menyambutku dengan rengkuhan hangat di leherku, kemudian ia menciumi bibirku disusul dengan ucapan lirihnya, “Sejak pertama melihatmu, tante sudah jatuh hati Don. Karena kamu ini tampan sekali. Akhirnya impianku jadi kenyataan sekarang…
“Iya Tante,” sahutku sambil menghentikan entotanku sejenak, “Aku akan menggauli Tante kapan pun Tante mau. Tapi aku mohon, agar hubunganku dengan Gayatri tetap utuh.”
“Soal itu sih dijamin Don. Kalau sedang ada dia, kita harus jauh - jauh aja. Jangan memperlihatkan bahwa kita punya hubungan. Ayo entot lagi…!”
Aku mulai mengayun batang kemaluanku lagi perlahan, sambil berkata terengah, “Tante… uuuugggh… memek Tante ini… enak sekali… masih sempit sekali… legit pula… oooooohhhh…”
“Tante kan belum pernah melahirkan Don. Tentu aja masihb sempit. Tapi… kontolmu juga sangat enak Donny… tante pasti bakal ketagihan nanti…”
“Gampang soal itu sih… uuuuuggggh… nanti kita bisa ketemuan di tempat lain. Jangan di sini. Takut kepergok sama Gayatri… oooooohhhh… Tante… oooooh… memek Tante ini luar biasa enaknyaaaaa…”
Lalu tiada kata - kata lagi yang terlontar dari mulut kami. Hanya desahan nafas dan rengekan erotis Tante Sin yang terdengar, berbaur dengan dengus - dengus nafasku sendiri.
Lama hal ini terjadi. Sementara aku mulai melengkapi aksiku. Karena aku pernah membaca topik tentang kejantanan seorang lelaki. Bahwa lelaki jantan itu antara lain harus pandai memuasi pasangan seksualnya.
Itulah sebabnya aku mulai menjilati leher jenjang Tante Sin, disertai gigitan - gigitan kecil, sementara batang kemaluanku semakin gencar mengentot liang memeknya.
Sehingga Tante Sin mulai merintih - rintih histeris yang terdengar sangat erotis di telingaku.
“Donny… oooooohhhhh… ini adalah persetubuhan yang paling nikmat dalam hidup tante… oooooh… ooooo… oooooohhhhh… tante sayang kamu Doooon… sayang sekaliiii… oooooohhhhh… entot terusss Dooon… entoooot teruuuuussss… entooooottttt… entooootttt …
Aku semakin bergairah setelah mendengar erangan dan rintihan histeris Tante Sin itu. Aksiku bukan hanya mengentot liang memeknya, tapi juga mulutku “membantu” di sisi lain. Setelah puas menjilati dan mengigit - gigit leher jenjangnya, mulutku berpindah sasaran. Untuk mengemut puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku digunakan untuk meremas - remas payudara kanannya.
Semakin merintih - rintih lagi Tante Sin dibuatnya.
“Ooooo… ooooh… Doooon… Dooon… tante sudah runtuh di kakimu, sayaaaang… tante yakin, ini adalah cintaaaaa… tante cinta kamu Doooon… aaaaaah… entot terussss… entoootttt… iyaaaaa… iyaaaaa… cintaaaaa… tante cinta Donny…”
Ketika tangan Tante Sin terjulur ke atas kepalanya, kulihat ketiak kirinya terbuka. Maka dengan sigap kujilati ketiak yang bersih dan harum parfum itu, sementara tangan kiriku memainkan puting payudara kanannya.
Tante Sin pun semakin klepek - klepek disertai erangan - erangan erotisnya, “Doooon… oooo… oooooh Dooooon… ini luar biasa enaknya Doooon… ta… tapi tante udah mau orgasme Dooon… mau lepasssssss… !”
Tante Sin berkelojotan, lalu mengejang tegang… dengan perut sedikit terangkat ke atas… aku pun menancapkan batang kemaluanku, tanpa menggerakkannya lagi. Karena ingin menikmati indahnya liang kewanitaan Tante Sin pada waktu orgasme.
Ya… aku merasakannya. Liang memek Tante Sin terasa mengejut - ngejut, lalu bergerak seperti ular sanca membelit mangsanya.
Pada saat itu tante Sin terpejam sambil menahan nafasnya.
Lalu… nafasnya dihembuskan “Aaaaaaaaaahhhhh…”
Aku yang masih mendiamkan batang kemaluanku, membiarkan Tante Sin mencium dan melumat bibirku. Disusul dengan bisikannya, “Terima kasih Sayang…”
“Sama - sama Tante,” sahutku sambil mengecup sepasang pipinya, “Nanti kalau aku mau ejakulasi, lepasin di mana?”
“Di dalam aja, biar nikmat merasakan semburan air manimu Sayang.”
“Tante ikut kabe?”
“Nggak.”
“Nanti kalau hamil gimana?”
“Biarin aja. Malah tante pengen sekali hamil, mumpung umur tante baru tigapuluhlima. Kalau sudah lewat empatpuluh sih mungkin susah hamil.”
“Nanti kalau Gayatri tau gimana?”
“Tenang aja Don. Tante tau bagaimana cara menyembunyikannya nanti. Ohya… Donny belum ngecrot kan?”
“Belum Tante.”
“Ayo lanjutin lagi. Tante udah pulih lagi nih.”
“Iya Tante,” sahutku sambil mengayun batang kemaluanku kembali.
Penismu panjang sekali Don. Sampai terasa mentok - mentok di dasar liang memek tante.”
“Terus kenapa? Sakit?” tanyaku sambil memperlambat entotanku.
Tante Sin merangkul leherku sambil berkata setengah berbisik, “Iiiih… justru enak sekali Sayaaang…” Ucapan itu disusul dengan ciumannya yang seolah lengket di bibirku.
Aku pun menggencarkan entotanku kembali. Karena liang kewanitaan Tante Sin terasa jadi agak becek, sehingga gerakan batang kemaluanku jadi lancar. Lancar sekali.
Setelah ciuman Tante Sin terlepas, terasa memeknya bergerak - gerak, mengikuti gerakan pinggulnya. Tapi gerakannya hanya membuat memek Tante Sin mendongak dan menunduk. Ini effektif sekali, membuat kelentitnya bergesekan dengan batang kemaluanku terus menerus.
Aku yang sudah mulai tahu di mana titik - titik peka di tubuh tantenya Gayatri itu, lalu melengkapi entotanku dengan jilatan lahap di lehernya yang sudfah keringatan dan memancarkan aroma keringat bercampur harumnya parfum mahal yang dipakainya. Aroma yang justru sangat merangsangku untuk menjilati lebih lahap lagi.
Sementara tanganku pun mulai meremas - remas toket kanannya yang masih lumayan kencang, meski tidak sekencang payudara Gayatri.
Tante Sin pun mulai merintih - rintih histeris lagi, “Dooon… oooo… oooooohhh… Dooon… Doooon… tante cinta dan sayang sekali sama kamu Doooon… tante belum pernah merasakan cinta yang sedahsyat ini pada lelaki lain Dooon… cintaaaa… bener - bener cintaaa… ayo entot terus Sayaaaaaang…
Mendengar rintihan Tante Sin yang makin lama makin keras dan histeris itu, aku pun semakin bersemangat untuk “menggedor - gedor” dasar liang memeknya yang terus - terusan disundul oleh puncak batang kemaluanku.
Sehingga akhirnya Tante Sin berkelojotan lagi. Lalu ia mengejang dengan perut agak terangkat ke atas… pertanda sedang mengalami orgasme.
Tapi aku tak mempedulikannya. Karena aku pun sedang nikmat - nikmatnya merasakan licin dan legitnya liang memek wanoita Indo - Belgia ini. Bahkan mulutku semakin merajalela menyedot - nyedot pentil toketnya, menjilati ketiaknya dan membuat keringatnya tertelan terus olehku, tanpa rasa jijik sedikit pun.
Aku memang sudah tahu trik untuk memperpanjang durasi entotanku. Bahwa ketika aku sedang menyetubuhi pasangan seksualku, pikiranku sengaja ditujukan ke arah sesuatu yang memusingkanku. Ke masalah bisnis yang belum selesai, misalnya. Sehingga dengan sendirinya nikmatnya pergesekan batang kemaluanku dengan dinding liang kewanitaan Tante Sin terlupakan.
Hasilnya selalu saja bagus. Bahwa setelah sekian lamanya aku mengentot liang memeknya, Tante Sin sudah tiga kali orgasme. Tapi aku masih terlalu tangguh untuk diruntuhkan olehnya.
Sementara keringatku sudah mulai membanjir juga. Bercampur aduk dengan keringat Tante Sin. Tanpa kupedulikan.
Bahkan kini giliran Tante Sin yang menjilati leherku, membuat semuanya semakin nikmat dan semakin nikmat saja rasanya.
Karena merasa sudah sangat lelah, akhirnya aku putuskan untuk menuju puncak kenikmatanku sendiri. “Aaa… aku su… sudah ma… mau ngecrot Tante…” ucapku terengah.
Tante Sin spontan menyahut, “Iya Sayang… tante juga sudah mau lepas lagi… ayo barengin Cintaaaaa…”
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Tante Sin menjambak rambutku seolah ingin mencabut sampai ke akar - akarnya, sementara aku meremas sepasang payudaranya sekuatnya… dan batang kemaluanku pun kutancapkan sedalam mungkin, sampai terasa mentok di dasar liang memek Tante Sin.
Pada saat itulah terjadi sesuatu yang indah… indah sekali. Bahwa ketika liang memek Tante Sin berkedut - kedut kencang, penisku pun mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan air maniku di dasar liang memek Tante Sin… crooooottttttt… croootttttttt… crooootttttt… crooottttt…
Lalu kami sama - sama terkapar dan akhirnya terkulai lunglai di pantai kepuasan yang indah dan sangat mengesankan.
Setelah batang kemaluanku terlepas dari liang vagina tante Sin, terdengar ia bertanya, “Kamu pakai obat kuat apa Sayang?”
Kujawab dengan senyum, “Tidak memakai obat apa pun. Manusia semuda aku belum saatnya mengenal obat - obatan Tante.”
“Kamu luar biasa Sayang. Aku sampai tak bisa menghitung lagi berapa kali merasakan orgasme tadi. Mungkin itu yang disebut multi orgasme. Terima kasih Don. Kamu sudah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi tante,” ucapnya, disusul dengan ciuman hangatnya di bibirku.
Aku pun turun dari bed, melangkah ke arah kamar mandi. Untuk kencing dan membersihkan batang kemaluanku. Tante Sin pun mengikutiku dari belakang. Di dalam kamar mandi ia menunjuk ke lemari kaca yang berisi handuk - handuk dan beberapa helai kimono putih yang terlipat rapi. “Itu handuk baru semua. Kimononya juga baru - baru.
“Iya Tante. Terima kasih.”
Akhirnya aku jadi sekalian mandi di bawah pancaran air hangat shower. Tante Sin mandi juga bersamaku. Bahkan dengan telaten ia menyabuni tubuhku, membuatku teringat kepaada Mama almarhumah, yang dahulu rajin memandikanku sejak kecil sampai dewasa. Entah kenapa aku jadi teringat mama pada saat sedang mandi ini.
Karena aku sudah merasakan betapa besar kasih sayang Mama kepadaku, laksana kasih sayang seorang ibu kepada anak kandungnya. Dan semasa Mama masih hidup, aku tak menyangka bahwa beliau itu ibu angkatku. Bergitu juga Papa, kusangka ayah kandungku. Tapi ternyata mereka oranbg tua angkat yang demikian baiknya kepadaku.
Setelah mandi dan mengeringkan tubuh dengan handuk, kukenakan salah satu kimono yang kuambil dari lemari kaca itu.
Sekeluarnya dari kamar aku langsung menuju meja rias, untuk menyisir rambutku yang acak - acakan, bekas dijambak - jambak oleh Tante Sin tadi.
Pada saat menyisir rambut di depan cermin meja rias, pandanganku tertumbuk ke foto yang berbingkai ukiran Jepara di atas cermin rias Tante Sin. Foto Tante Sin berdampingan dengan seorang lelaki tua.
Aku tertegun. Karena lelaki di foto itu adalah… Papa almarhum…! Ya… aku yakin benar itu foto Papa, terlebih setelah memperhatikan dahinya yang ada dua buah tahi lalatnya… itu pasti Papa…!
“Itu foto Tante dengan siapa?” tanyaku sambil menunjuk ke arah foto itu dan berusaha untuk menenangkan diriku sendiri yang mendadak jadi galau tak karuan ini.
“Itu suami tante. Tapi tante hanya jadi istri mudanya. Nikahnya pun hanya nikah siri.”
“Siapa namanya Tante?”
“Namanya Margono. Dia seorang konglomerat yang sukses di Thailand. Meski tante hanya dinikahi secara siri, dia sangat baik pada tante.”
Aku terdiam setelah mendengar nama Papa disebut oleh Tante Sin. Jadi rupanya Papa punya istri muda di Indonesia. Pantasan Papa sering menghilang dari Bangkok, dengan alasan sedang mengurus perusahaannya yang di Singapura. Mungkin pada saat itu Papa sedang asyhik - asyikan dengan Tante Sin di Indonesia.
Pantaslah Tante Sin kelihatan tajir, punya rumah semegah ini, punya sedan sport segala. Bahkan mungkin banyak harta Papa yang dialirkan ke tangan wanita Indo - Belgia ini.
Tapi aku berusaha menenangkan dkiri. Dan berusaha menilai semuanya itu dengan sebijak mungkin, sambil berusaha untuk tetap positive thinking.
Mungkin Papa ingin punya anak yang tidak didapatkannya dari Mama. Namun ternyata dari Tante Sin pun tidak didapatkannya.
“Ayah Gayatri bisa berada di Bangkok pun berkat kebaikan almarhum suamiku itu Don. Ayah Gayatri diberikan modal untuk usaha di Bangkok. Dan sekarang keadaannya jadi lumayan baik lah,” kata Tante Sin lagi.
Aku jadi teringat Gandhi. Dia tak pernah bercerita tentang masalah itu. Mungkin semua itu dirahasiakan oleh ayah Gandhi yang sekaligus ayah Gayatri, karena ibu Gayatri adalah kakak istri muda Papa yang dirahasiakan (mekanya Papa hanya berani nikah siri dengan Tante Sin).
Aku memang bersahabat dengan Gandhi sejak kecil. Tapi Gandhi tak pernah tahu nama Papa. Aku puntak tahu nama ayah Gandhi.
Hmmm… aku jadi merasa bersalah kepada Papa, karena telah mengambil kehormatan mantan istri mudanya ini. Tapi kenapa aku harus merasa bersalah? Bukankah kistri resmi Papa yang biasa kupanggil Mama pun sudah sering kugauli?
Aku berusaha untuk tutup mulut dahulu. Belum mau mengungkap bahwa aku ini anak Pak Margono yang ada di foto itu. Tapi aku setengah memaksa Tante Sin “jalan - jalan” untuk mencari udara segar di luar, meski hari sudah malam (sedangkan malam lebih banyak co2-nya daripada oksigennya). Tapi sebenarnya aku ingin mengajak Tante Sin ke rumah peninggalan almarhum Papa itu.
“Lho kok berhenti di rumah ini?” tanya Tante Sin setelah mobilku dihentikan di depan rumah peninggalan Papa itu. Seorang satpam pun muncul dan segera membuka pintu menuju garasi, sekaligus membuka pintu garasinya. Aku pun langsung memasukkan mobilku ke dalam garasi.
“Don… apa gak salah nih? Rumah ini dahulu tempat tinggal almarhum suami tante…”
“Justru aku sengaja mengajak Tante ke sini, supaya semuanya menjadi jelas,” sahutku sambil menuntun Tante Sin ke ruang keluarga. Lalu kutunjuk lukisan besar Papa dan Mama itu sambil berkata, “Mereka adalah Papa dan Mamaku, Tante.”
“Haaa?! “Tante Sin terkejut dan menatapku dengan sorot seperti tidak percaya pada pengakuanku, “Tapi menurut pengakuannya, Pak Margono itu tidak punya anak dari istri pertamanya. Lalu almarhum berusaha mendapatkannya dari tante. Tapi gagal juga. Bagaimana mungkin Donny bisa mengaku sebagai anaknya?
“Aku anak angkatnya Tante. Tapi aku juga baru tahu bahwa aku ini anak angkatnya, justru setelah Papa meninggal. Tapi aku tetap merasakan mereka seperti ayah dan ibu kandungku. Karena telah merawatku sejak bayi sampai dewasa dengamn penuh kasih sayang. Bahkan almarhum Papa meninggalkan surat wasiat di notarisnya, yang menyatakan bahwa aku adalah yang berhak memiliki seluruh harta peninggalannya.
“Iya…” kata Tante Sin sambil memelukku dari belakang, “tante juga akan menganggapmu sebagai reinkarnasi Pak Margono, Sayang.”
Kemudian kuajak Tante Sin ke ruang tamu, di mana ada sebuah foto besar yang digantungkan di dinding ruang tamu. Foto Papa yang sendirian.
Lalu aku menatap foto itu sambil berkata seolah - oleh sedang berhadapan dengan Papa, “Papa… aku merasa seperti dibimbing oleh roh Papa untuk berjumpa dengan Tante Sin ini, untuk menyayangi dan melindunginya. Baik… aku akan melindungi dan menyayangi istri mudamu ini, Papa. Semoga arwah Papa tenang di alam kekal.
Dan… diam - diam air mataku mengalir ke pipiku. Tante Sin juga tahu, lalu mengambil kertas tissue dari tas kecilnya untuk menyeka airmataku.
Sambil mendekap pinggangku, Tante Sin berkata lembut, “Mungkin benar. Arwah papamu ingin agar tante dilindungi dan disayangi oleh anak tercintanya.”
Aku cuma tersenyum getir. Karena teringat lagi segala kebaikan Papa dan Mama, yang memperlakukanku sebagai anak kandung mereka. Bahkan aku diperlakukan sebagai ahli waris tunggal, sebagai penerus kerajaan bisnisnya di Thailand dan di Singapura. Bahkan terakhir aku mendapatkan berita lagi dari Mr. Liauw, bahwa bisnis almarhum Papa masih banyak yang baru ketahuan olehnya, antara lain di Hongkong dan di Nederland.
Tadinya aku ingin mengajak Tante Sin tidur di rumah peninggalan Papa itu. Tapi Tante Sin tidak mau. Karena suasana di rumah itu malah membuatnya sedih, katanya. Maka akhirnya kami pulang ke rumah Tante Sin lagi.
Setibanya di rumah Tante Sin, foto Papa dan Tante Sin di atas cermin meja rias itu pun diturunkan. Lalu Tante Sin menyimpannya di laci lemari pakaian sambil berkata, “Tante menganggap kamu sebagai reinkarnasi almarhum suami tante. Karena itu tante akan mulai move on sejak malam ini. Dan akan menganggapmu sebagai pengganti Pak Margono.
Kemudian kami tertidur sambil berpelukan.
Setelah mengetahui bahwa aku ini anak angkat Papa dan Mama, gairah Tante Sin tidak memudar. Bahkan semakin menggebu - gebu, karena yakin bahwa aku diarahkan oleh arwah Papa untuk melindungi dan menyayanginya.
Maka hari - hari berada di rumah Tante Sin, adalah hari - hari yang selalu dihangatkan oleh gairah seksual kami berdua. Tiada hari tanpa hubungan seks, sampai saatnya Gayatri pulang.
Gayatri tidak pulang sendirian. Ia bersama lelaki yang sebaya dengan Papa almarhum dan wanita yang kutaksir berusia empatpuluh tahunan. Mereka adalah Pak Gunadi dan istrinya, ayah dan ibu kandung Gayatri…!
Berita dari Gayatri cukup menyenangkan. Karena ternyata budenya yang sakit keras itu sudah sembuh kembali. Kedua orang tua Gayatri pun datang ke Semarang, untuk ikut mengurus perawatan bude Gayatri, sampai akhirnya sembuh kembali.
Kemudian kedua orang tua Gayatri itu fokus padaku.
“Nak Donny ini teman karib Gandhi kan?” tanya Pak Gunadi.
“Iya Oom,” sahutku sopan.
Tiba - tiba Tante Sin nyeletuk, “Donny ini anak tunggal almarhum Pak Margono, Mas.”
“Haaa?! “Pak Gunadi tampak kaget, “Tapi setahu kami, almarhum Pak Margono tidak punya anak.”
Tante Sin yang menjawab, “Dia anak angkat yang diadopsi sejak masih bayi. Dan setelah Pak margono meninggal, notarisnya menyerahkan surat wasiat, bahwa Donny ini satu - satunya pihak yang berhak untuk memiliki selurfuh harta Pak Margono.”
Sikap ayah Gayatri langsung berubah jadi mencair. Bahkan seperti berhadapan dengan atasannya, “Gandhi tidak pernah cerita kalau Nak Donny ini anak Pak Margono.”
“Almarhum Papa kan sibuk terus Oom. Makanya Gandhi tidak pernah bertemu dengan Papa. Saya pun baru sekali ini berjumpa dengan Oom.”
“Berarti Nak Donny ini sekarang jadi boss saya ya.”
“Jangan ngomong gitu Oom. Perusahaan - perusahaan di Thailand sudah dijualin. Hanya perusahaan properti yang masih tetap dipertahankan.”
“Justru perusahaan saya bergerak di bidang properti, Nak Donny. Jadi mulai saat ini saya harus manggil Big Boss dong sama Nak Donny.”
“Wah… jangan bikin saya nggak enak ah. Saya kan pacar Gayatri. Masa Oom manggil boss sama pacar anak Oom.”
“Iya, soal itu sih saya sudah dengar dari Gayatri. Kalau saya sih terserah Gayatri sendiri yang akan menjalaninya. Orang tua kan tinggal merestui saja apa pun yang akan dilakukan oleh anaknya.”
“Terimakasih Oom.”
Setelah ngobrol banyak dengan Pak Gunadi dan istrinya, Gayatri mengajakku ke atas, ke dalam kamarnya.
Ini untuk pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar Gayatri. Begitu berada di dalam kamarnya, Gayatri memeluk dan menciumiku disusul dengan ucapan, “Berapa hari aku gak ketemu sama Abang, kangennya setengah mati.”
“Sama… aku juga. Tapi gak enak ada orang tuamu di bawah, kalau mau kangen - kangenan mending ke rumahku aja sekalian yuk,” sahutku.
“Ke rumah ibu Bang Donny?”
“Bukan, ke rumahku sendiri. Biar tenang kita berduaan aja. Kamu masih capek gak?”
“Nggak lah Bang. Naik pesawat kan cuma sejam tadi.”
Beberapa saat kemudian Gayatri sudah berada di dalam mobilku, menuju ke rumah peninggalan Papa itu.
“Bang… kalau Papa angkat Abang itu almarhum suami Tante Sin, berarti Abang ini anak tiri Tante Sin ya?”
“Iya. Dunia ini jadi terasa kecil bagiku. Ternyata kamu juga anak Pak Gunadi, yang dibawa ke Bangkok oleh almarhum Papa. Tapi aku baru ketemu papamu tadi.”
“Selama aku di Semarang, Abang tidur di kamar Tante Sin?”
Aku terhenyak. Pertanyaan yang Gayatri lontarkan itu tentu ada dasarnya. Sehingga aku tidak berani menjawabnya.
“Kalau Abang tidur di kamar Tante Sin, aku malah senang Bang. Apalagi kalau terjadi sesuatu dengan Tante Sin yang sudah lama tidak mendapatkan sentuhan lelaki, aku lebih senang lagi. Karena Tante Sin itu sangat menyayangiku sejak kecil sampai umurku delapanbelas tahun begini. Aku ingin membalas kebaikannya dengan apa pun caranya.
“Aku gak ngerti ke mana tujuan kata - katamu itu Tri,” sahutku pura - pura dungu.
“Aku sengaja meminta Abang tinggal di rumah Tante Sin selama aku di Semarang, memang ada maksudnya Bang. Supaya Tante Sin ditemani oleh cowok setampan Abang. Bahkan kalau terjadi sesuatu yang jauh, justru itu yang kuharapkan.”
“Terjadi sesuatu itu apa?” tanyaku masih berpura - pura bodoh.
“Abang menyetubuhi Tante Sin. Itu yang kuharapkan.”
“Kamu ini cewek cuckold atau gimana sih? Memangnya kamu gak cemburu kalau aku sampai menyetubuhi tantemu?”
“Kalau sama cewek lain, aku pasti cemburu. Tapi kalau dengan Tante Sin, aku benar - benar ikhlas Bang. Bahkan aku merasa bahagia sekali kalau bisa membahagiakan Tante Sin dengan cara apa pun. Karena aku terlalu banyak berhutang budi padanya Bang.”
Pembicaraan itu terputus, karena aku sudah tiba di rumah peninggalan almarhum Papa itu.
Seperti biasa, dua orang satpam membuka pintu menuju ke teras depan dan pintu menuju ke arah garasi.
Aku langsung memasukkan mobilku ke dalam garasi.
“Wow… tadinya kuanggap rumah Tante Sin paling megah. Tapi ternyata rumah Abang ini jauh lebih megah lagi,” ucap Gayatri setelah turun dari mobilku.
“Ini salah satu rumah peninggalan Papa angkatku,” sahutku sambil menggandeng pinggang Gayatri menuju ruang keluarga.
“Kapan - kapan aku ingin ketemu juga sama ibu kandung Bang Donny.”
“Iya. Nanti kuajak kamu ke rumah Bunda. Tapi dia sibuk ngurus café bersama saudara kembarku.”
“Haaa?! Bang Donny punya saudara kembar?” tanya Gayatri yang memang belum pernah dikasih tahu bahwa aku punya saudara kembar.
“Iya. Saudara kembarku cewek, namanya Donna.”
“Hihihi… lucu… namanya deket banget. Donny dan Donna. Tapi anak kembar memang suka begitu ya. Namanya suka berdekatan juga,” kata Gayatri sambil duduk di sofa ruang keluarga. Sambil memandang ke arah lukisan besar itu. Lukisan Papa dan Mama itu.
“Itu foto Papa dan Mama angkatg Abang ya?”
“Iya. Sama dengan foto yang ada di kamar Tante Sin kan?” ucapku keceplosan. Mengatakan foto di dalam kamar Tante Sin, sama saja dengan mengakui bahwa aku pernah berada di dalam kamar wanita Indo - Belgia itu.
“Jadi Abang sudah tau seluk beluk kamar Tante Sin kan?”
“Iya… kamu gak marah kan?”
“Nggak. Asalkan Abang bicara sejujur mungkin, sedikit pun aku takkan marah. Tapi kalau Abang membohongiku, pasti aku akan marah.”
Aku terdiam dan tak tahu lagi apa yang harus kukatakan.
“Abang sudah menggauli Tante Sin kan?” tanya Gayatri sambil memegang tanganku. Mengingatkanku waktu dia meremas - remas tanganku di gedung bioskop itu..
“Kalau kamu berjanji takkan marah, aku akan membuka semuanya.”
“Iya, iyaaaa… aku janji takkan marah, asal Abang bicara sejujur mungkin.”
Meski ragu, kubuka juga rahasia itu, “Mmmm… Tante Sin memang mendesak… ingin kugauli. Sehingga aku merasa kasihan juga padanya. Jadi… akhirnya kugauli juga tantemu itu Sayang.”
Di luar dugaanku, Gayatri bahkan mencium pipiku disusul dengan ucapan, “TGerima kasih Bang. Memang itu yang kuinginkan, makanya aku meminta Abang temani Tante Sin sampai aku pulang dari Semarang.”
“Jadi kamu gak marah?”
“Tidak. Aku malah seneng mendengarnya.”
“Aaah… bohong. Pasti kamu marah, tapi disimpan saja kemarahannya di dalam hati.”
“Nggak Bang. Aku nggak marah. Makanya aku minta Abang menemani Tante Sin selama aku di Semarang, karena aku menginginkan hal itu. Tapi aku tidak berani mengatakannya kepada Abang di WA saat itu.”
“Tapi aku gak yakin kalau kamu gak marah,” kataku, “Mungkin kamu sengaja menjebakku di rjumah Tante Sin. Menjebak untuk menguji kesetiaanku padamu.”
“Gak Bang. Aku sama sekali tidak berniat menjebak Abang segala. Kalau Abang masih tidak percaya, ambillah keperawananku sekarang juga. Supaya Abang yakin bahwa aku memang mengharapkan Tante Sin digauli Bang.”
“Memangnya kamu sudah kepengen ngerasain enaknya disetubuhi?” tanyaku sambil melingkarkan lengan kiriku di pinggang Gayatri yang duduk di sebelah kiriku.
Gayatri menatapku. Lalu mengangguk sambil tersenyum malu - malu. Dan berkata perlahan, “Aku sih sekalian ingin membuktikan aja pada Abang. Bahwa aku serius pada Abang, tapi tidak main - main dalam masalah Tante Sin itu.”
“Terus, kalau kamu hamil nanti gimana?”
“Kalau bisa sih jangan hamil dulu Bang. Tapi kalau memang harus hamil, ya hamil aja. Asalkan Abang cepat - cepat menikahiku.”
“Kita masih terlalu muda untuk menikah Sayang. Bisa deh gak hamil. Aku menyimpan pil anti hamil. Ayo ke kamarku,” ajakku sambil berdiri dan menarik pergelangan tangan Gayatri, yang saat itu mengenakan celana beludru biru tua dengan blouse putih. Sengaja aku mengajaknya ke kamar, karena pakaian Gayatri itu, pasti menyulitkan kalau tidak dilepaskan dulu.
Sebenarnya aku agak kurang tega mengambil keperawanan Gayatri. Karena meski bentuk fisik dan tampang Gayatri kebule - bulean, namun sikap dan perilakunya begitu anggun dan penyabar. Namun karena dia sendiri ingin menyerahkan keperawanannya, aku jadi laksana seekor kucing. Kalau sudah diiming - imingi seekor ikan, pastilah kutangkap.
“Biar jangan ribet, mending lepasin dulu celana panjang dan blousenya,” kataku setelah berada di dalam kamar utama rumah megah ini.
Aku memang ingin menciptakan kesan, bahwa kuambil keperawanan Gayatri atas kehendaknya sendiri. Karena itu biarlah dia menelanjangi dirinya sendiri.
Namun dengan tenang Gayatri melepaskan celana beludru biru tua dan blouse putihnya, kemudian djuduk di solfa kamar utama ini.
Aku pun menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai, tinggal celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku.
Lalu duduk di samping Gayatri yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam itu.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” bisikku sambil melepaskan kancing kait beha yang terletak di punggungnya.
“Hihihihi… degdegan Bang…” sahutnya sambil melepaskan beha yang kancingnya sudah kulepaskan. Kecil toket Gayatri itu. Jangan
Dsibandingkan dnegan toket Tante Sin yang gede gitu.
Tapi aku senang - senang saja. Karena Gayatri lebih cantik daripada Tante Sin. Itulah sebabnya kalau aku membanding - bandingkan Gayatri dengan Tante Sin, soal kecantikan wajah dan putihnya kulit, Gayatri menang. Tapi kalau soal body, Tante Sin menang.
Tapi tak usahlah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan mereka. Bukankah baik Tante Sin mau pun Gayatri akan tetap menjadi milikku?
Ketika aku memegang toketnya, Gayatri berkata tersipu, “Kecil ya Bang toketku. Gak kayak toket Tante Sin.”
“Biarin aja. Aku jatuh cinta padamu bukan karena memandang toket,” sahutku, “Lagian toket kecil begini ada keuntungannya.”
“Apa keuntungannya?” tanya Gayatri.
“Biasanya toket kecil begini, sampai tua pun tetap awet. Tidak terjuntai ke bawah. Lagian toket kecil begini enak megangnya. Bisa tergenggam dengan satu tgangan begini,” sahutku sambil menggenggam toket kirinya, sementara tangan kananku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya.
Inilah pertama kalinya aku menyentuh kemaluan Gayatri. Yang membuat wajah cantiknya mulai kemerahan. “Harus dilepasin ya Bang celana dalamnya?” tanyanya terdengar lugu.
“Iya… itu lebih baik,” jawabku dengan senang hati. Karena sudah ingin melihat seperti apa bentuk kemaluan pacar tercintaku itu.
Tanpa memandang ke arahku, Gayatri melepaskan celana dalamnya. Sehingga aku dibuat ternganga setelah menyaksikan indahnya bentuk kemaluan kekasihku itu. Kemaluan yang tembem dan bersih dari rambut. Mulut vaginanya terkatup rapat, sehingga yang tampak seperti garis lurus dari atas ke bawah.
Dan aku ingin menikmatinya seleluasa mungkin. Karena itu kuangkat dan kubopong tubuh Gayatri, lalu kuletakkan di atas bed dengan hati - hati.
“Kemaluanmu indah sekali Sayang,” ucapku sambil menelungkup di antara kedua paha putih mulus Gayatri, sambil mengusap - usap permukaan memek tembem yang tampak rapat dan belum kelihatan bagian dalamnya itu.
Ketika wajahku berada di atas kemaluan Gayatri sambil mengangakan mulut vaginanya, ia hanya mengelus - elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Sementara aku sedang tepukau menyaksikan bagian dalam vaginanya yang berwarna pink itu.
Tentu saja aku langsung menjilati bagian dalam vagina gayatri yang berwarna pink itu.
Gayatri seperti kaget pada awalnya. Tapi lalu menyadari apa yang sedang kulakukan. Lalu ia cuma terdiam sambil meremas - remas kain seprai.
Ketika aku mulai gencar menjilati kemaluannya, Gayatri mulai berdesah - desah sambil mengusap - usap rambutku. Terlebih setelah aku menemukan kelentitnya dan lalu menjilatinya disertai dengan isapan - isapan kuat, Gayatri pun mulai menggeliat - geliat sambil merintih - rintih erotis. “Baaaang… aaaaaaaah…
Baaaang… aaaaah… be… begini rasanya ya… rasanya memek dijilati… Baaaang… aaaaaaah… baaaang… aku memang sudah menjadi milikmu Baaang… lakukanlah apa yang Abang mau… karena Abang sudah memilikiku seutuhnya Baaaang… aaaaaa… aaaaaah… Baaaang… aku sangat mencintaimu Baaaang…
Bahkan ketika aku semakin intensif menjilati dan menyedot - nyedot kelentitnya, Gayatri mulai merengak manja, “Adudududuuuuuhhhh… Baaaang… rasanya memekku mau ambrolllll…”
Kuhentikan jilatanku sejenak, “Itu pertanda mau orgasme Sayang. Lepasin saja semuanya, supaya liang memekmu mengembang dan lancar waktu penetrasi nanti,” kataku. Lalu kulanjutkan menjilati kelentit Gayatri lagi.
“Iiii… iya Baaang… ooooo… ooooh… Abaaaaaaaang… “pekik Gayatri sambil mengelojot, lalu mengejang tegang… tegang sekali…!
Tampak Gayatri menahan nafas. Dan mulut vaginanya terasa berkedut - kedut. Aku pun menghentikan jilatanku. Dan cepat melepaskan celana dalamku, karena akan mulai melakukan penetrasi.
Kemudian aku mulai “berjuang” untuk membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang vagina Gayatri. Memang tidak mudah. Padahal Gayatri sudah merentangkan kedua belah pahanya selebar mungkin. Dan membantuku juga memasukkan penisku ke dalam liang vaginanya, dengan memegangi batang kemaluanku berkali - kali.
Setelah hampir setengah jam aku berusaha memasukkan penisku ke dalam liang memek Gayatri yang sangat - sangat sempit itu, akhirnya aku berhasil juga membenamkannya sedikit demi sedikit, sampai masuk hampir setengahnya.
Aku pun menghempaskan dadaku ke atas dada Gayatri, yang disambut dengan rangkulannya di leherku. “Udah masuk ya Bang…” ucapnya setengah berbisik.
“Iya,” sahutku, “Sakit?”
“Sedikit. Gak apa - apa…”
Lalu aku mulai mengayun batang kemaluanku perlahan - lahan. Dengan hati - hati, karena takut lepas lagi.
“Aaaa… aaaaah… Bang… aaah… “rintih Gayatri perlahan.
“Makin sakit?” tanyaku sambil menghentikan entotan pelanku sejenak.
“Nggak. Justru… eeee… enak sekali Bang…”
“Kalau sakit sedikit tahan ya…”
“Iya Bang… lanjutin aja. Enak kok… pantesan Tante Sin minta diginiin sama Abang… ““Udah… jangan bahas Tante Sin dong Sayang,” ucapku yang disusul dengan kecupan mesraku di bibir hangatnya.
Kemudian aku mulai memaju - mundurkan penisku kembali. Terasa sekali sempitnya liang kemaluan Gayatri ini. Tapi justru nikmat sekali rasanya. Terlebih lagi setelah aku bisa mendorong penisku sampai menyentuh liang memeknya… lalu sedikit demi sedikit liang kewanitaan Gayatri mulai beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku…
Gayatri pun mulai merintih - rintih perlahan, “Bang… enak Bang… ooohhh… Bang… aku sudah benar - benar jadi milikmu Bang… ooooh… Baaaang… aku semakin cinta padamu Baaang… cintaaaaa… cinta sekaliiii… oooooh… makin lama makin enak Baaaang… makin enak… makin enaaaak …
“Inilah yang namanya surga dunia, Sayang…”
“Iya Bang… enak sekali Baaaang… mainkan terus penis Abang… oooooh… enaaaak Baaang… enaaaaak… “rintih Gayatri semakin menjadi - jadi, sambil mendekap pinggangku erat - erat. Terkadang disusul dengan ciuman mesranya di bibirku, lalu menatap wajahku dari jarak yang sangat dekat, lalu merapatkan pipinya ke pipiku, disusul dengan bisikan, “Sekujur tubuhku sudah menjadi milik Abang sekarang…
Kata orang - orang, menyetubuhi cewek yang kita cintai akan jauh lebih nikmat daripada menyetubuhi cewek yang cuma dijadikan penyhaluran nafsu birahi. Kini aku telah membuktikannya. Bahwa setiap sentuhanku di salah satu bagian tubuh Gayatri, seolah menggetarkan batinku… yang membuatku serasa melayang - layang di langit tinggi…
Ketika entotanku mulai gencar, aku pun melengkapinya dengan jilatan dan gigitan - gigitan kecilku di leher jenjang Gayatri yang mulai keringatan. Hal itu membuat Gayatri merem - melek. Terkadang ia menahan nafasnya sambil menggeliat, terkadang juga merintih - rintih histeris yang terdengar sangat erotis di telingaku.
“Baaang… kontol Abang ini enak sekali Baaaang… entot terus Baaaaang… entot teruuusss… entoootttt… entoooootttt… Abaaaaaang… aku cinta padamu Baaaang… aku cinta Abaaaang… cinta sekali Baaaaang… aku ingin cinta pertama ini sekaligus cinta yang terakhir juga Baaaang …
Gayatri memang sudah berkali - kali mengungkapkan hal itu. Bahwa cintanya padaku adalah cinta pertamanya. Dan ia ingin agar cinta pertamanya sekaligus menjadi cinta terakhirnya. Mungkin hal itu pula yang membuatku bertekad untuk membahagiakannya dengan caraku sendiri.
Sebenarnya aku bisa memperlambat durasi persetubuhanku dengan Gayatri. Tapi aku tak mau menyiksanya, karena dia baru sekali ini merasakan disetubuhi. Karena itu aku mulai mengamatinya, kapan dia mau orgasme. Dan pada saat itu pula aku akan mencapai puncak kenikmatanku bersama - sama orgasmenya Gayatri.
Tapi kelihatannya Gayatri masih sangat menikmati entotanku. Terlebih ketika aku mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas - remas toket kanannya yang tergenggam penuh oleh telapak tangan kiriku ini. Semakin menggila juga lah rintihan - rintihan histeris cewek yang punya campuran darah Belgia itu.
Namun beberapa saat kemudian Gayatri mulai berkelojotan… lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang… nafasnya pun tertahan…!
Pada saat itulah aku mempercepat gerakan penisku, sampai akhirnya kutancapkan dengan moncong penis menyundul dasar liang memek Gayatri.
Lalu kurasakan sesuatu yang sangat indah dan nikmat itu. Bahwa liang memek Gayatri terasa berkedut - kedut kencang, tepat pada saat penisku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lahar lendirnya… crooooottttt… crotcrotttt… crooooootttt… croooooootttttt… crottt… crooootttt …
Kami sama - sama menggelepar, lalu sama - sama terkulai lunglai.
Ketika batang kemaluanku dicabut dari liang memek Gayatri, darah perawan yang tergenang di bawah kemaluan Gayatri menjadi saksi. Bahwa ia masih suci sebelum kusetubuhi tadi. Aku menaruh rasa hormat dan terharu dibuatnya. Bahwa di zaman now, di mana anak - anak cewek yang masih duduk di bangku SMP pun sudah banyak yang kehilangan kegadisannya, sementara Gayatri yang punya campuran darah Belgia juga itu justru masih perawan.
Namun aku segera ingat sesuatu. Aku melangkah ke lemari kecil yang tergantung di dinding, lemari obat - obatan. Kukeluarkan dua strip pil kontrasepsi dan kuserahkan pada Gayatri. “Ini obat anti hamil. Baca saja aturan pakainya,” kataku.
“Iya Bang. Terima kasih. Memang sebaiknya aku jangan hamil djulu sebelum kita resmi jadi suami istri ya Bang,” sahut Gayatri.
“Iya, sebaiknya begitu,” ucapku yang disusul dengan ciuman mesraku di bibir Gayatri.
“Bang… kain seprainya harus diganti nih… ada darahnya… !”
“Di lemari itu ada tumpukan kain seprai. Silakan aja pilih mau pakai yang mana sebagai gantinya,” kataku sambil menunjuk ke lemari jati berukir di dekat washtafel.
Lalu kami masuk ke kamar mandi untuk bersih - bersih.
Dan ternyata beberapa saat kemudian kami bergairah kembali untuk melakukan hubungan seksual ronde kedua, yang kami lakukan dalam bermacam - macam posisi. Agar Gayatri mulai faham tentang posisi - posisi seks.
Dua hari kemudian… jam delapan pagi aku sudah berada di kantorku. Kantor peninggalan Papa, yang pernah dijadikan kantor pusat perusahaannya dahulu, tapi kemudian Papa dan Mama hengkang ke Bangkok dan justru sukses besar di sana.
Sebelum kupakai, bangunan ini kurang terawat. Tapi setelah aku tempati untuk perusahaanku sendiri, bangunan ini kurenovasi sekujurnya sampai kelihatan seolah bangunan baru.
Bahkan di belakang kantorku masih ada lahan yang cukup luas. Di tanah kosong itulah kubangun gedung yang cuma 3 lantai. Di situ pulalah ruang kerjaku, di lantai pertama. Kalau dibandingkan dengan bangunan kantor lama, bangunan baru ini cuma bangunan kecil. Mungkin lebih mirip bangunan rumah biasa. Tapi bangunan ini dijaga ketat oleh bagian security, karena aku sebagai orang nomor satu di perusahaan.
Lantai kedua lebih tepat disebut sebagai rumah tinggalku juga. Karena di lantai dua ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga dan satu ruang makan bersatu dengan kitchen.
Lantai tiga hanya merupakan satu ruangan luas, yang kujadikan sebagai meeting room. Untuk mencapai meeting room itu ada tangga dari luar, supaya peserta meeting tidak usah melewati ruang kerja dan rfuang pribadiku di lantai dua.
Di lantai tiga itulah aku akan membiasakan diri untuk melaksanakan briefing kepada para manager dan stafnya. Tapi sejauh ini aku belum pernah mengadakan briefing. Karena manager - managernya pun belum lengkap. Bahkan direktur utamanya pun belum ada. Karena sebagai owner aku tidak boleh menjadi dirut.
Pernah aku berpikir untuk merekrut Donna sebagai dirut perusahaanku. Tapi Donna sudah kelihatan enjoy mengurus café bersama Bunda. Lagian Donna terlalu muda untuk kujadikan dirut. Aku harus mencari sosok yang berusia 37 tahun ke atas untuk kujadikan dirut. Tentu saja harus sudah S2, minimal (padahal aku sendiri S1 saja belum).
Ketika aku sedang menerawang di ruang kerjaku, tiba - tiba interphone berdering, lalu terdengar suara petugas security, “Maaf Big Boss… ada tamu wanita, katanya dari Bangkok.”
“Antarkan aja ke ruang kerjaku,” sahutku dengan perasaan kaget dan bingung. Wanita dari Bangkok? Siapa? Apakah Teh Sheila? Mungkinkah dia datang tanpa memberitahu dulu padaku?
Tak lama kemudian petugas security mengantarkan seorang wanita tinggi montok, mengenakan gaun span berwarna biru ultramarine.
Maaaak… itu ibunya Gayatri yang katanya sih bernama Agatha…!
“Heheheee… Tante… kirain siapa. Dari mana Tante tau alamat kantorku ini?”
“Dari Gayatri,” sahut wanita empatpuluh tahunan yang masih tampak cantik itu.
Lalu aku mencium tangannya, disusul dengan cipika - cipiki sengan calon ibu mertuaku itu. “Sama Oom?” tanyaku.
“Nggak. Dia sudah pulang ke Bangkok tadi subuh.”
“Ohya? Kok buru - buru amat? Terus Tante sendirian aja ke sini?”
“Iya. Gayatri kan lagi kuliah. Sin lagi belanja pula. Makanya ke sini aja sendiri pake taksi.”
“Silakan duduk Tante,” kataku sambil melangkah duluan ke ruang tamu.
“Tante ada yang mau diomongin sama Donny. Tapi sifatnya sangat rahasia. Apakah bisa ngobrolnya di tempat yang tidak sibuk dengan urusan kantor?” tanya Tante Agatha sambil melirik ke arah sekretarisku yang sedang mengetik di keyboard komputer.
“Mmm… di lantai dua bisa Tante. Di situ suasananya sama aja dengan di rumah. Ayo kita ke sana.”
“Gak akan ada orang lain yang masuk ke sana?” tanyanya.
“Owh… gak akan ada yang berani Tante. Di lantai dua kan seolah rumah juga bagiku. Mari kita ke sana,” kataku sambil menunjuk ke tangga yang menuju lantai dua, “Tapi maaf nih… di sini tidak seperti di kantor yang di depan yang sudah ada lift. Di sini sih harus pakai langkah kaki Tante.”
“Nggak apa - apa. Punya kaki kan harus dipakai melangkah. Jangan terlalu dimanjakan,” sahutnya sambil melangkah duluan di depanku, menaiki tangga menuju ke lantai dua, lantai yang ditata seperti berada di dalam rumah.
Begitu masuk ke lantai dua, ibunya Agatha berseru sambil memegangi sepasang pipinya, “Wooow…! Ini sih lebih megah dan nyaman dari suiteroom di hotel - hotel five star. Kacanya pakai sunblast pula ya?”
“Iya Tante. Dari luar hanya bisa melihat gambar yang menempel di kaca itu. Tapi tidak bisa melihat ke dalam. Sedangkan kita bisa melihat ke luar dengan jelas,” sahutku.
“Nah,” kataku lagi, Mau di mana ngobrolnya? Di sini aman dan nyaman Tante. Tidak mungkin ada orang bisa masuk ke sini, karena pintu keluar sudah tgerkunci secara automatis. APa harus di dalam kamar curhatnya?”
“Haa?! Iya… mendingan juga di dalam kamar Don. Biar tante merasa tenang membiacarakan masalahnya,” sahut Tante Agatha yang tadinya mau duduk di ruang keluarga, tapi tidak jadi. Dan menghampiriku yang sedang membuka pintu kamar utama.
“Wah… wah wah… kamarnya luas begini, perabotannya serba mewah pula. Kalau tau gitu, kemaren nginap di sini aja,” kata Tante Agatha setelah berada di dalam kamar utama.
Di kamar utama itu juga ada satu set sofa putih bersih. Dan di sofa itulah kupersilakan calon mertuaku duduk. Kalau sudah jadi menantunya, pasti aku akan memanggilnya Mama seperti panggilan Gayatri kepada ibunya ini. Tapi aku tetap memanggilnya Tante karena belum resmi menjadi menantunya. Bahkan melamar secara resmi pun belum dilaksanakan.
Aku duluan duduk di sofa, Tante Agatha pun duduk di sampingku.
“Apa masalahnya Tante? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyaku.
“Begini,” kata Tante Agatha sambil menunduk, “Sebenarnya ayah Gayatri itu sedang menemui kesulitan dalam masalah keuangan. Sehingga kalau tidak ada yang menolong, perusahaannya bakal bangkrut.”
Kemudian secara panjang lebar Tante Agatha menceritakan kesulitan - kesulitan yang tengah dihadapi oleh suaminya. Kesimpulannya, ayah Gayatri ditipu di Bangkok, sehingga harus menanggung kerugian moral mau pun material.
Aku ikut prihatin mendengar penuturan mamanya Gayatri itu.
Penuturan Tante Agatha berakhir dengan permintaan bantuannya padaku. Mau pinjam uang, untuk mengatasi kebangkrutan perusahaan suaminya.
Setelah berpikir beberapa saat, aku bertanya, “Berapa uang yang dibutuhkan untuk menolong Oom Gunadi agar perusahaannya sehat kembali?”
Tante Agatha menyebutkan jumlah uang yang dibutuhkannya dengan sikap malu - malu.
Mungkin jumlah uang yang dibutuhkan itu cukup bvesar bagi Tante Agatha dan suaminya. Tapi menurutku tidak seberapa.
Aku lalu bangkit dari sofa menuju meja tulis di sudut kamarku. Lalu kukeluarkan buku cek dan kutulisi empat helai cek yang kalau dijumlahkan nominalnya lebih besar daripada nominal yang disebutkan oleh Tante Agatha barusan.
Tante Agatha pun berdiri, tapi tidak menjauhi sofa yang tadi didudukinya, dengan sikap tampak tegang.
Lalu kuserahkan keempat helai cek itu kepada Tante Agatha sambil berkata, “Ini empat helai cek yang bisa Tante cairkan di Bangkok nanti. Sengaja tanggalnya belum ditulis, silakan tulis oleh Tante saja di Bangkok nanti. Sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak.”
Aku pun menyerahkan sebuah amplop untuk menyimpan keempat lembar cek itu nanti.
Tante Agatha membaca keempat lembar cek itu selembar demi selembar. Dia melotot. Dan memasukkan keempat helai cek itu ke dalam amplop yang kukasih. Meletakkan amplop itu di dalam tas kecilnya, lalu memburu dan memelukku, “Terima kasih Dooon… terima kasiiiih…” ucapan itu disusul dengan ciumannya yang bertubi - tubi di sepasang pipiku, bahkan terakhir dia mencium bibirku sambil memelukku erat - erat.
Tentu saja aku kaget dan jadi salah tingkah, karena Tante Agatha mencium bibirku sedemikian lengketnya, sehingga tanpa kusengaja aku pun memegang bokongnya yang gede dan terasa belum lembek itu.
Tak cuma itu. Karena Tante Agatha belum melepaskan ciumannya, bahkan melumat bibirku dengan hangatnya, aku pun mulai memberanikan diri meremas pantat gedenya yang masih padat kencang itu…!
Tiba - tiba Tante Agatha melepaskan ciumannya, disusul dengan sesuatu yang membuatku terbelalak. Bahwa ibunya Gayatri yang lebih cantik dan lebih seksi daripada Tante Sin itu, melepaskan gaun biru ultramarine-nya…!
Aku cuma bisa terlongong, seperti orang begok. Menyaksikan Tante Agatha yang tinggal mengenakan beha dan celana dalam
Di rumah Tante Sin kemaren, aku tidak berani menatap muka Oom Gunadi mau pun istrinya. Aku hanya berani bicara sambil menundukkan kepala, karena ingin terkesan bahwa aku ini punya sopan santun manakala berhadapan dengan orang yang lebih tua. Karena itu sedikit pun aku tak punya penilaian terhadap mamanya Gayatri ini.
Tapi kini, suasana serba memungkinkan. Aku mulai berani memperhatikan wanita 40 tahunan itu. Dan aku tahu bahwa usia 40 tahun itu tidak bisa disebut tua. Bahkan sedang - sedangnya memancarkan pesona yang seolah mengandung daya magnetis.
Tante Agatha itu tak kalah cantik daripada Gayatri. Bahkan kalau dibandingkan dengan Tante Sin, mamanya Gayatri ini menang cantik dan menang seksinya…!
Ya… Tante Agatha lebih cantik daripada Tante Sin.
Dan kini wanita setengah baya yang demikian cantik dan seksinya itu sedang berdiri di depanku, dengan hanya mengenakan behas dan celana dalam saja. Apakah aku benar - benar tidak sedang bermimpi?
Ketika aku masih berdiri bingung, Tante Agatha malah memelukku lagi. Mendaratkan ciuman lengketnya lagi. Sehingga lagi - lagi kedua tanganku seolah reflex memegang kedua buah pantat gedenya…!
“Tante memang sudah horny sejak masih berada di rumah Sin tadi. Makanya tante minta diajak ke tempat yang tidak bisa hadir orang lain, ya karenma tante ingin menikmati semuanya bersamamu Sayang,” ucap Tante Agatha setengah berbisik. Sambil membuka kancing jasku. Kemudian melepaskan jas itu dan melemparkannya ke atas sofa.
“Tante… apakah hubunganku dengan Gayatri takkan rusak nanti?” tanyaku pada saat batinku limbung. Masalahnya… aku memang pengagum wanita setengah baya. Apalagi wanita setengah bayanya secantik dan seseksi mamanya Gayatri ini.
“Donny harus merahasiakannya dong sama Gayatri. Bisa kan merahasiakannya?”
“Mmm… bisa Tante… mmmm… aku merasa seperti sedang bermimpi Tante.”
Tante Agatha malah mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Dan berkata, “Donny bukan cuma tampan, tapi punya daya pesona yang luar biasa. Maka pantaslah kalau Gayatri kasmaran padamu. Jangankan Gayatri, tante aja yang punya suami langsung kepincut begitu melihat Donny kemarin.”
Tante Agatha mengakhiri kata - katanya dengan membelakangiku. Lalu berkata, “Tolong buka kancing beha tante Don.”
Kuikuti permintaan calon mertuaku, untuk melepaskan kancing kait behanya di bagian punggungnya. Tapi begitu kancing beha itu terlepas, tangan kananku ditarik ke depan ditempelkan ke perutnya yang terasa padat kencang. Sedangkan tangen kiriku ditarik ke arah payudaranya, yang behanya sudah terlepas yang sebelah kiri.
Hmmm. aku tahu apa maksud mamanya Gayatri ini. Bahwa aku yang sedang menghadap ke punggungnya, harus menyelinapkan tanganku ke balik lingkaran elastis celana dalamnya. Kepalangan gila, kupegang toket kirinya dengan tangan kkiriku, sementara tangan kananku diselundupkan ke balik celana dalam Tante Agatha…
“Bagaimana? Tetek tante masih padat kencang kan?” tanya Tante Agatha tanpa menoleh ke arahku.
“Iiii… iya Tante. Dan… vagina Tante ini… ooooh… tembem sekali…”
“Kayak bapauw kan? Hihihihiiii…”
“Iya Tante… ihihiii…”
“Memek ini untuk calon mantu tante yang tampan rupawan dan baik hati.”
“Iii… iya Tante. Mudah - mudahan saja takkan merusak hubunganku dengan Gayatri nanti.”
“Nggak lah. Asal pandai - pandai aja kita merahasiakannya. Buka dong celananya. Tante juga tinggal pake celana dalam yang isinya lagi Donny pegang nih.”
“Iya Tante,” sahutku sambil menarik kedua tanganku dari toket dan memek calon mertuaku.
Kemudian kulepaskan celana panjangku dan kulemparkan ke atas jas dan dasiku yang bertumpuk di atas sofa. Gaun dan beha Tante Agatha pun bertumpuk di situ.
Dengan cepat otakku berputar. Mau nunggu apa lagi? Bukankah aku ini pengagum dan penggemar wanita setengah baya? Bukankah sekarang ada sasaran meski dia itu calon mertuaku?
Wajahnya cantik sekali. Tubuh putihnya pun begitu terawat, tidak kelihatan seperti yang sudah berusia 40 tahun. Dan sekali lagi, usia 40 tahun itu belum tua. Bagiku, usia di atas 50 tahun barulah bisa disebut tua.
Maka ketika sudah sama - sama tinggal mengenakan celana dalam, kugandeng pinggang mamanya Gayatri itu untuk melangkah ke arah bed. Dengan tekad, tak mau jadi lelaki pasif lagi, karena pada dasarnya aku tak pernah pasif terhadap wanita setengah baya. Apalagi yang bernilai di atas 85 seperti Tante Agatha itu…
Maka setelah berada di atas bed, kuterkam dan kugumuli wanita cantik nan penuh pesona itu. Ia pun menyambut dengan gumulan hangat. Membuatku terkadang berada di atas, di saat lain berada di bawah.
Genderang birahi sudah ditabuh. Terompet asmara pun sudah ditiup. Sampai pada suatu saat, celana dalamku ditarik olehnya. Disusul dengan pekik perlahannya, “Doooon…! Kontolmu ini… luar biasa gagahnya…!”
Lalu ia menyerangku dengan ciuman dan jilatan di leher dan puncak penisku. Membuatku terpejam - pejam dalam nikmat. Terlebih setelah ia mengulum dan menggelutkan lidah di dalam mulutnya, penisku yhang sudah ngaceng ini jadi semakin tak sabaran lagi rasanya. Tapi kubiarkan dia berbuat sekehendak hatinya.
Namun setelah puas menyelomot dan menurut - urut batang kemaluanku, dia langsung celentang sambil melepaskan celana dalamnya. “Punya tante sih jangan dijilatin ya. Soalnya punya tante sudah basah. Kalau terlalu becek, gak bisa menikmati gesekan penismu yang panjang gede itu.”
“Langsung masukin aja Tante?” tanyaku sambil mengusap - usap memek Tante Agatha yang bersih plontos itu.
“Iya Sayang… masukkanlah… tante udah horny berat nih…” sahutnya sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya.
Maka tanpa buang - buang waktu lagi, kuletakkan moncong penisku di ambang mulut memek Tante Agatha yang sudah ternganga kemerahan itu. Lalu kudesakkan batang kemaluanku sekuat mungkin. Dan… melesak masuk sedikit demi sedikit.
Pada saat itulah Tante Agatha menarik sepasang bahuku, sehingga dadaku terhempas ke atas sepasang toketnya yang berukuran agak montok (tapi tidak segede toket Umi Faizah dan Tante Neni). “Oooooooh… masuk Doooon… “cetus Tante Agatha dengan mata terpejam.
Setelah penisku membenam lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Agatha.
Tante Agatha menyambut entotanku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, disusul dengan ciuman dan lumatannya yang membuatku semakin bersemangat untuk menggencarkan entotanku.
Tapi ketika ayunan penisku bergerak cepat, Tante Agatha menepuk - nepuk pipiku sambil berkata terengah, “Pelan aja dulu Sayang. Tante ingin menghayati gesekan penismu dengan liang vaginaku… naaaaah… segitu aja… kalau perlahan - lahan terasa semakin indah…”
Kuturuti saja permintaan calon mertuaku itu. Mungkin dia senang dengan hal - hal yang beraroma romantis. Kuatur gerakan penisku sampai kecepatan normal, tidak terlalu cepat tidak pula terlalu lambat. Sementara mulutku mulai beraksi, untuk mencelucupi puting payudara kirinya, sementara tangan kiriku meremas - remas payudara kanannya.
Pinggul Tante Agatha pun mulai bergoyang seperti gelombang ombak di laut yang sedang berkejaran menuju pantai. Membuat kemaluannya terkadang menengadah, terkadang menunduk… mendongak lagi… menukik lagi. Ini adalah goyangan yang efektif. Karena clitorisnya jadi sering bergesekan dengan badan penisku.
Desahan dan rintihan Tante Agatha pun mulai berlontaran dari mjulutnya, “Aaaaaaa… aaaaaah… Doooon… sebenarnya tante… sudah… sudah lama sekali tidak digauli oleh papanya Gayatri… hampir lima tahun batin tante menderita… dan sekarang… tante mendapatgkannya dari calon mantu yang baik hati ini…
“Me… memangnya Oom im… impoten?” tanyaku terengah - engah.
“Iya Don… sudah hampir lima tahun penisnya tak bisa ereksi lagi… sejak dia menderita diabetes… aaaaah… entot terus Dooon… sekarang boleh dicepetin Sayaaaang…”
Aku tak mau membahas masalah Oom Gunadi itu lebih jauh. Dan sesuai dengan permintaan Tante Agatha, aku pun mulai menggencarkan entotanku. Sambil menjilati leher jenjangnya yang sudah mulai keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.
“Aaaaaaaa… aaaaah… Doooon… kontolmu enak sekali Doooon… entot terus Dooon… entooot teruuuussssssss… iyaaaaa… iyaaaaa… entooooottttt… enntooottttttt… entooooooootttt… iyaaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… “rintih Tante Agatha yang tampak semakin menikmati aksiku.
Ketika lengannya terpentang seperti disalib, aku pun menyerudukkan mulutku ke ketiaknya. Lalu menjilati ketiak harum deodorant mahalnya.
Makin klepek - klepek juga Tante Agatha dibuatnya.
“Oooo… ooooo… oooooh Dooonny… kamu sudah pandai menyentuh setiap lekuk peka Dooon… belajar dari mana?”
“Dari buku Tante… ooooohhhh… memek Tante luar biasa enaknya Tanteeee…” sahutku mulai ngawur juga seperti dia.
Kini gencarnya entotanku disambut dengan goyangan pinggul Tante Agatha yang mulai menggila. Tak cuma seperti ombak bergulung menuju pantai, tapi memutar - mutar dan meliuk liuk. Sehingga penisku diombang - ambingkan sesuai dengan gerakan pinggul Tante Agatha. terkadang tertarik ke kanan, terkadang tertarik ka kanan, ke atas dan ke bawah.
Sementara keringat mulai membasahi tubuh kami. Tapi kami tak mempedulikan hal kecil itu. Aku semakin gencar mengentotnya, sementara goyangan pinggul Tante Agatha pun semakin menggila.
Sampai pada suatu saat, terdengar suara Tante Agatha terengah, “Dooon… tante mau lepas Dooon… barengin Dooon… biar nikmaaaat…”
“Lepasin… di dalam?” tanyaku terengah pula.
“Iyaaaaaa…” sahutnya dengan goyangan pinggulnya yang semakin menggila.
Sebenarnya aku masih bisa bertahan. Tapi aku ingin menciptakan kepuasan bagi calon mertuaku.
Maka kupercepat entotanku. Makin cepat. Makin cepat. Sementara Tante Agatha mulai berkelojotan. Lalu mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas, dengan nafas yang tertahan. Pada saat itu pula kutancapkan penisku di dalam liang memek Tante Agatha. Tanpa digerakkan lagi.
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dengan kuatnya. Disusul dengan berkedut - kedutnya liang memek wanita setengah baya itu, dibalas dengan mengejut - ngejutnya batang kemaluanku… sementara moncongnya menembak - nembakkan lendir kenikmatanku. Croooottttt…
Tapi ada hal kecil yang terjadi. Bahwa ketika moncong penisku mau memuntahkan air mani, aku mendadak seperti kaget sendiri, karena aku menyadari siapa yang sedang kusetubuhi ini. Maka kutarik penkisku, sehingga “tembakan”nya di mulut vagina Tante Agatha. Maka melelehlah air maniku ke luar. Mengalir dari mulut vagina Tante Agatha.
“Hihihiiii… kamu ngasih creampie sama tante Don?!” ucap Tante Agatha sambil mencubit lenganku.
“Nggak sengaja, Tante. Maaf…” sahutku tersipu.
Kemudian Tante Agatha mengajak mandi bareng di kamar mandi yang bersatu dengan kamar utama itu.
Entah kenapa, aku jadi langsung merasa dekat dengan calon mertuaku itu. Bahkan diam - diam Tante Agatha kuanggap sebagai kekasih baruku. Bukan lagi cuma calon mertuaku. Bahkan setelah tubuh kami dibasahi oleh pancaran air hangat shower, aku menyabuni sekujur tubuh Tante Agatha dengan telaten.
Pada waktu tubuh mulusnya sedang ku kusabuni itulah Tante Agatha berkata, “Sejak tadi malam tante sudah membayangkan nikmatnya disetubuhi olehmu, Sayang. Jadi jangan pikir kalau tante mengajakmu bersetubuh karena dipinjami duit sebesar itu. Walau pun tidak dikasih cek itu, tante tetap akan mengajakmu bersetubuh.
“Uang itu bukan pinjaman Tante,” sahutku sambil menyabuni bagian depan tubuh calon mertuaku.
“Jadi?” Tante Agatha menatapku dengan sorot serius.
“Jadi tak usah dikembalikan. Mudah - mudahan aja dengan dana yang kuhibahkan itu perusahaan Oom Gunadi sehat kembali.”
“O my God! Kamu memang sangat baik Don. Terima kasih yaaa…” ucap Tante Agatha sambil memeluk dan menciumiku dengan tubuh yang sama - sama penuh dengan busa sabun.
“Tante juga sangat baik. Sehingga aku dikasih sesuatu yang sangat indah tadi.”
“Soal itu sih berarti kita memang saling membutuhkan Don. Malah yang duluan kepengen kan tante sendiri. Aaah… kapan kamu mau balik ke Bangkok lagi?”
“Aku mau stay di Indonesia Tante. Ke Bangkok hanya sekali - sekali saja, karena masih ada perusahaan dan rumah yang belum dijual.”
“Jangan dijual Don. Siapa tau nanti kamu jadi ingin tinggal di Bangkok lagi.”
“Sebenarnya ada dua perusahaan peninggalan Papa yang takkan kujual. Begitu juga rumah itu, takkan kujual. Karena sejak bayi sampai dewasa aku tinggal di rumah itu.”
“Donny punya niat untuk menikah dengan Gayatri kan?”
“Iya Tante.”
“Terus kalau sudah menikah, mau tetap tinggal di Indonesia?”
“Betul.”
“Padahal kalau Donny stay di Bangkok lagi, kita bisa sering ketemuan.”
“Kalau mau ketemuan denganku sih gampang. Tante bisa terbang sendirian ke sini. Tapi Gayatri dan Tante Sin jangan dikasih tau. Setelah kita puas barulah mereka dikasihtau. Pura - pura baru tiba di kota ini, gitu.”
“Iya. Pasti nanti tante kangen terus sama kamu Don.”
“Tante… aku mau berterus terang ya. Aku memang pengagum wanita setengah baya. karena itu aku merasa senang sekali bisa memiliki tubuh Tante.”
“Bukan hanya tubuh. Batinku juga sudah kamu miliki sejak hari ini Sayang,” ucap Tante Agatha yang disusul dengan ciuman mesra lagi di bibirku. “Tapi… haiii… kontolmu udah ngaceng lagi Dooon… !”
“Iya Tante… aku sudah kepengen lagi nih…” sahutku sambil meraba - raba memek Tante Agatha yang masih berlepotan air dan busa sabun shower.
“Nanti setelah bersetubuh, pasti keringatan lagi. Harus mandi lagi. Di sini aja ya,” ucap Tante Agatha dengan senyum sumringah. Mungkin dia senang juga melihatku sudah bernafsu lagi.
Lalu Tante Agatha melangkah ke depan washtafel. Bak washtafel itu terletak di atas meja batu. Bak lonjong washtafel berada di sebelah kiri meja batu itu. Sementara di sebelah kanan washtafel itu kosong dan lumayan panjang, untuk rebahan pun bisa. Sebenarnya bagian yang kosong itu untuk menyimpan pakaian kotor sebelum dicuci.
“Iya Tante… bisa… bisa…” kataku dengan penuh semangat.
Kebetulan tinggi meja batu itu sejajar dengan penisku, sehingga aku bisa berdiri sambil mengarahkan moncong penisku ke memek calon ibu mertuaku yang sudah menganga kemerahan itu. Tapi begitu aku merapat ke depan kemaluan Tante Agatha, kedua kaki wanita setengah baya jelita itu diletakkan di atas bahuku sambil berkata, “Ayo…
“Nama panggilan Tante apa?”
“Atha,” sahut wanita Indo - Belgia itu sambil memegang penis ngacengku, lalu mencolek- colekkan moncong penisku ke mulut vaginanya. Lalu penisku dibenamkan sedikit ke mulut vaginanya. Sehingga aku tinggal mendorongnya saja.
Dan aku memang melakukan hal itu. Mendesakkan penisku yang kepalanya sudah nyungsep di celah memek Tante Agatha.
“Ooooohhh… sudah masuk lagi Sayaaaang… “rintih Tante Agatha sambil bersandar ke dinding, sementara kedua lipatan lututnya sudah berada di atas sepasang bahuku.
Lalu… sambil berdiri aku mulai mengentotnya dengan sepenuh gairahku.
Bahkan sepasang paha Tante Agatha kudorong sampai kedua lututnya berada di atas sepasang toket wanita Indo - Belgia itu.
Tante Agatha pun mengerti apa yang kuinginkan. Sepasang tangannya menarik lipatan lututnya, agar kedua lututnya tetap beraa di sebelah sepasang toketnya, tanpa harus kudorong pahanya.
Walau pun begitu aku masih bisa memegang sepasang toket Tante Agatha yang masih enak buat diremas - remas itu.
Lebih dari setengah jam aku mengentot Tante Agatha sambil berdiri begini. Memang benar seperti yang dikatakan olehnya tadi, bahwa dalam persetubuhan yang kedua ini keringat kami membanjir lagi.
Rintihan - rintihan hoisteris Tante Agatha pun berhamburan lagi dari mulut sensualnya. “Doooonnnn… oooooh Doooon… gak nyangka tante akan mendapatkan kontol muda yang masih begini gagahnya… ereksinya pun sempurna… setelah Donny menikah dengan Gayatri nanti, tante akan tinggal bersama kalian ya Doon…
Penisku pun tetap memompa liang memek calon mertuaku yang Indo - Belgia itu. Sampai akhirnya meletus di dalam liang memek Tante Agatha, bersamaan dengan orgasmenya wanita setengah baya itu.
Pelayan sudah menghidangkan makanan di ruang makan yang bersatu dengan kitchen itu. Maka kuajak Tante Agatha untuk makan bersama.
“Nanti kalau sudah nikah, Gayatri mau diajak pindah ke sini?” tanya tante Agatha setelah duduk di kursi makan, berhadapan denganku terbatas, meja makan.
“Ya dibawa ke rumahku Tante. Tapi nanti bagaimana baiknya aja. Aku juga harus mendengar apa yang diinginkan oleh Gayatri.”
Lalu kami mulai makan.
“Tante ikut program KB di Bangkok?”
“Nggak,” sahut Tante Agatha sambil tersenyum.
“Wah… kalau hamil gimana?”
“Nggak apa - apa.”
“Tapi kalau ketahuan sama Oom Gunadi, pasti beliau bakalan murka.”
“Nggak mungkin marah. Tante kan pernah minta cerai setahun yang lalu. Karena papanya Gayatri sudah bertahun - tahun tidak bisa memberikan nafkah batin lagi pada tante.”
“Terus?”
“Dia malah menangis. Minta agar tante jangan meninggalkannya. Kemudian dia mempersilakan tante berselingkuh dengan lelaki lain, sampai hamkil pun tidak apa - apa. Asalkan tante jangan minta cerai darinya.”
“Kasian…”
“Iya. Tante juga jadi kasihan sama dia. Makanya tante menguatkan diri untuk tetap hidup bersamanya. Tapi tante pun tak pernah berselingkuh di belakang dia. baru sekali ini tante berselingkuh sama calon mantu yang ternyata sangat memuaskan…”
“Terus… kalau tante hamil nanti gimana? Tante masih bisa hamil kan?”
“Tentu saja bisa. Selama belum menopause, semua perempuan masih dimungkinkan hamil. Tante kan baru empatpuluh tahun. Teman tante yang usianya empatpuluhtujuh saja masih bisa punya anak lagi kok.”
“Terus kalau Tante hamil nanti gimana?”
“Tante malah senang. Mudah - mudahan tante bisa hamil anak laki - laki darimu, biar tampan seperti ayahnya. Tante kan punya anak tiga orang, perempuan semua. Belum ada cowoknya.”
“Tiga orang? Bukannya adik perempuan Gayatri cuma seorang?”
“Kan sebelum menikah dengan papanya Gayatri, tante sudah punya anak perempuan seorang. Papanya Gayatri juga sudah punya anak seorang, ya Gandhi itu.”
“Owh… aku hanya dengar bahwa adik Gayatri bernama Galia.”
“Iya. Itu anak dari Oom Gunadi. Anak dari suami pertama tante bernama Liza. Nama lengkapnya Elizabeth.”
“Kata Gandhi, Galia itu tinggal di Bangkok. Terus Liza tinggal di Bangkok juga?”
“Nggak. Liza itu tinggal di Jakarta. Ohya, kalau bisa sih tempatkan Liza di perusahaanmu Don. Sekarang dia sudah kerja, tapi gajinya kecil sekali. Ohya… hampir saja tante lupa. Liza mau menemui tante di rumah Sin hari ini. Mungkin sekarang masih di jalan.”
“Suruh aja dia ke sini Tante. Usianya berapa tahun?”
“Duapuluhsatu.”
“Berarti pendidikannya…”
“Sudah de-tiga.”
“De-tiga dari jurusan apa?”
“Dari akademi sekretaris.”
“Mmmm… ya sudah. Kalau begitu suruh aja dia ke sini. Aku membutuhkan beberapa tenaga yang kursinya masih kosong. Maklum kantor perusahaanku ini baru dibuka dua bulan yang lalu.”
“Iya. Tante call aja Liza ya,” kata Tante Agatha sambil mengeluarkan handphone dari tas kecilnya.
“Silakan,” sahutku.
Lalu Tante Agatha menelepon anak sulungnya yang bernama Liza Elizabeth itu. Entah apa yang mereka bicarakan, karena menggunakan bahasa Belanda campur - campur bahasa Perancis.
Setelah selesai menelepon anaknya, Tante Agatha kuajak pindah ke sofa di ruang keluarga. di situlah Tante Agatha berkata padaku, “Masih di luar kota. Mungkin sejam lagi juga tiba di sini.”
“Ngomongnya campur - campur gitu. Ada bahasa Belanda, ada bahasa Perancis terkadang pake bahasa Jerman,” sahutku.
“Iya. Di Belgia kan ada tiga bahasa resmi. Bahasa Belanda, Perancis dan Jerman. Tapi yang tinggal di Brussel pada berbahasa Perancis. Liza lebih terbiasa menggunakan bahasa Belanda, karena ayahnya asli Belanda.”
“Berarti darah Indonesianya cuma duapuluhlima persen dong. Kan ayahnya Belanda, ibunya Indo - Belgia.”
“Iya. Tapi dia lahir dan besar di Jakarta.”
“Ayahnya masih ada?”
“Masih. Kami bercerai pada saat Liza masih balita. Lalu ayahnya kembali ke Nederland.”
“Tapi dia fasih berbahasa Indonesia kan?”
“Tentu aja. Dia kan lahir dan besar di Jakarta.”
“Di Jakarta dia bekerja sebagai sekretaris?”
“Justru itu… dia tamatan akademi sekretaris, tapi bekerja sebagai staf admin biasa. Karena di perusahaan itu sudah ada sekretaris.”
“Di sini juga sudah ada sekretaris Tante. Tapi nanti bisa saja kutukar posisinya, asalkan Liza mampu jadi sekretaris komisaris utama. Sekretaris lama akan kupindahkan menjadi sekretaris dirut.”
“Silakan atur - atur aja deh sama Donny. Tapi sama Liza jangan memperlihatkan sikap mesra sama tante ya,” ucapnya yang disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Tapi sebelum dia datang boleh aja kan aku bermesraan dulu sama Tante,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik gaun biru ultramarinenya.
“Emangnya Donny masih belum kenyang?”
“Belum,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan mulai menggerayangi memek tembemnya lagi.
“Ayo dong ke kamar lagi. Jangan di sini,” bisik Tante Agatha.
Dan… begitulah… menemukan wanita yang cocok dengan kriteriaku… aku jadi laksana kafilah dahaga di padang pasir. Sekalinya menemukan oase, minum sebanyak mungkin.
Di dalam kamar utama, kubenamkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang memek calon ibu mertuaku yang cantik dan sangat seksi itu.
“Jangan lebih dari sejam ya Sayang. Takut Liza keburu datang,” bisik Tante Agatha ketika batang kemaluanku sudah melesak amblas ke dalam liang memek yang sangat lezat itu.
“Iya mertuaku sayaaaang,” sahutku yang kususul dengan ciuman hangat di bibir sensualnya, sambil mulai mengayun batang kemaluanku perlahan - lahan dahulu.
“Ooo… ooo… oooooohhhhh… mulai enak lagi Dooon… ayo entot sepuasmu Sayaaaang… kontolmu luar biasa enaknyaaaaaa… entooot teruuuuusssss… ooooohhhhh… kalau sudah nikah sama Gayatri, Donny harus tetap rajin ngentot tante yaaaa…”
“Tentu aja Tante… memek legit begini takkan kulupakan seumur hidupku…” kataku sambil menghentikan entotanku dulu, “Tante pindah aja ke Indonesia, ke kota ini.”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa ngentot Tante sesering mungkin.”
“Terus tante mau tinggal di mana? Di rumah Sin bareng - bareng Gayatri?”
“Nanti kusediakan rumah, khusus buat Tante.”
“Kalau dikasih bisnis, tante mau. Biar ada alasan sama papanya Gayatri.”
“Boleh. Nanti kusediakan lahan bisnis buat tante di kota ini.”
“Don… sebenarnya tante juga ingin dekat selalu denganmu. Karena baru kamulah yang terasa sangat memuaskan di ranjang. Tante bahkan ingin sekali dihamili olehmu Sayang.”
“Aku juga merasakan hal yang sama. Tante memenuhi semua kriteriaku. Ya cantik, ya seksi, ya legit memeknya… setengah baya pula.”
“Usia setengah baya termasuk kriteriamu?”
“Betul Tante. Kalau belum ada janji dengan Gayatri, pasti aku akan mengejar Tante ke mana pun, sampai dapat.”
“Donny Sayang… sebenarnya tante juga sudah mulai mencintaimu. Kamu malah melebihi kriteria tante. Lebih dalam segalanya. Ya tampan, ya masih sangat muda, memuaskan di ranjang, baik hati pula.”
Lalu Tante Agatha mencium bibirku dilanjutkan dengan saling lumat. Terkadang lidahku disedot ke dalam mulutnya lalu digeluti oleh lidahnya. Aku pun melakukan hal yang sama ketika lidahnya terjulur, kusedot dan kumainkan di dalam mulutku. Sementara batang kemaluanku pun mulai diayun lagi… maju mundur lagi di dalam liang memek Tante Agatha yang luar biasa enaknya ini.
“Ayo Don… entot tante sepuasmu… tapi ingat… jangan sampai Liza keburu datang nanti… iyaaaa… entot yang kencang juga boleh… yang penting jangan terlalu lama… iyaaaa… iyaaaa… ooooh Dooonny… kontolmu memang luar biasa enaknya Doooon… entoottttt… entooootttttt… fuck me harder please…
Aku memang tidak mau berlama - lama, karena aku juga takut kalau Liza keburu datang. Tapi ketika aku ingin ngecrot secepatnya, malah sulit ngecrot.
Setelah hampir sejam aku menyetubuhi Tante Agatha, barulah aku bisa ngecrot di dalam liang memek Tante Agatha untuk yang ketiga kalinya, setelah Tante Agatha orgasme dua kali lagi.
Kemudian kami bergegas menuju kamar mandi untuk bersih - bersih. Dan kami kenakan lagi pakaian kami. Kemudian menyisir rambut di depan cermin meja rias.
Setelah merapikan pakaian dan rambut, kami turun ke lantai satu.
Hanya beberapa menit setelah tiba di ruang kerjaku, seorang petugas security mengantarkan seorang gadis bule berambut pirang. “Itu dia Liza,” kata Tante Agatha sambil bangkit dari kursi tamu di samping ruang kerjaku.
Aku terkaget - kaget dibuatnya. Kalau tadi persetubuhan kami terlambat lima menit saja, pastilah Liza harus menungguku di lantai satu. Menungguku yang sedang mengentot ibunya…!
“Ini pacar Gayatri, Liz,” kata Tante Agatha sambil menunjuk ke arahku, “Dia ini anak tunggal Mr. Margono yang pernah kuceritakan dahulu. Sekarang Mr. Margono sudah meninggal dan dia yang melanjutkan semua perusahaannya.”
Liza menjabat tanganku sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum cewek bule berambut pirang itu…!
“Tepat seperti dugaanku, Liza ini tujuhpuluih lima persen bule ya Tante,” kataku setelah berjabatan tangan dengan anak sulung Tante Agatha.”
“Iya… malah gak kelihatan Indonesianya. Dia seperti seratus persen bule kan?” tanya sahut Tante Agatha.
Aku menatap wajah Liza yang masih berdiri sopan di depanku. Memang Liza tampak 100% bule… cantik pula, tak kalah cantik dari ibunya. “Iya Tante,” sahutku sambil tersenyum. Liza tersipu, lalu duduk di samping ibunya.
“Mbak Wien… tolong mintakan minuman ke kitchen,” kataku kepada Mbak Wien, sekretarisku yang usianya kira - kira sebaya dengan Tante Agatha itu.
“Siap Big Boss, “Mbak Wien berdiri lalu melangkah ke luar.
Kemudian aku berunding dengan Tante Agatha dan Liza Elizabeth. Tentang job yang akan diberikan pada Liza. Sebagai sekretaris komisaris utama. Sementara Mbak Mbak Wien akan kutugaskan sebagai sekretaris dirut. Tentu saja dengan gaji yang jauh lebih besar daripada gaji Liza di Jakarta.
Liza tampak bersemangat pada awalnya. “Tapi, di mana aku tinggal nanti Mam?” tanya Liza kepada ibunya, “Kalau di rumah Tante Sin aku gak mau.”
Tante Agatha menoleh padaku, “Liza pernah bentrok sama Sin. Makanya dia tidak mau tinggal di rumah Sin. Bagaimana tuh Don?” tanyanya.
Gamp[ang soal itu sih. Di belakang ada rumah kosong yang siap untuk ditinggali. Jarak dari rumah itu ke sini hanya beberapa puluh meter saja. Jadi kalau mau ngantor gampang. Tinggal melangkah beberapa menit saja. Tak usah pakai kendaraan lagi. Mau dilihat rumahnya?”
Liza berdiri sambil berkata, “Siap Big Boss.”
“Hahahaaa… kalau tidak di depan karyawan lain, gak usah manggil boss,” kataku, “Panggil namaku juga boleh. Kita kan sebaya. Sama - sama duapuluhsatu taun kan?”
“Nggak enak dong manggil nama sama Big Boss,” sahut Liza.
“Aku sih bukan orang yang gila hormat,” kataku sambil berdiri, “Ayo kita lihat rumahnya Liz. Tante juga ikut aja, gak jauh kok dari sini rumahnya.”
Memang rumah itu tidak jauh dari kantorku. Sebenarnya ada lima buah rumah yang kubangun di tanah kosong peninggalan almarhum Papa. Tujuanku, untuk karyawan yang menduduki jabatan penting di perusahaanku nanti. Supaya gampang memanggilnya kalau ada masalah perusahaan yang emergency.
Kelima rumah itu bukan rumah mewah. Tapi bentuknya cantik semua, bergaya minimalis, masing - masing terdiri dari satu kamar tidur yang bersatu dengan kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang makan, satu kamar berukuran kecil untuk pembokat, satu dapur dan kamar mandi di luar kamar tidur (untuk tamu dan pembokat yang mau mandi atau buang air).
Untuk Liza, sengaja kupilih yang plus. Yang ada tambahan kamar tidurnya, jadi dua kamar tidur dan satu kamar untuk pembokat.
Tante Agatha dan anak sulungnya tampak senang melihat rumah yang kusediakan untuk tempat tinggal Liza itu.
“Tapi nanti gak usah ngasihtau Sin dan Gayatri ya Don,” kata Tante Agatha setengah berbisik padaku, “Soalnya ya itu.. Sin pernah bentrok sama Liza. Entah urusan apa yang bikin mereka bentrok. Tapi kelihatannya Liza marah sekali sama Sin.”
“Iya Tante. Aku takkan ngomong kalau Liza sudah kurekrut ke perusahaanku,” sahutku. Lalu aku menoleh ke arah Liza, “Bagaimana? Senang dengan rumah ini?”
“Seneng banget,” sahut Liza.
“Sekarang mau langsung ditempati?” tanyaku.
“Jangan dulu. Nanti malam harus kerja lembur. Sekalian mau pamitan sama temen - temen.”
“Wah… sekarang sudah sore. Emangnya sempet nyampe Jakarta sebelum jam overtime?”
“Iya ya… pasti terlambat sih. Tapi biarin aja, kan mau resign,” sahut Liza.
“Kalau gitu kuanterin aja ke Jakarta ya,” kataku.
“Haaa…?! Big Boss mau nganterin aku ke Jakarta? Kalau berkenan sih ya tentu aja aku mau… mau banget,” wajah cantik Liza tampak ceria.
“Iya, “aku mengangguk, “Boleh ya Tante kuanterin Liza ke Jakarta?” aku menoleh ke arah Tante Agatha.
“Boleh. Tapi tante gak bisa ikut. Mau kembali ke rumah Sin. Takut mereka cemas karena aku terlalu lama meninggalkan rumah Sin.”
“Gak usah ngomong ketemuan sama aku ya Mam,” kata Liza kepada ibunya.
“Iya iya, “Tante Agatha mengangguk - angguk sambil tersenyum…
Beberapa saat kemudian Liza Elizabeth sudah duduk di sampingku, dalam mobil yang kusetir sendiri. Setelah berkali - kali aku meminta agar Liza jangan memanggilku Big Boss jika sedang berduaan begini, kecuali kalau di depan karyawan - karyawanku, akhirnya mau juga dia menyebut namaku langsung.
Bahkan aku merasa bahwa Liza itu punya perasaan yang “khusus” padaku, tapi belum berani mengucapkannya, mungkin.
“Di Jakarta tinggal di rumah siapa?” tanyaku pada suatu saat.
“Di rumah kos - kosan,” sahut Liza.
“Kamu kan bakal resign dari tempat kerjamu. Lalu kenapa sekarang ngeyel mau kembali ke Jakarta?”
“Aku punya jutang ke kantin. Harus dibayar dulu. Aku juga harus pamitan dulu kepada teman - temanku. Pakaianku juga kan harus dibawa. Masa mau ditinggal begitu aja di rumah kos? Lagian bulan ini aku belum bayar sewaan kamarnya. Harus dibayar dulu kan? Masa mau meninggalkan tanggungjawab.”
“Betul juga sih.”
Hening sesaat.
Lalu terdengar suara Liza lagi,” Kata Mama. Mr. Margono itu punya pesawat jet pribadi segala. Berarti sekarang punya Donny dong pesawatnya.”
“Iya. Ada dua buah pesawatnya. Tapi dua - duanya sudah kujual,” sahutku.
“Lho kenapa?”
“Punya pesawat terbang itu suatu pemborosan. Biaya parkir di hanggar bandara mahal sekali. Gaji piulot dan pramugari juga harus dipikirkan kan?”
“Tapi kan keren Don. Ke mana - mana bisa pakai pesawat jet pribadi.”
“Justru aku tak ingin kelihatan keren. Aku ingin menerapkan pola hidup sederhana. Makanya mobil ini pun kubeli dari showroom mobil second. Bukan mobil baru. Makanya jangan manggil Big Boss kalau sedang berduaan begini. Aku tak mau kelihatan sebagai pewaris harta Mr. Margono.”
Tiba - tiba Liza menempelkan pipinya di bahuku sambil berkata, “Lantas… aku harus manggil Honey atau Sayang atau apa?”
Hmmm… ini adalah indikator awal yang cukup jelas. Bahwa Liza itu punya perasaan khusus padaku.
“Terserah kamu mau manggil apa. Asal jangan manggil Big Boss aja. Kecuali kalau di kantor nanti.”
“Mmm… pacaran sama Gayatri sudah berapa lama?”
“Sudah enam bulanan.”
“Donny serius sama dia? Maksudku punya niat menikah dengan Gayatri?”
“Iya.”
“Padahal harusnya kakak Gayatri yang Donny jadikan calon istri.”
“Maksudmu… seharusnya aku jadi pacarmu, gitu?”
“Iya. Aku kan kakaknya. Kalau Gayatri duluan menikah, berarti dia melangkahiku.”
“Bicara lebih jelas lagi dong. Liza maunya gimana?”
“Yah… cowok kan bisa punya pacar lebih dari seorang. Aku mau kok dijadikan pacar Donny juga.”
“Karena apa? Karena aku banyak duit?”
“Bukan iiih… aku bukan cewek matre.”
“Lalu apa sebabnya Liza bisa punya pikiran begitu?”
“Aku mau jujur ya Don. Tapi jangan diketawain.”
“Silakan bicara sejujurnya. Aku paling suka cewek yang jujur.”
“Begitu melihat Donny tadi, aku langsung jatuh hati Don.”
“Ohya?”
“Iya. Donny tampan sekali sih. Lagian Donny punya daya pesona yang begitu kuat. Sehingga cewek mana pun bisa jatuh hati sama Donny.”
“Kamu juga sangat cantik Liz.”
“Jadi? Aku diterima nih ceritanya?”
“Iya. Tapi aku tak mau meninggalkan Gayatri.”
“Aku juga tidak ingin hubungan Donny dengan Gayatri putus. By the way, apa kelebihan Gayatri sehingga Donny bisa jatuh cinta padanya?”
“Gayatri itu cantik dan penyabar. Perilakunya selalu santun. Dan… dia masih seratus persen perawan.”
“Aku juga masih perawan Don. Mau dibuktikan juga silakan. Asal jangan seperti makan tebu aja… habis manis sepah dibuang.”
“Aku tidak sejahat dan sekejam itu Liz,” kataku sambil membelokkan mobilku ke rest area yang tampaknya sepi sekali itu. Setelah mengisi pertamax, kuparkir mobilku di depan sebuah rumah makan minang.
“Makan dulu yok. Bisa makan nasi padang kan?”
“Bisa banget. Aku malah suka sekali makan nasi padang. Ada pedasnya, tapi tidak gila - gilaan pedasnya.”
Di dalam rumah makan padang itu obrolan kami dilanjutkan. Sambil menyantap masakan padang yang sudah lengkap dihidangkan di atas meja. Seperti biasa ciri khas rumah makan padang, semua teman nasi yang ada dihidangkan di atas meja.
“Kenapa Liza musuhan sama Tante Sin?” tanyaku sambil mulai makan.
“Bukan musuhan. Dahulu aku pernah mendamprat dia habis - habisan,” sahut Liza.
“Dia godain pacarku. Tapi kejadiannya udah lama, waktu aku masih di SMA. Pacaran cinta monyet lah.”
Aku terhenyak mendengar pengakuan Liza itu. Karena kalau kejadian itu pada saat Liza masih duduk di bangku SMA, berarti Papa masih ada. Dan pada waktu Papa masih ada, Tante Sin bisa mewnggoda pacar Liza? Apakah seperti ketika Tante Sin menggodaku?
Tapi sudahlah. Itu bukan urusanku. Lagian kejadiannya juga sudah lama.
“Sejak saat itu aku gak mau lagi mengunjungi rumah Tante Sin,” kata Liza.
“Sampai sekarang masih dendam sama Tante Sin?”
“Nggak sih. Udah gak marah. Cuma gak enak aja bertamu ke rumah dia, padahal dahulu pernah kudamprat abis - abisan.”
“Makanya kalau mau marah sama saudara, pikirin dulu mateng - mateng. Kalau masih ditahan, ngomong baek - baek aja,” kataku.
“Siap Honey,” ucap Liza sambil tersenyum manis. Oh… senyumnya itu… membuat pikiranku melayang ke mana - mana.
Jujur, aku tergoda. Mudah sekali aku tergoda oleh wajah cantik dan senyum manis cewek bule itu. Tapi aku pun harus berpikir sejauh mungkin. Apakah Gayatri takkan merasa disakiti kalau aku mengadakan hubungan dengan kakak seibu beda ayahnya itu?
Dan biasanya, kalau aku sudah tertarik pada seorang cewek, langsung kuperjuangkan untuk menyetubuhinya. Tapi aku baru habis -habisan dengan Tante Agatha di private room kantorku. Sampai tiga ronde pula.
Masih punya powerkah aku sekarang? Jangan - jangan penisku tak bisa ereksi nanti.
Tapi oooii maaaak… diam - diam si johni sudah celingukan di balik celanaku. Karena aku membayangkan seperti apa tubuh Liza kalau sudah ditelanjangi nanti.
Dari luar pun aku bisa menilai seperti apa kira - kira tubuh Liza yang bule total itu. Tubuhnya yang tinggi dan agak montok, dengan dada membusung dan bokong membusung pula… pasti jauh beda dengan Gayatri. Aku yakin toket Liza agak gedean. Pinggangnya pun tidak kecil seperti pinggang Gayatri.
Dan kalau tidak salah, seandainya aku berpolygami… dua orang cewek kakak beradik, bisa dinikahi dua - duanya.
Hmmm… selalu saja aku berpikir melesat jauh, selalu saja aku punya jalan tol untuk meraih tubuh yang seksi seperti Liza Elizabeth itu.
“Kok jadi bengong? Inget sama Gayatri ya?” tanya Liza sambil menatapku dengan sorot sayu. Maaak… kesayuan mata Liza itu seolah mengajak tidur bersamaku…!
Kujawab, “Nggak, aku sedang mikir… Gayatri itu adik seibu beda ayah kan?”
“Iya.”
“Terus dengan Gandhi…”
“Kalau Gandhi kan saudara tiri. Karena beda ayah beda ibu.”
“Begitu ya.”
“Iya. Karena sebelum menikah dengan Mama, Papa Gunadi itu sudah punya anak, ya Gandhi itu. Mama pun sudah punya anak, ya aku ini.”
“Iya… iya… “aku mengangguk - angguk. Lalu memanggil pelayan untuk menghitung makanan yang sudah kami santap.
Setelah membayar makanan yang kami santap, kami pun masuk ke dalam mobil kembali. Hari pun sudah mulai gelap. Sehingga aku hanya menghidupkan mesin mobilku, tanpa menjalankannya.
“Kaca mobilnya gelap sekali ya,” ucap Liza setelah memasangkan seat belt.
“Iya. Kita mau ngapain juga takkan terlihat dari luar,” sahutku sambil menunggu reaksi Liza.
Ternyata Liza memang bereaksi. Seat beltnya dilepaskan kembali, kemudian merangkul leherku dan memagut bibirku ke dalam ciuman hangatnya. Agak lama dia melengketkan bibirnya di bibirku. Aku pun membalasnya dengan lumatan lahap.
“Oooohhhh… maaf ya… aku jadi lancang…” ucap Liza setelah ciumannya terlepas, “Soalnya udah gemes, dari tadi pengen nyium bibir Donny…”
“Bagaimana kalau kita chek in aja ke hotel di Jakarta nanti? Soal kerja lembur, telepon aja atasanmu. Bilang aja terus terang mau resign gitu.”
“Terus di hotel mau ngapain? Mau buktiin keperawananku?”
“Iya,” sahutku tegar,” Ucapanmu tadi serius kan?”
“Ucapan yang mana?”
“Yang bilang siap untuk dibuktikan keperawananmu.”
“Serius. Asalkan Donny jangan membuatku habis manis sepah dibuang.”
“Kalau kamu masih perawan… aku akan serius menjalin hubungan denganmu.”
“Terus Gayatri mau diapain?”
“Kelak kamu dan Gayatri akan kujadikan istriku dua - duanya. Tapi jangan terburu - buru. Karena aku ingin kamu dan Gayatri menerima kenyataan itu secara damai - damai aja.”
“Jadi untuk sementara hubungan kita harus dirahasiakan dulu kan?”
“Iya. Pokoknya kamu akan kujadikan sekretaris pribadiku. Ke mana pun aku pergi, kamu harus ikut.”
“Siap Big Boss. Tapi… kalau aku hamil nanti gimana?”
“Soal itu sih jangan takut. Aku membawa pil kontrasepsi, agar kamu jangan hamil dulu.”
“Sip deh kalau gitu sih. Oke… aku sekarang juga mau nelepon atasanku ya.”
“Silakan,” sahutku. Lalu turun dulu dari mobil, agar Liza bicara leluasa dengan atasannya. Sekalian menyalakan rokok dan menikmati asapnya di depan mobilku.
Beberapa menit kemudian terdengar suara Liza, “Sudah Don… !”
“Gimana? Bisa selesai lewat handphone aja?” tanyaku.
“Iya. Aku sekalian nitip bayarin utangku di kantin kantor. Lagian untuk bulan ini aku belum terima gaji. Masa gak bisa diselesaikan oleh gajiku nanti.”
Sambil menjalankan mobilku kembali, kusahut, “Soal itu sih bukan masalah gede. Kalau perlu nanti transfer aja duit ke kantin.”
“Hihihiii… ibu kantinku gak ngerti transfer - transferan. Tabungan aja gak punya. Gimana mau main transfer sama dia?”
“Kan bisa nitip transfer sama teman yang bisa dipercaya.”
“Iya. Nanti kutransfer ke sahabatku aja. Terus… kita mau langsung cek in nih?”
“Iya. Are you ready for fucking?”
“Yes Sir! I’m ready Sir!!“ sahut Liza dengan nada seorang bawahan kepada atasannya. Membuatku tersenyum. Sambil membayangkan segala yang bakal terjadi nanti.
Lalu Liza menyandarkan kepalanya di bahuku sambil berkata, “Tapi aku sa, ma sekali belum punya pengalaman dalam soal seks. Jadi tolong ajarin nanti ya Don.“
“Alaaa… soal itu sih gampang. Nanti kamu tinggal celentang, kontolku dimasukkan ke dalam memekmu, lalu kuentot samp[ai ngecrot crot crottttt…“
“Hihihihiii. Donny kok mendadak vulgar gitu ngomongnya… !” cetus Liza sambil mencubit lengan kiriku.
“Para pakar seks bilang, sewaktu akan atau sedang berhubungan seks, ngomonglah sejorok mungkin. Jangan terlalu formal. Karena omongan jorok atau cabul itu justru akan menambah gairah.”
“O begitu ya. Mmm… aku juga mau ngomong jorok ah… mmm… kalau kontol Donny dimasukkan ke dalam liang memekku, sakit nggak Don?”
“Nanti memekmu akan kujilatin dulu sampai benar - benar basah, untuk mempermudah masuknya kontolku ke dalam memekmu.”
“Memekku mau dijilatin dulu? Seperti dalam film bokep ya?”
“Iya. Kamu sering nonton bokep kan?”
“Sering sih nggak. Takut terangsang sih. Cuma pernah empat atau lima kali nonton dari hape temen.”
Sejam kemudian, mobilku sudah keluar dari pintu tol ke arah Senayan.
“Sebenarnya aku punya dua rumah di Jakarta. Tapi pasti harus bersih - bersih dulu, karena rumah yang sudah lama ditinggalkan. Makanya mending cek in di hotel aja.”
“Iya, terserah kamu aja, Cinta,” sahut Liza yang disusul dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku, emwuaaaah…!
“Kamu serius cinta sama aku?” tanyaku.
“Ya seriuslah. Kalau gak cinta, masa aku mau dibawa ke hotel segala. Apalagi sudah jelas rencananya… mau buktiin virgin gaknya memekku kan?”
Aku ketawa kecil mendengar jawaban yang blak - blakan itu.
Beberapa saat kemudian, mobilku sudah memasuki pelataran parkir sebuah hotel bintang lima plus satu diamond, sementara jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Setelah cek in, aku dan Liza melangkah ke arah pintu lift, sambil membawa kartu electronic key pintu kamar di lantai 16.
Begitu berada di dalam kamar yang telah dibooking itu, Liza melingkarkan lengannya di leherku. Menatapku dengan senyum manisnya dan berkata perlahan, “Sekujur tubuh dan jiwaku akan menjadi milikmu. Aku hanya mohon, jangan sia - siakan cintaku nanti ya Honey…”
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Liza pun memagut bibirku ke dalam ciuman mesranya. “Tapi aku mau mandi dulu Don. Boleh?”
“Sama,” sahutku, “Aku juga harus mandi dulu biar bersih dan segar badannya. Mandi bareng aja yuk. Biar jadi kenangan indah kelak.”
Liza menatapku dengan sorot ragu. “Mmmm… ayo deh… kan waktu membuktikan virginitasku harus telanjang juga. Hihihiii… ini pertama kalinya aku mau mandi bareng cowok.”
Setibanya di kamar mandi, Liza menanggalkan gaun orangenya, lalu gaun itu digantungkan di kapstok kamar mandi. Mulailah tampak betapa indahnya tubuh Liza itu. Tinggi langsing dan agak montok. Setelah ia melepaskan behanya, tampaklah sepasang toket indah berukuran sedang, tidak semontok dugaan semulaku.
Aku memenangkan diriku sendiri dengan melepaskan celana jeans dan baju kaus casualku. Lalu kulepaskan juga celana dalamku.
Dan ketika kami berhadapan, kami saling pandang. Saling meengamati dari ujung kaki sampai kepala. Lalu kami sama - sama tertunduk. Seperti tidak tahu apa yang harus kami lakukan.
Terdengar suara Liza, “Jantungku berdegup kencang Don…”
“Kenapa? Takut?” tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Dengan tangan kiri membekap toket kirinya, sementara tangan kananku membekap memek tembemnya.
“Don ..” ucapnya.
“Hmm?”
“Apakah Donny mencitaiku?”
“Kalau tidak cinta, ngapain aku mau memecahkan keperawananmu segala?”
“Aku memang turunan bule dari Papa dan Indo Belgia dari Mama. Tapi jiwaku tidak seperti cewek - cewek bule di negaranya, yang mengobral memek kepada cowok yang hanya ingin iseng semata. Karena itu sampai saat ini aku bisa mempertahankan kesucianku. Karena aku hanya mau memberikan kesucianku pada cowok yang benar - benar kucintai dan jelas masa depannya.
“Iya. Tenang aja. Aku akan membujuk Gayatri pelan - pelan. Agar dia rela dipoligami. Bahkan mungkin saja dia senang kalau kubilang bahwa aku akan mengawinimu juga Liz,” kataku, sementgara jemari tangan kananku sedang mencari - cari letak clitoris Liza. Dan setelah ketemu, kuelus - elus kelentit cewek bule berambut brunette itu (yang tadinya kusangka pirang, setelah dilihat dari dekat rambutnya tidak pirang benar, cuma brunette/kecoklatan).
Terasa tubuh Liza bergetar setelah jemariku mengelus - elus kelentitnya ini.
“Dududuuuuh Dooon… mandi dulu yooook… nanti kalau udah mandi sih mau ngapain juga silakan, “Liza meronta, lalu menghampiri kran shower. Dan memutarnya ke titik merah. Air hangat pun terpancar dari shower di atas kepala kami.
Kemudian kami agak menjauh dari siraman air shower, untuk menyabuni tubuh kami. Tepatnya saling menyabuni. Karena aku dengan senang hati menyabuni sekujur tubuh bule yang terasa masih fresh di sana - sini ini. Sementara Liza pun menyabuni tubuhku dengan telaten. Bahkan ketika tangannya akan menyabuni penisku yang sudah ngaceng berat ini, “Ini kan yang mau dimasukin ke dalam memekku?
Aku pun menyabuni memek Liza sambil berkata, “Iya… nanti kontolku bakal dimasukin ke sini…”
“Hihihihiii… kebayaaang…”
“Kebayang apa?”
“Pokoknya kebayang kayak di film bokep. Tapi aku kan belum pernah ngerasain. Gak tau bakal gimana jadinya nanti.”
Sambil berdiri di bawah pancaran air hangat shower, untuk membilas busa sabun di tubuh kami, aku berkata, “Pokoknya Liza takkan kusakiti. Bahkan sebaliknya… akan kuajak terbang ke langit imajinasi seks nanti…”
“Iya… aku sudah ingin merasakannya,” sahut Liza sambil meraih salah satu handuk putih yang disediakan oleh hotel five star plus diamond one itu.
Kemudian Liza menghanduki sekujur tubuhnya. Begitu pula aku, menghanduki tubuhku sampai kering. Kemudian membelitkan handuk itu di badanku.
Liza pun melakukan hal yang sama. Setelah mengeringkan badan dan rambutnya, handuk putih itu dibelitkan di tubuhnya, dari toket sampai pahanya. Kemudian dia memegang lenganku, keluar dari kamar mandi menuju bedroom.
Yang menyenangkan pada Liza ini aalah sifat periangnya itu. Dia murah senyum dan tawa. Sikapnya selalu open minded. Sehingga aku menilai dia bakal membawa keceriaan selalu kelak.
Ketika sudah berada di atas bed, dengan ketawa kecil Liza melepaskan belitan handukku. Kemudian melemparkan handuk itu ke atas sofa. Aku pun membalasnya, dengan menarik handuk yang membelit di tubuhnya, kemudian melemparkannya ke atas sofa juga.
Dalam keadaan sudah telanjang, Liza bergerak cepat, menjauhiku sambil ketawa cekikikan. Tapi setelah tertangkap tangannya, ia langsung memelukku, menciumi pipi dan bibirku. Lalu berkata setengah berbisik, “Jujur, baru sekali ini aku jatuh cinta sedemikian cepatnya… dan langsung mendalam…”
Kusahut, “Aku suka kamu… suka senyum manismu… tawa riangmu dan… memek tembem ini… hihihiiii…”
Akhirnya Liza menelentang dengan kedua tangan direntangkan lebar - lebar sambil berkata lirih, “Silakan pangeranku… sekujur tubuhku sudah menjadi milikmu…”
Aku pun tak mau pasif lagi, karena aku yakin bahwa penisku bakal mampu (setelah tadi siang main tiga ronde dengan mamanya Liza). Lalu aku merayap ke atas perutnya, untuk mencelucupi puting payudaranya yang begitu indah di mataku.
Memang tubuh Liza proporsional. Tubuhnya tidak bisa dibilang kurus, tidak pula chubby. Toketnya tidak kecil, tapi tidak juga gede. Bokongnya pun tidak kecil, tapi tidak juga semok. Segalanya berukuran sedang, berukuran ideal.
Dan ketika aku sedang mencelucupi puting payudara kirinya, tangan kiriku pun beraksi untuk meremas toket kanannya. Suhu badan Liza pun terasa meningkat, jadi hangat. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Karena tujuan utamaku ingin menjilati kemaluannya sampai basah kuyup, agar memudahkan penisku untuk melakukan penetrasi.
Karena itu aku mulai melorot, untuk menjilati pusar perutnya. Itu pun tidak lama kulakukan. Lalu aku melorot lagi sampai wajahku berhadapan dengan kemaluan Liza yang sangat indah ini. Indah karena tembem dan rapat. Tidak berjengger seperti cewek bule pada umumnya.
Liza memang putih bule kulitnya. Wajahnya pun wajah cewek bule. Tapi memeknya… memek bangsaku. Tidak ada jengger yang nongol ke luar seperti memek cewek - cewek bule…!
Setelah merenggangkan sepasang paha putih mulusnya, aku pun mengangakan kemaluan Liza dengan kedua tanganku, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu pun terbuka lebar… mengkilap dan tampak licin. Di bagian yang berwarna pink itulah ujung lidahku mulai menari - nari… menyapu - nyapu dengan lahapnya.
“Hihihiiii… geli… geli tapi… enaaak… hihihiii… “Liza menggeliat - geliat sambil meremas - remas kain seprai yang bercorak itu.
Sambil menjilati memek Liza, diam - diam aku pun mengamati bentuk bagian dalam vagina kakak seibu Gayatri itu. Sehingga aku yakin bahwa Liza masih perawan.
Lalu kujilati lagi memek yang masih sangat rapat itu sampai basah kuyup. Clitorisnya pun tak kulewatkan, kujilati dan kusedot - sedot sebisaku. Sehingga terasa memek Liza sudah cukup basah.
Maka tanpa buang - buang waktu lagi kujauhkan mulutku dari kemaluan Liza. Kemudian kuarahkan agar pahanya diusahakan agar tetap merenggang sejauh mungkin. Liza pun mengikuti arahanku.
Kemudian kuletakkan moncong penisku di mulut vaginanya. Dengan cermat sekali, agar jangan salah arah.
Lalu kudorong penis ngacengku sekuat tenaga. Sulit masuknya. Kudorong lagi… belum berhasil… kudorong lagi… belum membenam juga.
Kukumpulkan tenagaku untuk mendorong penisku lebih kuat lagi.
Dengan bersusah payah, akhirnya kepala penisku berhasil membenam ke dalam celah kewanitaan Liza.
Dengan sekuat tenaga kudorong lagi prenisku… membenam sampai lehernya… aku pun menarik nafas panjang dulu… kemudian kudorong lagi penisku sekuatnya… ughhh… sekuatnya… ughhh… sekuatnya… sampai masuk separohnya…!
Aku pun merapatkan dadaku ke dada Liza, yang disambut dengan pelukan Liza di leherku, “Sudah masuk Bang?”
“Sudah. Kok manggil Bang?”
“Kan usia Donny dua bulan lebih tua dariku. Jadi akju mau manggil Bang aja ya. Kalau nyebut nama langsung takut kebiasaan. Nanti kalau Bang Donny jadi suamiku gimana? Buat orang barat sih gak apa - apa manggil nama sama suami. Tapi aku kan WNI. Aku gak mau manggil nama langsung pada suami.”
“Owh… ya udah. Biar kompak juga sama Gayatri yang manggil bang padaku.”
Kemudian aku mulai mengayun penisku perlahan - lahan, di dalam liang kemaluan yang luar biasa sempitnya ini.
Namun beberapa menit kemudian, liang sanggama Liza mulai beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku. Sehingga aku mulai lancar mengentotnya.
“Ooooo… oooooohhhh Baaaang… iiii… inii enak sekali… oooooh rasanya sampai seperti melayang - layang gini Baaaang… enak Baaaaang…”
“Uhhh… Gak sakit?” tanyaku.
“Tadi pas baru dimasukin memang agak sakit sedikit. Tapi sekarang tinggal enaknya doang Bang… lanjutin Baaaang… ternyata dientot kontol Bang Donny ini enak sekali Baaaang…”
“Memekmu juga enak sekali Sayang.”
“Ooooh… hatiku bahagia sekali dipanggil Sayang sama Abang… karena aku benar p- benar mencintai Abang… oooo… oooooohhhhh… enak Baaang… entoot teruuus Baaaang… entooot terus… iyaaaa… iyaaaaa… iyaaaaaa…”
Ayunan penisku memang mulai lancar. Sehingga aku bisa mengentot Liza dalam kecepatan normal.
Liza pun merintih dan merintih terus. Rintihan yang terdengar erotis di telingaku.
Diam - diam aku memperhatikan penisku yang sedang maju mundur di dalam liang memek Liza. Ternyata ada garis - garis merah darah di penisku. Berarti Liza memang masih perawan sebelum kupenetrasi tadi.
Padahal sebenarnya baik masih perawan atau pun tidak, Liza tetap akan kunikahi kelak. Karena aku membutuhkan tangan kanan di perusahaanku nanti. Kalau sudah menjadi istriku, Liza pasti bisa all out bekerja di perusahaanku nanti.
Liza merintih - rintih terus pada saat aku semakin intensif mengentotnya. “Bang Dooon… oooooh… ini makin lama makin enak Baaaang… ooooh… makin enak bang… makin enaaaak… entot terus Bang… entooootttt… entoooooootttttt…”
Ketika aku mulai menggencarkan entotanku, Liza pun semakin menggeliat - geliat. Terlebih setelah tangan dan mulutku mulai beraksi. Dengan mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toketnya yang terasa ngepas sekali rasanya… ngepas enaknya buat diremas.
Lalu mulutku berpindah sasaran. Menjilati lehernya yang sudah mulai keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Rintihan - rintihan histerinya pun semakin menjadi - jadi. “Baaaang… ooooohhhhh… Baaaaaang… makin lama makin enak Baaaang… aku cinta padamu Bang… sangat cintaaaaa…
Bahkan beberapa saat berikutnya Liza mulai berkelojotan sambil berucap terengah, “Adudududuuuuuhhh… Baaaang… Baaaang… ini… memekku serasa mau ambrol Baaaang… tapi enak sekali… Baaaang…”
Melihat gelagatnya aku pun mengerti apa yang akan terjadi. Aku menjawabnya dengan, “Itu pertanda mau orgasme Sayang… ayoooo… luapkan saja orgasmenya… ayooo sayaaang…”
Kugencarkan entotanku secepat mungkin sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi, karena Liza sedang mengejang tegang. Liza melotot seperti melihat hantu, lalu terpejam erat - erat dengan mulut ternganga.
Aku merasakan sesuatu yang indah ini. Bahwa ketika nafas Liza tertahan dengan sekujur tubuh mengejang, liang memeknya terasa berkedut - kedut kencang.
Lalu Liza melepaskan nafasnya yang tertahan 2 - 3 detik… dan terkulai lunglai, disusul dengan lenguhannya, “Oooh… indah sekali Baaang… terima kasih yaaaa…”
Aku sadar bahwa persetubuhan ini merupakan persetubuhan yang keempat hari ini. Karena tadi siang aku habis menyetubuhi Tante Agatha sampai 3 ronde. Maka wajar kalau durasi entotanku bakal lama sekali. Karena itu. setelah Liza tampak berdarah lagi, aku pun mencabut batang kemaluanku. Kemudian kulihat genangan darah sebesar coin di kain seprai tepat di bawah kemaluan Liza.
Itu darah perawan Liza, sebagai saksi bahwa sebelum kuterobos oleh batang kemaluanku tadi, Liza masih suci.
Maka dengan segala hormat di dalam batinku, bibir Liza kuciumi bertubi - tubi, disusul dengan ucapan, “Tadi kamu masih perawan, sebelum keperawananmu itu diberikan padaku. Mulai detik ini aku benar - benar mencintaimu Sayang.”
Liza menatapku dengan sorot mata yang berbinar - binar, “Terima kasih Bang. Berarti aku tidak bertepuk sebelah tangan…”
“Aku hanya minta agar Liza kompak dengan Gayatri nanti ya. Karena aku akan mencintai kalian berdua sebagai calon istriku.”
“Iya Bang. Aku dengan Gayatri tak pernah bentrok kok. Malah waktu dia masih kecil, akulah yang suka mengasuhnya.”
“Tapi aku belum ejakulasi, Sayang… kita lanjutkan masih kuat?”
“Boleh.”
“Mau coba ganti posisi?”
“Terserah Abang. Aku kan belum berpengalaman.”
Lalu kuajak melanjutkan persetubuhan ini dalam posisi doggy. Liza menurut saja. Lalu kuperagakan bagaimana caranya merangkak dan menungging, sementara aku akan mengentotnya sambil berlutut di hadapan bokongnya yang ditunggingkan itu.
Liza menurut saja. Dan setelah ia menungging di atas kasur, aku pun berlutut di depan sepasang buah pantatnya yang elok sekali bentuknya. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Bentuk yang ideal - proporsional.
Lalu kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek yang nyempil di antara kedua pangkal pahanya itu. Sekarang tidak terlalu sulit melakukan penetrasi, karena Liza baru habis orgasme, sehingga liang memeknya masih basah dan licin.
Kemudian… sambil memegang kedua buah pantat Liza, aku pun mulai mengentotnya lagi.
Dalam posisi doggy pun Liza tampak enjoy dengan entotanku. Terlebih setelah aku mengentotnya sambil menepuk - nepuk buah pantatnya yang indah itu.
Lalu terdengar suara Liza yang sedang menungging sambil memegang bantal yang berada di bawah dagunya, “Baaang… ooooooh… dalam posisi ini pun enaaaak… memang lain - lain enaknya dengan posisi yang tadi… tepukin pantatku terus Baaang… agak keras juga gak apa - apa… !”
Kulakukan apa yang diinginkan oleh Liza itu. Kutepuk - tepuk bokongnya dengan tepukan lebih keras, sementara penisku semakin gencar mengentot liang memeknya yang sempit tapi licin dan hangat ini. Plakkkk… plokkkk… plakkk… ploookkkk… plakkkk… plokkkk…
Sementara pergesekan antara batang kemaluanku dengan dinding liang memek Liza yang sudah basah kuyup itu pun menimbulkan bunyi unik… crekkkk… srtttt… crekkkk… sretttt… creekkkk… srtttt…
Sebenarnya aku masih bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi aku merasa kasihan kepada Liza. Maklum dia baru kali ini merasakan disetubuhi. Karena itu aku menunggu detik - detik klimaks Liza untuk kedua kalinya, lalu aku akan berusaha untuk berejakulasi berbarengan dengan orgasmenya Liza.
Memang lebih mudah untuk mempercepat durasi entotanku daripada memperlambatnya. Ketika Liza terasa sudah klepek - klepek lagi, aku pun berada di detik - detik yang krusial, karena aku sengaja memikirkan yang indah - indah saja.
Akhirnya, ketika Liza menggelepardan ambruk, aku berusaha agar batang kemaluanku tidak terlepas dari memeknya.
Pada saat itulah kami mencapai puncak nikmat secara berbvarengan.
Croooottttt… croooootttt… crot… crotttt… croooottttttt… crot… croooootttttttt…!
Lalu kami sama - sama terkapar di pantai kepuasan.
Liza bahkan tampak seprfti sedang tidur paska orgasmenya itu. Biarlah, aku takkan mengganggunya. Aku turun dari bed lalu bergegas menuju kamar mandi. Untuk kencing dan membasuh alat vitalku yang berlepotan dengan lendir.
Ketika aku kembali lagi ke bedroom, kulihat Liza masih terbaring dengan mata terpejam. Aku tersenyum sendiri melihat cewek bule itu tampak tepar.