Intim Sedarah Keluarga Besarku ( Bagian 3 )

0

Dengan memiliki Tante Artini dan Tante Tari, aku sudah merasa lengkap. Karena Tante Artini berperawakan tinggi montok, mirip - mirip Mamie, sementara Tante Tari berperawakan tinggi langsing dengan toket sedang - sedang saja. Jadi kalau aku jenuh dengan kemontokan Tante Artini, aku bisa menyalurkan hasrat birahiku kepada tante tari yang berperawakan tinggi langing dan sepasang toket yang sedang - sedang saja tyapi masih sangat kencang dan padat itu.

Tapi kini baik Tante Artini mau pun Tante tari sudah sama - sama telanjang bulat di depan mataku. Siapa dulu yang harus kulahap nih? Yang montok dulu atau yang langsing dulu?

Mereka menyerahkan padaku, mau siapa yang akan kuentot duluan. Dengan Tante Tari baru beberapa jam yang lalu aku menyetubuhinya. Sementara dengan Tante Artini, sudah agak lama aku tidak menggaulinya. Lagipula aku ingin agar kekagetannya reda (setelah melihatku membawa Tante Tari berikut penjelasannya), maka akhirnya kuputuskan untuk mengentot Tante Artini dulu.

“Mulai saat ini Tante jangan minum pil anti hamil lagi ya,” ucapku sambil memainkan pentil toket Tante Artini yang mulai menegang itu.

“Iya,” sahut tante Artini, “kalau ada teman gini, aku ingin hamil. Mumpung usiaku baru tigapuluh.”

“Aku juga ingin cepat hamil,” kata Tante Tari sambil mengusap - usap memeknya, “Supaya kalau sudah tua kelak, ada yang ngurus.”

“Beruntung kita punya keponakan yang ganteng kayak Bona ini ya Tar.”

“Iya Mbak. Makanya aku butuh cinta dan kasih sayangnya sekaligus jadi sosok yang bisa melindungiku.”

Aku tidak ikut ngomong, karena sedang melorot turun, untuk menjilati memek Tante Artini. Memek yang terindah di antara memek - memek yang pernah kulihat, kusentuh dan kuentot.

Daan kini aku tengah menepuk - nepuk memek cantik yang seolah tengah tersenyum lucu padaku itu. Puk… puk… puk…!

Lalu kungangakan memek Tante Artini selebar mungkin. Sehingga bagian yang berwarna pink itu mulai terbuka, seolah menantang lidahku untuk menggasak dan menggeseknya. Ya… aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap. Namun Tante Tari yang tengah celentang di sebelah kananku tetap mendapat sentuhanku juga.

Dan ketika aku mulai asyik menjilati memek Tante Artini, jari tengah tangan kananku pun sudah menyelundup ke dalam liang memek Tante Tari.

Ini terasa asyik sekali, karena aku bisa mainkan dua memek sekaligus. Dua memek yang berlainan bentuknya.

Bahkan setelah aku membenamkan kontolku ke dalam memek Tante Artini, tangan kiriku bisa memegang toket kanan Tante Artini, sementara tangan kananku bisa memegang toket kanan Tante Tari.

Aku pun mulai mengentot liang memek Tante Artini yang tak kalah sempitnya dengan liang memek Tante Tari. Sedangkan tangan kiriku mulai meremas - remas toket kanan Tante Artini, sementara tangan kananku meremas - remas toket kanan Tante Tari.

Aku merasa sedang menikmati dua jenis toket yang berlainan bentuknya. Karena toket Tante Artini lumayan gede, meski tidak segede toket Mamie. Sementara toket Tante Tari termasuk kecil, tapi padat dan kencang sekali.

Sehingga aku jadi sangat bersemangat untuk mengayun kontolku di dalam liang memek Tante Artini.

Sementara Tante Tari menikmati remasanku di toket kanannya, sambil bermasturbasi dengan menggesek - gesekkan jemarinya ke itilnya sendiri…!

Tante Artini pun mulai mendesah dan menggeliat, lalu merintih - rintih histeris. “Aaaahhh… aaaaa… aaaaaah… Boooonaaaa… aku sudah tergila - gila oleh gesekan kontolmu yang luar biasa enaknya ini Boooon…”

Tante Tari pun mulai mendesah - desah, mungkin akibat masturbasinya yang dilengkapi dengan remasanku di toket kecilnya…!

Maka riuhlah suasana di dalam kamar Tante Artini ini. Bahwa rintihan - rintihan histeris Tante Artini bercampur baur dengan desahan nafas Tante Tari yang semakin gencar menggesek - gesekkan jemari ke itilnya sendiri.

Ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Sampai pada suatu saat Tante Tari memberikan isyarat sambil menunjuk ke memeknya sendiri. Aku pun merayapkan tanganku ke memek Tante Tari. Ternyata memeknya sudah basah sekali.

Aku mengangguk sambil memberi isyarat agar Tante Tari bersabar menunggu.

Untungnya Tante Artini mulai berkelojotan. Lalu mengejang tegang dengan liang memek berkedut - kedut kencang, pertanda sedang mengalami orgasme.

Aku masih besabar menunggu, sambil tetap mengentot Tante Artini. Sampai akhirnya Tante Artini sendiri yang memberi isyarat agar aku pindah ke atas tubuh adiknya.

Aku mengangguk. Mencium bibir Tante Artini, kemudian mencabut kontolku dari liang memeknya. Dan cepat merayap ke atas perut Tante Tari yang menyambutku dengan senyum dan tatapan wanita muda yang sedang horny.

Tanpa banyak langkah lain, aku langsung memasukkan kontolku ke dalam liang memek Tante Tari yang sudah basah ini. Dan mulai mengentotnya.

Pada saat itulah Tante Tari berkata terengah, “Aku yakin bakal hamil ni Bon… soalnya… ooooh… kontolmu terasa enak sekali… baru dientot sebentar aja udah terasa nikmatnya… semoga aku hamil ya Booon…”

“Iya Tante. Yang penting aku ingin membahagiakan dan melindungi Tante seperti yang Tante inginkan,” sahutku sambil mencium bibirnya dengan hangat. Dan mulai mempercepat entotanku.

Aku yakin bahwa aku bakal kuat bertahan lama menyetubuhi kedua bulekku itu. Karena tadi siang aku baru menyetubuhi Tante Tari. Sehingga sekarang aku seolah sedang memainkan peran di ronde kedua, yang pasti lebih lama durasinya.

Aku punya target, setelah kedua tanteku mencapai orgasme, selanjutnya acara bebas sepuasnya. Tante Artini sudah orgasme. Maka aku akan mengupayakan agar Tante Tari pada saat staminaku masih stabil.

Maka sambil mengentot memek Tante Tari, kujilati lehernya dan kuemut pentil toketnya. Bahkan ketiaknya pun kujilati disertai dengan sedotan - sedotan kuat, terkadang disertai gigitan - gigitan kecil.

Maka belasan menit kemudian Tante Tari berkelojotan, lalu mengejang tegang dan… orgasme…!

Lalu aku pindah ke tante Artini lagi. Kali ini kuminta Tante Artini menungging, karena aku ingin melakukan posisi doggy. Tante Artini menurut saja. Ia merangkak, lalu menungging. Dan aku membenamkan batang kontolku ke liang memek Tante Artini yang masih dalam keadaan agak becek, sehingga kontolku agak mudah mnembenam ke dalam liang tempiknya.

Tante Tari tidak memperturutkan keletihannya. Ia menyaksikanku yang sedang ngentot kakaknya dalam posisi doggi ini sambil tersenyum - senyum. Bahkan ia ikut membantuku, dengan menggerayangi bagian atas, memek kakaknya. Setelah menemukan itilnya, Tante Tari pun mengelus - elus itil kakaknya itu.

Tentu saja Tante Artini jadi klepek - klepek dibuatnya.

Tapi kali ini aku tak mau menunggu sampai Tante Artini orgasme lagi. Ketika melihat Tante Tari sudah menungging di samping kakaknya, sambil menepuk - nepuk pantatnya sendiri, kucabut kontolku dari liang memek Tante Artini. Lalu kejebloskan ke dalam liang memek Tante Tari…!

Kemudian aku mulai dengan keasyikan baru. Berlutut sambil mengentot memek Tante Tari yang sedang menungging. Sementara Tante Artini sudah celentang lagi sambil memperhatikan adiknya yang sedang kuentot habis - habisan ini.

Tiba - tiba aku mendapatkan ilham. Tante Artini kuminta agar menelentang dengan memek berada tepat di bawah mulut Tante Tari. Kemudian Tante Tari kuminta untuk “membantu” agar Tante Artini mencapai orgasme, dengan jalan menjilati memeknya.

“Hihihihi… kayak di dalam bokep - bokep ya,” sahut Tante Tari. Namun Tante Tari melaksanakan juga apa yang kusarankan. Ia tetap menungging dengan memek yang sedang kuentot, namun mulutnya langsung menyergap memek kakaknya. Kemudian menjilatinya dengan lahap.

Sementara aku tetap asyik mengentot Tante Tari dalam posisi doggy ini.

Ketika giliran Tante Artini yang kuentot dalam posisi doggy, Tante Tari giliran celentang dengan memek berada di bawah mulut Tante Artini. Kemudian Tante Artini pun menjilati memek Tante Tari, sementara memeknya sendiri sedang kuentot.

Banyak… banyak lagi yang kami lakukan malam itu. Sampai akhirnya aku berejakulasi di antara mulut kedua tanteku. Ya… mulut Tante Artini dan Tante tari kubagi secara adil. Crooot ke mulut Tante Artini, lalu croooot ke mulut Tante Tari. Sebgian lagi crot crot croooot di pipi mereka.

Lalu kami bertiga terkapar beberapa saat, dalam keadaan masih telanjang bulat semua.

Setelah bersih - bersih, Tante Tari mengemukakan keinginannya untuk mengajak pindah ke rumah yang akan kucari dan kubeli besok.

“Lalu kos - kosan itu gimana ya?” ucap Tante Artini sambil menunduk.

“Kan rumah kos gak perlu ditunggui tiap hari. Banyak pemilik rumah kois yang rumah pribadinya jauh dari rumah kos itu,” sahut Tante Tari.

“Lalu rumahku ini ditinggalkan begitu saja dalam keadaan terkunci?” tanya Tante Artini.

Aku yang menjawab, “Rombak total rumah ini. Jadikan bangunan yang sesuai dengan mini market. Lalu kontrakkan ke pihak yang berminat untuk membuka minimart di sini. Soal biaya perombakannya biar serahkan kepada Tante Tari saja.”

“Mmm… serahkan sama Bona lah. Kan duitku mau dipegang semuanya oleh Bona,” sahut Tante Tari.

Aku mengangguk sambil berkata, “Iya… aku lupa.”

Tante Tari menepuk lutut Tante Artini sambil berkata, “Kita kan sama - sama memiliki Bona. Dan kalau salah seorang di antara kita hamil, kan ada saudara yang ikut mengurus. Lagian kalau kita di rumah terus juga takkan jenuh, karena ada teman ngobrol yang sama - sama bisa menyimpan rahasia.”

Tante Artini menatap Tante Tari sambil tersenyum. Lalu menyahut, “Iya deh. Aku ikut keinginan adik terseyangku aja.”

“Naaah… begitu dong,” ucap Tante Tari yang disusul dengan kecupan di pipi kakaknya.

Atas desakan Tante Tari, akhirnya Tante Artini mau juga diajak ke rumah Mamie.

Tengah malam kami baru tiba di rumah.

Tante Artini masuk ke kamar di sebelah kamarku, sementara aku mauk ke dalam kamarku sendiri.

Mungkin Mamie sudah tidur. Tapi aku ingin bertemu dengan beliau, untuk melaporkan segala yang telah terjadi di antara aku dan Tante Tari, bahkan juga aku mau melaporkan masalah hubunganku dengan Tante Artini.

Aku memang tak mau menyimpan rahasia apa pun terhadap Mamie.

Lalu aku memijat tombol lift. Setelah pintunya terbuka, aku masik ke dalam lift, menuju lantai tiga.

Setelah berada di lantai tiga, kulihat Mamie sedang tidur celentang dengan daster putih yang tersingkap sampai ke perutnya.

Aaaah… aneh memang. Melihat bagian - bagian terlarang Mamie, selalu saja darahku berdesir. Apakah aku belum kenyang main dengan Tante Tari dan Tante Artini tadi?

Lalu kenapa diam - diam kontolku langsung ngaceng melihat memek Mamie yang tidak bercelana dalam itu?

Ohya, aku ingat bahwa setiap kali mau tidur, Mamie tak pernah mengenakan celana dalam dan beha. Kalau sudah malam, biasanya Mamie hanya mengenakan kimono atau daster saja, tanpa pakaian dalam lagi di baliknya.

Tanpa berpikir pabnjang lagi kulepaskan segala yang melekat di tubuhku. Lalu dalam keadaan telanjang aku naik ke atas bed Mamie.

Dengan hati - hati kurenggangkan sepasang paha Mamie yang putih mulus dan gempal itu. Tadinya aku ingin menjilati memek Mamie dulu. Tapi setelah dingangakan, ternyata memeknya dalam keadaan basah.

Mungkin benar kata orang - orang. Bahwa memek perempuan montok selalu basah.

Lalu dengan hati - hati kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mami. Dan kudorong sekuat tenaga… bleeessss… kontolku mulai menyelundup ke dalam liang kewanitaan Mamie…

“Aaaaaau…! ‘ pekik Mamie sambil melotot, “Ya Tuhan… kamu Sayang? Kirain siapa… !”

Sebagai jawaban kuayun kontolku perlahan - lahan di dalam liang memek Mamie yang memang basah dan licin ini.

Mamie pun mendekap pinggangku sambil berkata setengah berbisik, “Katanya sudah sama Tari tadi.”

“Aaaah… Mamie tetap akan bersemayam di dalam batinku, sebagai wanita yang paling spesial di dunia ini. Meski pun aku sudah kawin dengan cewek secantik bidadari sekali pun, hubungan rahasia dengan Mamie tak boleh putus.”

Mamie mencium sepasang pipi dan bibirku. Lalu berkata, “Iya Sayang… mamie juga akan selalu menyayangi dan mencintaimu di seumur hidup mamie. Aaaa… aaaaaah… pelan dulu ngentotnya Sayaaang… jangan langsung cepat begini…”

Lalu kupelankan kecepatan entotanku.

Mamie pun merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata, “Setelah tau bahwa kamu ini anak kandung Mamie… anehnya… tiap kali bersetubuh sama kamu malah jadi tambah nikmat Sayang…”

“Iya Mam… aku juga begitu. Bahkan ada perasaan takut kalau semua ini dihentikan… pasti aku akan sedih sekali mamieku Sayang… biarkan aja dosanya kita tanggung berdua… karena kita sudah telanjur menikmati hubungan rahasia ini.”

“Tuh tuh tuuuuh… sekarang nikmatnya ini terasa mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun - ubun kepala mamie sayang… ooo… oooo… oooooh… sambil emut lagi pentil tetek mamie Bon…”

Kuikuti saja keinginan mamie itu, mengemut pentil toket gedenya sambil mengentot liang memeknya secara berirama. Kontolku bermaju mundur terus di dalam lubang licin dan hangat Mamie… sretttt… bleessss… srttttt… blessss… srtttt… blesssss… srttttt… blessssssss… srettttt …

Sementara dekapan Mamie di pinggangku makin erat saja rasanya.

Lalu rintihan - rintihan tertahan pun mulai terdengar di telingaku. Lebih mirip bisikan yang hanya aku bisa dengar. “Mamie sayang Bonaaa… ooooh… ternyata kepuasan itu hanya kudapatkan dari anakku sendiri… Booonaaaa… Mamie sangat sayang sama kamu Booon… ayoooo… entot terus Sayaaang…

Entooootttt… entoooootttttttt… aaah… aaaaaaaa… aaaaaaah… makin lama makin enaaaaak… entoooot terusss sayaaang… entoooot memek mamie sepuasmu… entooooootttt… entoooottttttt… kontolmu luar biasa enaknyaaaa… kontol enaaak… entoooooottttttttt… entttooootttttttt teruuuuuuuussss…

Keringat pun mulai membasahi tubuhku dan tubuh montok Mamie. Karena sudah lama kami melakukan semuanya ini.

Sehingga pada suatu saat Mamie membisiki telingaku dengan suara tersendat, “Sayaang… mamie udah mau lepas… ayo barengin kalau bisa… biar nikmaaaaat…”

Aku berusaha untuk mengikuti keinginan Mamie. Dengan segenap gairah kugencarkan entotanku. Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya di dalam liang memek Mamie tersayang dan tercinta…!

Mamie pun mulai menggelepar - gelepar. Lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang, dengan kedua tangan meremas dan menjambak rambutku, dengan nafas tertahan dan mata terpejam erat - erat.

Dan… wow… aku berhasil melakukan keinginan Mamie. Bahwa ketika liang memek Mamie mengejut - ngejut, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crooottttt… croooottttcroootttt… croooottttttt… crooootttttt… crottttt… crooootttt…!

Lalu kami sama - sama terkulai lunglai di pantai teramat indah bernama kepuasan.

Mamie pun mencium bibirku dengan hangatnya. Lalu berkata lirih, “Terima kasih Sayang. Kamu adalah satu - satunya lelaki yang paling memuaskan buat mamie. Dan mamie makin sayang padamu. Sayang sekali… emwuaaaah… “Mamie menutup ucapannya dengan kecupan hangat lagi di bibirku.

Setelah kucabut kontolku dari liang memek Mamie yang sudah sangat becek itu, Mamie pun bangkit. Duduk sambil menyeka memeknya dengan kertas tissue basah. “Katanya mau tidur di villa kayu. Kenapa gak jadi?” tanya Mamie.

“Tante Tari ngajak ke rumah Tante Artini,” sahutku, “Lalu Tante Artini dibawa ke sini sekalian.”

“Ohya?! Di bawah ada Artini segala?”

“Iya Mam. Sekalian aku juga mau ngomong soal Tante Artini.”

“Mau ngomong bahwa kamu pernah menggauli dia juga ya?”

“Iiiih… Mamie kok tau aja.”

“Dari awal kamu datang ke sini, mamie liat sikap Artini padamu. Begitu penuh perhatian kelihatannya. Makanya mamie sudah menduga kalau di antara dia dengan kamu pernah terjadi sesuatu.”

“Iya Mam. Awalnya Tante Artini mengaku masih perawan, padahal statusnya janda. Karena itu dia ingin tau seperti apa rasanya bersetubuh itu. Lalu… dia memberikan keperawanannya padaku, Mam.”

“”Berarti dia benar - benar masih perawan saat itu?”

“Iya Mam. Makanya sebelum berjumpa dengan Mamie, aku sudah ada hubungan rahasia dengan Tante Artini. Masalah ini tak mau kurahasiakan kepada Tante Tari.”

“Tari cemburu dan marah?”

“Tidak Mam. Dia malah berniat untuk serumah dengan Tante Artini, supaya kalau Tante Tari hamil, ada yang nemenin ya Tante Artini itu. Aku bahkan disuruh beli rumah untuk Tante Tari, yang nantinya akan dihuni oleh Tante Artini juga. Ohya Mam… seluruh dana kepunyaan Tante Tari akan diserahkan semuanya padaku, supaya aku bisa mengembangkannya.

“Berarti Tari sangat mencintaimu Bon. Tapi ingat… kamu harus tetap jadi manusia jujur. Duit Tari itu jangan dipakai untuk foya - foya. Kasihanilah Tari yang sekarang hidup menjanda.”

“Iya Mam. Aku bahkan berniat untuk mengembangkan dana Tante Tari sebisa mungkin. Ohya Mam… mengenai tugas dari Mamie, aku hanya mau mengurus bisnisnya saja. Tentang masalah pengelolaan tanah - tanah Mamie, nanti aku akan merekrut sarjana pertanian yang seangkatan denganku. Biar dia yang mengurus masalah pertaniannya, sementara aku hanya akan mengurus bisnisnya saja.

Mamie mengangguk dengan senyum. Dan berkata, “Sebenarnya mamie juga merasakan hal seperti itu. Tadinya ingin mengurus tanah - tanah warisan dari almarhum suamiku. Tapi setelah terjun ke dunia agro bisnis, ternyata hasilnya jauh lebih gede daripada bertani. Hihihiii… syukurlah kalau kamu pun sudah sepandangan dengan Mamie.

“Iya Mam. Mungkin nanti aku akan merekrut beberapa teman seangkatanku. Lalu mereka akan dipecah ke masing - masing lokasi tanah punya Mamie. Misalnya yang di Jabar seorang, yang di Jateng seorang dan yang di Jatim seorang.”

“Tanah mamie bukan cuma di pulau Jawa, Sayang. Di Sumatra ada, di Kalimantan ada. Malahan di Papua juga ada… bahkan tanah mamie yang paling luas ya di Papua itu. Berarti kamu harus merekrut paling sedikit enam orang sarjana pertanian. Atau gimana ya kalau tanah - tanah yang di luar Jawa itu dijualin aja?

“Nanti dulu Mam. Harus dipikirkan dulu baik - buruknya. Soalnya tanah itu walau pun dibom takkan habis. Dan harga tanah di negara kita masa depannya sangat baik. Makanya daripada mengoleksi mobil mendingan ngoleksi tanah. Karena harga tanah naik terus, sementara kalau kitabeli mobil, tahun depan pasti akan turun nilainya…

“Iya… kamu betul Bon. Mama seneng mendengar wawasan kamu yang ternyata sudah luas begitu.”

“Iya Mam. Kalau Mamie punya duit yang nganggur, belikan tanah atau rumah aja. Aku punya teman tiga tahun yang lalu beli rumah harganya dua milyar. Sekarang sudah ditawar tujuh milyar gak dilepas Mam. Dalam masa tiga tahun aja perkembangannya sedemikian bagus kalau investasi di bidang properti kan?”

“Oke… dalam soal bisnis, mamie setuju pada pendirian dan wawasanmu. Makanya nanti terserah kamu, harta dan dana mamie itu mau dijadikan apa. Yang penting hasilnya poisitif,” kata Mamkie, “Sekarang mengenai Tari dan Artini itu mau dibagaimanakan? Mamie sih gak mau berpandangan kolot. Pasti kamu membutuhkan perempuan untuk membangkitkan gairah hidup dan bisnismu.

“Iya Mam. Tapi kalau ditinggalkan kasihan Tante tari dan Tante Artini itu. Mereka sudah sangat mencintaiku. Dan bagusnya, mereka bisa kompak. Tidak saling cemburu. Makanya aku akan memperlakukan mereka sebagai istri - istriku, tapi takkan melaksanakan akad nikah secara sah. Ohya… memangnya Mamie gak cemburu kalau mereka kujadikan sebagai wanita simpananku?

“Aku ini kan ibumu Sayang. Kalau kamu punya pacar lalu menikah, misalnya, mamie malah bangga karena anakku sudah ada jodohnya. Tapi hubungan rahasia kita harus berjalan terus… itu saja syaratnya.”

Lalu aku dan Mamie merundingkan banyak hal. Baik tentang bisnis mau pun tentang masalah pribadi kami.

Sampai akhirnya aku tertidur di dalam belaian dan pelukan Mamie.

Keesokan paginya, setelah makan sarapan pagi bersama Mamie, Tante Artini dan Tante Tari, mamie mengajak Tante Artini dan Tante Tari ke lantai tiga, lewat tangga biasa. Karena lift itu seolah jadi rahasiaku dengan Mamie. Aku pun diajak naik ke lantai tiga. Ke ruang keluarga yang sangat jarang dipakai oleh Mamie.

Di situlah Mamie membahas masalah hubunganku dengan kedua tanteku itu.

Mamie berkata, “Aku sudah tahu bahwa di Artini dan Tari sudah menjalin hubungan seperti suami istri dengan Bona. Gak apa - apa. Aku malah merasa jadi ada teman dua orang sekaligus adik - adik kandungku.”

Tante Artini dan Tante Tari saling pandang sambil tersenyum.

“Kalian mengerti apa yang kumaksud teman barusan?” tanya Mamie pada kedua adiknya.

Kedua tanteku saling pandang lagi.

“Begini, “lanjut Mamie, “pada waktu Bona baru datang diantar oleh Artini itu, aku belum tau kalau Bona itu anak kandungku. Artini juga belum tau kan?”

“Njeh Mbak,” sahut Tante Artini.

“Nah pada saat itu, jujur aja… aku melihat kegantengan Bona, sementara aku sendiri sudah lama sekali tidak mendapatkan sentuhan lelaki. Sampai akhirnya kuminta Bona menggauliku. Begitu sering kami melakukannya. Sampai datang ibu angkat Bona sekaligus menjelaskan siapa Bona sebenarnya. Bahwa Bona itu Fajar yang waktu masih bayi merah kuberikan kepada Bu Maryani, ibu angkat Bona itu.

Kedua tanteku saling pandang lagi, dengan sorot wajah semakin serius.

Mamie melanjutkan, “Gilanya, aku sudah telanjur ketagihan. Sehingga setelah aku tau bahwa Bona itu anak kandungku, aku tak bisa menghentikan kegilaan itu. Bona pun sepakat, untuk tetap melanjutkan kebiasaan gila tapi nikmat itu.”

“Nah…” ucap Mamie di ujung pengakuan singkatnya, “sekarang ternyata kalian juga ingin memiliki Bona kan? Gak apa - apa. Kita anggap aja Bona itu sebagai milik kita bertiga. Tapi ingat, masalah ini jangan sampai bocor ke luar. Kita harus pandai - pandai merahasiakannya. Surtini dan Haryati juga jangan sampai tau.

Kemudian Mamie dan kedua adiknya berunding, tentang langkah - langkah selanjutnya, disertai dengan canda tawa.

Aku pun senang mendengarkannya. Tapi aku harus ke Jogja, untuk melihat - lihat rumah yang akan dijual. Untuk Tante Tari itu. Sekalian ingin menjumpai teman seangkatanku yang bernama Charlita, tapi biasa dipanggil Tata itu. Karena aku akan merekrut dia, kalau dia belum mendapatkan lapangan kerja.

Maka aku pamitan kepada Mamie dan kedua adiknya.

“Maju ke mana Bon? “tanya Tante Artini.

“Mau membeli rumah untuk boss muda ini,” kataku sambil menunjuk Tante Tari.

Tante tari pun serasa diingatkan. Lalu ia mengeluarkan sebuah buku cek dari tas kecilnya dan menyerahkannya padaku sambil berkata, “Semua cek yang sebuku ini sudah ditandatangani semua. Nanti tinggal menulis nominal dan tanggal ceknya aja Bon.”

“Iya Tante.”

Sebelum berangkat, aku mencium bibir Mamie, bibir Tante Artini dan bibir Tante Tari.

Tiada rahasia lagi di antara kami berempat. Karena itu aku tidak melakukan cipika - cipiki lagi, melainkan cium bibir mereka satu persatu.

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam sedan hitam yang sudah menjadi milikku itu, menuju Jogjakarta.

Tadinya aku ingin menuju perumahan elit di dekat bandara itu. Tapi aku ingin mendapatkan kepastian dulu dari Charlita, apakah dia bersedia kurekrut atau tidak. Sayang aku belum punya nomor hapenya. Sehingga aku tidak bisa call dan mengajaknya ketemuan di suatu tempat yang nyaman. Tapi aku masih ingat rumahnya, di daerah Ngadiwinatan, masuk ke dalam gang kecil.

Setibanya di Jogja aku langsung menuju ke arah rumah Tata Charlita.

Setelah memarkir mobil, aku melangkah ke dalam gang kecil yang hanya bisa dilewati motor atau sepeda itu.

Dan… maaaak… kebetulan sekali Tata sedang berdiri di depan rumahnya. Sehingga aku bisa menyapanya langsung, “Tata cantik… lagi ngapain?”

Tata tampak kaget. Memandang ke arahku dan menyahut, “Hai Bona! Tumben maen ke sini. Mau ke rumah siapa?”

“Mau ke rumah kamu. Kok seperti mau pergi?”

“Mmm… iya sih tadinya mau pergi, tapi gak penting - penting amat. Ayo masuk, “Tata membuka pintu pagarnya. Aku pun masuk ke dalam pekarangan yang lebarnya cuma semeter lebih sedikit, mungkin. Kemudian masuk juga ke dalam rumahnya. Ke ruang tamu yang kira - kira hanya berukuran 2 X 2 meter.

“Untung kamu datang hari ini. Kalau besok, aku sudah pulang ke kampung,” kata Tata setelah mempersilakanku duduk di kursi rotan.

“Terus rumah ini mau ditinggalkan kosong?”

“Iya. Rumah ini kembalikan aja kuncinya kepada pemiliknya.”

“Owh… ini bukan rumah kamu?”

“Bukan. Aku cuma ngontrak di sini. Ntar dulu… kayaknya kamu serius Bon. Ada hal yang bisa kubantu?” tanyanya.

“Kamu sudah dapat kerjaan belum?” aku balik bertanya.

“Belum, “Tata menggeleng, “Memangnya kamu mau ngasih kerjaan sama aku?”

“Iya,” sahutku. Kemudian kututurkan maksudku datang ke rumahnya, untuk menempatkannya di salah satu lokasi tanah milik Mamie.

Tata pun mendengarkannya dengan serius.

“Tanahnya di mana saja Bon?”

“Di Jatim ada, di Jateng dan Jabar juga ada. Bahkan di Sumatra, Kalimantan dan Papua juga ada. Terserah kamu, mau pilih yang mana lokasinya.”

“Di Jabarnya sebelah mana?”

“Dekat perbatasan antara Jabar dengan Jateng.”

“Waaah… aku pilih di Jabar aja, biar dekat kampungku.”

“Kampungmu di mana sih?”

“Di Ciamis. “ “Mmmm… pantesan kamu manis. Amis dalam bahasa Sunda berarti manis kan?”

“Iya… hihihiiii… selama kenal denganku, baru sekali ini kamu muji aku manis. Biasanya sih cuek mulu. Sampai aku mikir, jangan - jangan kamu ini LGBT.”

“Hush… aku ini normal Ta. Apa perlu kubuktikan?”

“Hihihiii… gak usah, gak usah… aku percaya deh. Percayaaa… “Tata mengibas - ngibaskan tangannya sambil geleng - geleng kepala.

SLalu aku pamitan, karena mau melihat rumah yang akan dijual di kompleks perumahan elit itu.

Tata mengantarkanku sampai ke mulut gang. Dan tertegun melihat mobilku yang memang bukan mobil murahan ini.

“Pengen ngerasain duduk di mobil mewah gini, “katanya sambil mengusap - usap sedan hitamku.

“Ya ayo kalau mau nyobain sih,” sahutku, “nanti kuanterin ke sini lagi.”

“Mmm.. kalau kamu gak keberatan sih besok pagi kita ke lokasi bareng aja. Tapi aku mau sekalian pulang kampung.”

“Boleh. Besok sekitar jam delapan pagi kita ketemuan di sini. Lalu barengan berangkat ke lokasi. Oke?”

Tata menatapku dengan sorot yang ceria, “Iya deh. Besok aku nongkrong di sini sebelum jam delapan.”

“Iya. Kamu kan bisa sekalian jadi penunjuk jalan. Karena aku sendiri belum pernah menginjak tanah yang harus dibenahi itu.”

“Lho… katanya tanah itu punya ibumu. Kok belum pernah ke sana?” Tata kelihatan bingung.

“Panjang deh ceritanya. Besok aja kuceritain ya. Jam delapan siap ya.”

Kemudian aku meninggalkan Tata, menuju perumahan elit itu.

Tak sulit untuk menjumpai petugas managemen developer perumahan itu. Ada beberapa rumah yang akan dijual, karena angsurannya macet. Setelah memilih - milih, akhirnya aku menentukan rumah yang ada kolam renangnya. Supaya Tante Tari dan Tante Artini bisa berolahraga juga. Selain daripada itu, rumahnya paling besar dan bagus di antara rumah - rumah yang akan dijual ulang oleh pihak managemen.

Kalau membeli rumah baru, sudah sold out semua. Maka terpaksa aku memilih rumah - rumah second tapi kelihatannya masih 100 % baru itu. Harganya pun jauh lebih murah daripada harga baru. Tapi harus dibayar cash, tidak bisa dicicil lagi.

Rumah yang kupilih itu terdiri dari 2 lantai. Di lantai 2 ada 1 kamar. Di lantai dasar ada 3 kamar, ruang tmu, ruang makan, ruang keluarga, kitchen, kamar pembantu dan sebagainya. Kolam renang itu terletak di belakang dan tertutup oleh benteng tembok tinggi, Sehingga dari luar tidak bisa melihat ke kolam renang itu.

Setelah tawar menawar yang cukup alot, akhirnya aku sepakat di harga matinya. Dan langsung kubayar di depan notaris yang langsung hadir di kantor managemen perumahan elit itu. Di zaman sekarang semuanya bisa dimudahkan oleh system. Untuk menandatangani AJB (akte jual beli) pun tak usah pergi ke kantor notaris.

Aku membayarnya dengan selembar cek yang sudah ditandatangani oleh Tante Tari itu. Aku tinggal menulis nominal harga rumah itu dan tanggal dikeluarkannya cek itu. Selesai sudah.

Kemudian aku pulang ke rumah Mamie. Dan melaporkan masalah rumah itu kepada Tante Tari.

Tante Tari dan Tante Artini tampak ceria. Terutama setelah mendengar bahwa rumah itu ada kolam renangnya segala.

“Tapi besok aku belum bisa mengantarkan Tante ke rumah itu. Karena aku mau ke Banjar dulu, ke lokasi tanah milik Mamie. Mungkin sekitar tiga hari lagi kita bisa ke sana, sekalian membeli furniture dan perabotan rumah lainnya. Karena sekarang masih kosong melompong,” kataku kepada Tante Tari.

“Iya, santai aja Bon. Kan kita gak dikejar - kejar waktu. Urus aja dulu tanah mamiemu itu,” sahut Tante Tari.

Mamie memberi petunjuk kepada siapa aku harus menghubungi setelah tiba di lokasi tanah miliknya besok. “Mamie akan nelepon dia besok pagi. Supaya dia mengantarkan kamu ke lokasi dan menunjukkan batas - batas tanah itu,” kata Mamie.

Hari itu kami hanya ngobrol dan istirahat. Tidak ada acara sex. Karena besok pagi aku harus nyetir sendiri ke Banjar, yang jaraknya cukup jauh itu. Kalau ada acara sex, bisa ngantuk waktu nyetir besok.

Keesokan harinya pagi - pagi sekali aku sudah berada di belakang setir sedan hitamku yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian menuju ke arah barat. Menuju Jogja.

Ternyata Charlita sudah menunggu di mulut gang menuju rumah kontrakannya itu.

Dan yang membuatku terlongong adalah pakaiannya itu. Ia mengenakan celana pendek jeans yang sudah compang - camping ujungnya, ada bolong - bolongnya pula, sehingga aku bisa menyaksikan keindahan kaki Charlita yang putih mulus itu. Tapi ke atasnya, entah apa yang dikenakannya, karena ia mengenakan jaket kulit hitam.

Kubuka pintu depan kiri dari dalam, tanpa turun dulu dari mobilku. Charlita pun masuk dengan senyum manis di bibirnya.

“Seksi bener pakaianmu pagi ini,” ucapku setelah Charlita mengenak seatbelt.

“Seksi apa, cuma celana pendek ini yang kamu anggap seksi?”

“Secara keseluruhan kamu tampak seksi Tata.”

“Mmm… thank you…”

“Sudah lama barusan nunggu?”

“Seperempat jam kurang lebih.”

“Katanya mau nyeritain masalah tanah itu. Kenapa kamu yang anak kandung pemilik tanah itu belum pernah datang ke sana?”

“Singkatnya aja, aku baru sebulanan tau bahwa beliau itu ibu kandungku.”

“Wow… gimana ceritanya?”

“Sejak bayi aku dibesarkan sampai dewasa oleh orang tua angkatku. Tadinya kupikir mereka papa dan mama kandungku. Dan kira - kira sebulan yang lalu aku baru dikasih tau bahwa ibu kandungku adalah pemilik tanah yang akan kita tinjau itu.”

“Terus sekarang kamu tinggal bersama ibu kandungmu?”

“Iya.”

“Dari ibu kandungmu punya saudara?”

“Nggak. Aku anak tunggal. makjanya semua harta ibuku diserahkan padaku untuk mengelolanya.”

“Terus kenapa bukan kamu sendiri yang mengelolanya?”

“Aku mau fokus ke agro bisnisnya aja. Sementara tanah - tanah yang bertebaran di sana - sini akan kupercayakan pada orang lain. Seperti sekarang ini, tanah yang di Jabar akan kupercayakan padamu untuk mengelolanya.”

“Bisa lihat denah tanahnya?”

“Ambil aja di laci dashboard tuh.”

Charlita membuka laci dashboard, lelu mengeluarkan gulungan kertas dan memperlihatkannya padaku.”Yang ini?” tanyanya.

“Iya,” sahutku.

Charlita membuka gulungan kertas itu, lalu memperhatikan denah tanah milik Mamie yang di Jabar itu. “Wow… luas sekali tanahmu ini Bon. Tujuhpuluhdua hektar…!”

“Iya, makanya aku hanya bisa mempercayakan kepada insinyur pertanian untuk mengelolanya.”

Sekarang istilah “insinyur pertanian” sedang diperdebatkan, bahkan ada fakultas yang tidak memakai istilah “insinyur” lagi. Tapi pada masa kisah nyata ini terjadi, gelar insinyur pertanian masih digunakan secara sah.

“Mmmm… aku tau letak lokasi ini. Kalau dari sini sebelum Banjar ke sebelah kanan,” kata Charlita.

“Iya,” sahutku, “makanya nanti kamu sekalian jadi penunjuk jalan. Karena aku sama sekali blank di daerah lokasi tanah itu.”

“Ohya, kata kamu kemaren, gajiku dihitung per hektar ya?”

“Iya.”

“Wuiiih… berarti gajiku bakal gede dong…”

“Tapi dengan syarat, pengelolaanmu harus bagus semua.”

“Soal itu sih jangan takut. Aku jamin semuanya akan berubah drastis. Mwuaaaah… “Charlita mengakhiri ucapannya dengan kecupan di pipi kiriku. Membuatku kaget. Karena tak menyangka kalau ia akan seagresif itu.

Tapi lalu kataku, “Kamu cium pipiku… harus tanggung jawab nanti ya.”

“Tanggungjawabnya dengan cara apa?”

“Dengan melanjutkan ke acara yang lebih jauh. Ayooo…”

“Kalau kamu sudah tau siapa aku, pasti kamu takkan bilang gitu.”

“Emangnya kenapa?”

“Di kampus gak ada yang tau kalau aku ini seorang janda Bon.”

“Wah… asyik dong.”

“Kenapa asyik?”

“Kita bisa berbagi rasa, supaya hubungan kita lebih dekat. Jangan cuma antara manager dengan owner.”

“Mmm… gak tau juga. SOalnya selama hidup menjanda, aku tak pernah dekat dengan cowok mana pun.”

“Tapi kalau denganku harus dekat dong. Supaya kamu lebih profesional lagi bekerjanya nanti.”

“Iyalah. Aku mau dekat denganmu, agar masa depanku lebih diperhatikan oleh Boss. Emwuaaaaah… “lagi - lagi Charlita mengakhiri ucapannya dengan kecupan hangat di pipi kiriku.

“Sip deh, “cetusku di belakang setir, “Soal masa depanmu, jangan takut. Pasti akan kuperhatikan. Pokoknya semua orang yang dekat denganku, pasti mandapat jaminan masa depan yang takkan mengecewakan. Yang penting jujur dan ulet.”

“Dan rajin mendekati boss ya… mwuaaaah… mwuaaaah… mwuaaaah… “Charlita mengecup pipi kiriku lagi… tiga kali…!

Charlita telah membuka jalan. Membuatku takkan ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.

Maka tangan kiriku pun mulai menangkap lutut kanan Charlita yang terbuka di bawah celana pendek jeansnya.

“Seperti apa ya kamu kalau sudah telanjang?” tanyaku sambil menahan tawa.

“Kan nanti juga bakal kelihatan semua,” sahutnya.

Triiiiing…! Kontolku mendadak ngaceng di balik celana jeans dan celana dalamku.

“Itunya dicukur nggak?”

“Apanya yang dicukur?”

“Memeknya.”

“Hihihiiii… cuma digunting dan dirapikan. Nggak pernah dibotakin. Takut kelihatan gersang… malah seperti tahu pecah kebanting. Hihihihiiii…”

“Mmmm… kebayang…”

“Kebayang apa?”

“Kebayang waktu kujilatin.”

“Apanya yang dijilatin?”

“Memekmu.”

“Iiiiihhh… aku langsung horny nih, “cetus Charlita sambil mencubit lengan kiriku.

Pada saat itu mobilku sudah memasuki Gombong.

“Kita makan dulu ya. Aku lapar.”

“Iya Boss. Aku juga lapar. Padahal tadi sudah sarapan pagi.”

Lalu aku mencari rumah makan, entah rtumah makan mana yang enak makanannya. Akhirnya asal - asalan milih saja. Yang penting perut lapar diisi dulu.

Pada waktu sedang makan, sikap Charlita jauh berubah. Jadi begitu jinak dan seolah mau merapat terus padaku.

Sehingga akhirnya aku berkata setengah berbisik, “Bagaimana kalau kita cek in aja di hotel yang ada di sini?”

“Terus meninjau lokasinya kapan?”

Kujawab dengan bisikan, “Sekarang ini dirimu lebih penting daripada penggarapan tanah itu. Meninjau lokasi kan bisa sore atau besok pagi sekalian.”

“Terus mau nginep di hotel nanti malam?”

“Iya… bagaimana?”

“Terserah kamu,” sahut Charlita yang disambung dengan bisikan, “Aku juga lagi horny berat. Tadi ngomongnya menjurus ke sana terus sih.”

“Ya udah. Kalau gak salah di kota kecil ini ada hotel bagus kok.”

“Iya, “Charlita mengangguk sambil tersenyum. Membuatku semakin bergairah untuk merasakan kehangatannya.

Setelah membayar makanan yang kami santap, kujalankan mobilku perlahan - lahan. Menyelidik hotel demi hotel yang kami lewati. Sampai akhirnya kubelokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah hotel berbintang, entah bintang tiga entah bintang empat.

Kali ini yang terpenting bagiku adalah menikmati kehangatan Charlita…!

Tampaknya Charlita pun tidak berbasa - basi waktu menyatakan horny tadi. Karena begitu berada di dalam kamar yang sudah kubooking, dia langsung melingkarkan lengannya di leherku, lalu mencium bibirku dengan lahapnya.

“Kamu ini manis sekali Ta,” ucapku setelah melepaskan ciuman dan lumatan Charlita.

“Kamu juga ganteng sekali. Bahkan waktu masih sama - sama kuliah, kamu terkenal sebagai mahasiswa terganteng di kampus.,” sahut Charlita sambil memegang kedua tanganku dengan senyum manisnya yang membuatku terlongong.

Charlita itu bertubuh tinggi langsing. Namun meski belum melihatnya secara terbuka, aku yakin toketnya gede. Sementara bokongnya proporsional, tidak terlalu gede tapi tidak juga kecil tepos. Pasti bentuknya indah sekali setelah telanjang bulat nanti.

“Beneran pengen melihatku telanjang?” tanya Charlita dengan mata bergoyang perlahan.

“Iya,” sahutku, “Makanya aku ngajak cek in ke sini juga karena ingin melihatmu telanjang.”

“Tapi jangan bocorin ke teman - teman nanti. Sejak menjanda, baru sekali ini aku merasa siap untuk diapain juga oleh seorang cowok. Ini karena ingin dekat saja denganmu, karena kamu itu selain bakal jadi bossku… juga ganteng sekali,” ucapnya sambil melepaskan jaket kulitnya. Lalu tampak pakaian di balik jaket kulit itu, bukan blouse tapi sesuatu yang mirip kaus singlet tapi terbuat dari jeans.

“Wooow… toketmu ini indah sekali bentuknya… “cetusku sambil memegang toket gede itu dengan hati - hati, karena tak mau disebut cowok kasar.

“Bona sendiri mau pakaian lengkap terus?” tanyanya sambil mencubit lenganku.

“Pengen liat memekmu dulu. Hehehee…” sahutku sambil melepaskan jaket dan baju kausku. Pada saat aku melepaskan sepatu dan celana jeansku, Charlita sedang melepaskan celana dalamnya, sehingga telanjang bulatlah teman kuliahku yang sudah sama - sama insinyur pertanian itu.

Ooo… betapa indahnya tubuh Charlita itu… membuatku terbengong - bengong.

Ketika melihat celana dalamku masih melekat di badanku, Charlita berjongkok di depanku sambil menurunkan celana dalamku, sampai terlepas dari sepasang kakiku.

Toiiiiiiing… kontolku langsung bergoyang - goyang dalam keadaan ngaceng berat di depan mata Charlita yang sedang melotot kaget. Dan ia memegangnya sambil berseru perlahan, “Wow… ini penis manusia apa kontol kuda?”

Charlita tak cuma memegangnya saja. Tapi juga menciumi leher dan moncong kontolku. Bahkan menjilatinya juga dengan tangan agak gemetaran.

Tapi aku tidak ingin dioral. Karena dalam suasana nafsu birahiku sedang menggebu - gebu begini, bisa cepat ngecrot kalau dioral oleh teman seangkatanku itu.

Maka kutarik kedua lengan Charlita ke atas, agar dia berdiri dan kudesakkan badannya ke atas bed.

Lalu mulutku langsung menyeruduk ke memek berjembut pendek - pendek sekali itu, dengan gairah birahi yang semakin menggila.

Kungangakan mulut vagina cantik itu sampai tampak bagian dalamnya yang kemerahan dan mengkilap itu, lalu kujilati bagian kemerahan yang empuk dan hangat itu. Dengan geliat nafsu yang semakin menagih - nagih.

“Booonaaa… aaaaa… aaaa… aaaaahhh… aku serasa bermimpi Bon… bahwa kamu yang dahulu terkenal dingin itu… sekarang begini dekatnya denganku… aaaaaah… kamu pandai sekali menjilati memek Booon… iaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaah… Booooo… naaaa… Booo… naaaaaaa…

Bahkan kemudian kugencarkan jilatanku pada itilnya yang tampak menonjol dan agak mengeras itu.

“Aaaaaaa… aaaah… kalau itilku sudah dijilati begini… pasti aku akan cepat basah Booon… tapi… aaaaah… enak sekali Booon… jangan terlalu lama Bon… ini sudah basah sekali… masukin aja kontolmuuuu… pake kontol ajaaa… pake kontol ajaaaaa… !”

Memang celah memek Charlita dengan cepat sekali basahnya. Sehingga aku pun tak mau buang - buang waktu lagi. Kuletakkan moncong kontolku di celah memek teman seangkatanku itu. Lalu kudorong sekuatnya. Dan… mulai melesak sampai leher kontolku. Kudorong lagi sekuatnya… ya… sekuatnya… blesssss…

Charlita pun mendesis, “Anjriiiiitttt… kontolmu terasa seret gini masuknya… oooohhhh… mimpi apa aku semalam ya? Aaaa… aaa… aaaaaah… aaaaaa…”

Charlita terdiam ketika kontolku mulai kuayun di dalam liang memeknya yang sudah sangat licin ini. Cuma memeluk leherku yang ia lakukan, sambil mengangkat kedua kakinya… lalu sepasang kaki putih mulus itu melingkari pinggangku.

Sambil meremas sepasang toket yang bulat - bulat seperti buah melon itu, aku pun langsung mmepercepat entotanku sampai batas kecepatan standar.

Charlita pun memagut bibirku ke dalam lumatan hangatnya.

Aku tak mempedulikan itu. Biarlah dia melumat bibir dan terkadang menyedot lidahku ke dalam mulutnya, sementara aku mulai asyik merasakan nikmatnya liang memek Charlita yang sempit tapi licin ini.

Setelah ciuman dan lumatannya terlepas, giliran mulutku yang beraksi. Menjilati leher jenjangnya yang mulai keringatan, sementara tangan kiriku asyik meremas - remas toket kanannya yang masih kenyal padat ini.

Charlita pun mulai merengek p- rengek erotis, “Entot terus sepuasmu Booon… kontolmu luar biasa… membuatku seperti melayang - layang gini… entottt terussss… entoooottttt… entoooooootttt… iyaaaaa.. iyaaaa… aaaaaa… aaaaah… entooootttt… tubuhku sudah menjadi milikmu sekarang Bon…

Rintihan dan rengekan manja Charlita berbaur dengan dengus - dengus nafasku. Begitu lama aku melakukannya. Sampai pada suatu saat terdengar suara Charlita terengah, “Bona… aku… aku sudah mau lepassss… aaaaaaaah… entot terusss Booon… aku mau lepas…”

“Lepasin aja… aku seneng menikmati cewek yang sedang orgasme…” sahutku sambil mempercepat entotanku.

Charlita pun berkelojotan. Lalu mengejang sambil memejamkan matanya, dengan nafas tertahan. Aku pun sudah menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa sudah menabrak dasar liang memek Charlita. Lalu kudiamkan kontolku, sambil merasakan kedat - kedut liang memek teman seangkatanku itu.

Lalu tubuh Charlita melemas. Matanya pun terbuka. Menatapku dengan sorot jinak. Dan berkata lirih, “Terima kasih Bon. Sudah lima tahun aku tak pernah disentuh cowok. Sekalinya nemu, terlalu enak. Sehingga aku gak kuat nahan lama - lama.”

“Sejak kapan kamu jadi janda?” tanyaku tiba - tiba kepo.

“Sebelum jadi mahasiswi aku sudah janda.”

“Ohya? Memangnya umur berapa kamu kawin?”

“Begitu tamat SMA aku dikawinkan sama orang tuaku, karena kuatir hubungan dengan pacar terlihat rapat sekali. Tapi usia perkawinanku hanya berlangsung setahun. Aku tidak kuat lagi jadi istrinya.”

“Emangnya kenapa mantan suamimu itu?”

“KDRT terus. Pencemburu pula. Kalau sudah ngamuk, aku babak belur dibuatnya.”

“Hmm… seharusnya seorang suami melindungi istrinya ya.”

“Iya… tapi sudahlah. Aku sudah move on kok. Apalagi sekarang… seandainya aku masih gadis sih pasti aku minta kawin sama kamu.”

“Kan ini juga lagi kawin.”

“Iiiiih… ayo lanjutin lagi. Kamu belum ngecrot kan?”

“Belum. Masih jauh.”

“Ya udah… entotin lagi,” kata Charlita sambil menepuk - nepuk pantatku yang sejak tadi dipeganginya.

Aku tersenyum. Lalu melanjutkan lagi entotanku yang terhenti beberapa menit barusan.

“Memekmu enak sekali,” ucapku sambil mengayun kontolku dalam gerakan perlahan di dalam liang memek Charlita yang terasa becek karena habis orgasme tadi.

“Enak apa? Becek gini dibilang enak, “Charlita mendelik.

“Becek lantaran abis orgasme justru aku suka,” sahutku sambil menjilati ketiak Charlita yang harum deodorant.

“Hihihihiiii… dijilatin ketek gini sih aku gak nahan… geli sekali Bon… geli… geliiiiii… aaa… aaaaaaaaah Bonaaaa… geli tapi enak Bon… aaaaaah… iya… jilatin terus deh ketekku… aaaaah… aaaaah… enak Bon… aaaah… gak lama juga bakalan lepas lagi kalau gini sih…

Sambil menjilati ketiak Charlita, aku pun mempercepat entotanku. Seolah mesin pompa yang sedang bekerja… maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang memek Charlita.

Banyak lagi yang bisa dilakukan oleh mulutku. Terkadang kujilati leher jenjangnya yang sudah basah oleh keringat. di saat lain kujilati telinganya, kelopak matanya, pentil toketnya. Bahkan terkadang kusedot - sedot pentil toketnya yang tegang itu. Sementara moncong kontolku terus - terusan menyundul - nyundul dasar liang memek Charlita.

Aku memang ingin memperlihatkan keperkasaanku. Charlita sampai orgasme dan orgasme dan orgasme lagi… sementara aku masih bertahan di atas perutnya. Padahal keringat sudah membanjiri tubuhku.

Sampai akhirnya, setelah Charlita orgasme lebih dari tiga kali, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crot… croooottttttt… crotcrottttt… croooooootttttt… crooootttttt…!

Aku mengelojot, lalu terkulai di atas perut Charlita.

“Gila… lebih dari sejam kamu ngentot aku… luar biasa…” ucap Charlita sambil memijat hidungku, “tapi kenapa dilepasin di dalam? Nanti kalau aku hamil gimana?”

“Bukannya kepengen merasakan bahagianya p;unya anak?”

“Jangan dulu lah. Kan aku mau ngerjain tanahmu. Kalau perut buncit, gimana bisa bekerja hilir mudik di tanah seluas itu?”

“Yang bekerja kan buruh tani. Kamu kan bertugas untuk mengarahkan dan mengawai aja.”

“Tapi aku belum mau hamil dulu Bon.”

“Iya deh,” kataku sambil mencabut kontolku dari liang memek Charlita, “aku punya pil kontrasepsi kok. Tenang aja.”

Kemudian kukeluarkan 1 strip pil anti hamil dari dalam dompetku. Kemudian menyerahkannya kepada Charlita.

“Wah… kamu nyiapin pil kontrasepsi segala rupanya,” ucap Charlita dengan wajah ceria lagi. Lalu ditelannya sebutir pil itu, didorong oleh air mineral gelas yang disediakan hotel di meja kecil dekat bed.

“Sekarang masih kuat nyetir untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi?” tanya Charlita.

“Kuat lah. Tapi harus mandi dulu, biar badan seger.”

“Aku juga pengen mandi.”

“Ya ayo kita mandi bareng, laksana pengantin sehabis ewean di malam pertama. Hihihihihiiiii…”

Lalu kami mandi bareng. Sambil saling menyabuni.

Dalam keadaan seperti ini, selalu saja nafsuku bangkit lagi. Charlita juga tahu itu. “Iiiih… kontolmu kok ngaceng lagi Bon?!” ucapnya ketika aku sedang menyabuninya.

“Iya. Pengen dientotin ke memekmu ini lagi,” sahutku.

“Urus dulu bisnis dong. Kata kamu di lokasi juga ada pondok yang kosong - kosong kan?”

“Iya. Mau berusaha sabar deh. Nanti kalau sudah selesai urus masalah tanah yang harus direhibilitasi itu, kamu akan kuentot sepanjang malam sampai besok pagi. Sanggup?”

Charlita melingkarkan lengannya di leherku. Menatapku sambil tersenyum dan berkata, “Apa pun yang kamu inginkan, pasti kukabulkan. Karena aku sudah menjadi milikmu, Pangeran…”

Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam mobil lagi. Mobil yang kularikan dengan cepat menuju Banjar.

“Kalau aku belum punya calon istri, pasti aku akan menikahimu,” kataku pada suatu saat.

Dengan tenang Charlita menjawab, “Nggak usah dinikahi juga gak apa - apa. Asalkan nasibku diperhatikan aja.”

“Kamu mau kujadikan simpanan?” tanyaku.

“Mau. Jadi simpanan Big Boss kan keren.”

“Emangnya kamu bisa setia padaku walau pun tidak kunikahi?”

“Soal kesetiaan sih jangan diragukan lagi. Bunuh aja aku kalaju sampai aku nyeleweng nanti. Pokoknya aku hanya akan mencintai dirimu seorang di dunia ini.”

“Tapi aku sendiri takkan bisa seperti itu. Cintaku pasti akan terbagi - bagi.”

“Ngak apa - apa. Lelaki kan memang biasa begitu. Beda lagi dengan perempuan.”

Sambil ngobrol begini, tanpa terasa perbatasan Jateng - Jabar pun kami lalui.

Ketika kota Banjar masih jauh, Charlita memperingatkanku, “Kurangi kecepatannya Bon. Sebentar lagi ada belokan ke kanan. Lokasinya terletak di situ.”

Kuikuti petunjuk Charlita. Tak lama kemudian aku sudah membelokkan mobil ke kanan, ke jalan yang belum diaspal.

“Kalau tau begini jalannya, aku pakai jeep tadi,” kataku.

“Jalannya masih tanah. Tapi kan nggak ada batu - batunya Bon.”

“Iya. Tapi kalau hujan pasti becek. Kalau memekmu yang becek malah enak. Hahahaaaa…”

“Kamu seneng memek becek ya?”

“Kalau becek setelah orgasme sih suka sekali.”

“Hihihiiii… makanya sering - sering aja kamu bikin aku orga ya.”

“Iya. Memekmu enak kok.”

Tiba - tiba kulihat seorang lelaki setengah baya menyetop mobilku.

Aku pun menghentikan mobilku. Lelaki itu menghampiri mobilku.

Kubuka kaca jendela mobil dan bertanya pada lelaki itu, “Mang Gofur?”

“Iya Den. Ini putra Ibu Boss kan?”

“Iya. Aku anak Bu Lies Mang.”

“Owh… iya… iya… tadi Bu Boss sudah nelepon saya. Beliau bilang putranya akan datang ke sini. Silakan mobilnya diparkir di sana Den,” ucapnya sambil menunjuk ke depan pos keamanan yang tidak ada penjaganya.

Setelah memarkir mobil, aku dan Charlita turun dari mobil. Kemudian mengikuti langkah Mang Gofur ke arah batas tanah punya Mamie.

“Di sini batas baratnya Den,” kata Mang Gofur, “Pokoknya untuk mengetahui batas tanah punya Bu Boss gampang. Karena batasnya ditandai dengan pohon pisang semua.”

“Iya Mang. terima kasih,” sahutku sambil memegang bahu Charlita, “Nanti ibu insinyur ini yang akan memimpin di sini, untuk mengadakan pembaruan tanaman di tanah punya ibuku ini Mang.”

“Oh iya… iyaaaa… sakarang begini keadaannya. Kayak hutan aja Den.”

“Iya. Kalau tanah dibiarkan tidak produktif terus seperti ini, bisa - bisa negara mengambil alih. Karena tanah ini kan harus bayar sewanya ke negara.”

“Iya Den… iyaaa…”

“Kami mau survey dulu ya Mang.”

“Baik Den. Apa saya diperlukan untuk mengantar?”

“Nggak usah Mang. Kan ada denahnya yang dipegang oleh ibu insinyur ini. Ohya, ini ada titipan dari ibuku,” kataku sambil mengeluarkan amplop besar berwarna coklat muda, berisi uang untuk mang Gofur.

Mang Gofur menerima dan membuka amplop besar itu. Lalu berkata, “Waaaah… terima kasih Den. Terima kasiiih…”

Kemudian aku dan Charlita melangkah masuk ke lahan yang sudah seperti hutan ini.

“Mungkin pohon - pohon yang tidak berguna harus ditebang semua nanti,” kata Charlita yang berjalan sambil menggandeng pinggangku.

“Lakukan apa pun yang kamu anggap positif nanti,” sahutku.

Setelah beberapa saat melangkah di atas tanah yang sudah seperti hutan ini, kulihat ada beberapa bangunan seperti perumahan sederhana. Aku pernah mendengar dari Mamie bahwa di lahan ini memang ada perumahan untuk buruh yang sudah ditinggalkan. Ada sebuah mobil pick up tua pula yang sudah tidak dipakai lagi.

“Nanti kalau sudah merekrut buruh tani, rumah - rumah itu bisa direnovasi semua,” kataku.

“Wah bakal banyak proyek dong aku nanti,” sahut Charlita sambil tersenyum.

Kusahut, “Pohon kayu yang ditebangi kan bisa dipakai bahan bangunan atau kayu bakar. Tergantung jenis kayunya, ada yang bisa dijadikan bahan bangunan, ada juga yang hanya layak untuk kayu bakar. Lalu kayunya dijual. Duit hasil penualannya bisa dipakai untuk merenovasi perumahan untuk buruh nanti kan?

“Iya… iya Boss.”

“Terus… di mana kita bisa bersetubuh lagi ya? Apa di atas mobil pick up itu?“

“Iiiih… banyak debu gitu.”

“Ngentot sambil berdiri di bawah pohon beringin itu mau?”

“Hihihihiii… ayo deh. Mendingan sambil berdiri daripada di tempat yang banyak debu sih.”

Lalu kami melangkah ke bawah pohon beringin raksasa itu. Dengan nafsu birahi yang mulai berkobar lagi.

Sebenarnya aku merasa letih juga. Habis nyetir dari pinggiran Solo ke Banjar. Lalu bersetubuh di hotel dan di lokasi tanah Mamie sekali lagi. Tapi aku merasa kasihan juga kalau melepaskan Charlita begitu saja tanpa diantarkan ke rumahnya. Terlebih menurut keterangan Charlita, rumahnya hanya sekitar tigapuluh kilometer dari lokasi lahan yang akan digarap dan dipimpin olehnya itu.

Maka kuantarkan juga Charlita ke rumahnya yang memang tidak jauh dari lokasi lahan yang akan dipimpinnya itu.

Dengan kecepatan nyantai, tidak sampai sejam mobilku sudah tiba di depan sebuah rumah mungil, ketika hari sudah mulai gelap.

“Itulah rumahku,” kata Charlita sebelum turun dari mobilku, “Ayo masuk dulu Bon… sekalian kukenalkan pada mamaku. Mau nginep di rumahku juga boleh. Tapi beginilah keadaannya… rumah kecil yang sudah tua pula.”

Aku pun turun dari mobil, mengikuti langkah Charlita menuju teras depan rumahnya, lalu masuk ke dalam.

Seorang wanita setengah baya muncul di ruang tamu.

“Boss… ini Mama,” kata Charlita sambil memegang pinggang ibunya.

“Ini yang Tata bilang teman kuliah yang sekarang jadi boss Tata?” tanya wanita itu sebelum berjabatan tangan denganku.

“Hehehe… nama saya Bona Bu,” ucapku pada waktu berjabatan tangan dengan wanita yang tampak lebih muda daripada Mamie itu, tapi masih kelihatan cantik sekali. Kenapa kecantikannya tidak menurun kepada Charlita ya? Charlita bisa disebut manis, tapi tidak secantik ibunya.

“Hermin…” kata wanita itu waktu berjabatan tangan denganku, “Silakan duduk Nak Bona.”

Aku pun duduk di sofa ruang tamu.

Bu Hermin menoleh kepada Charlita dan berkata, “Tata… tadi ada Yeni ke sini. Dia bilang kalau kamu sudah datang, ditunggu di rumahnya. Penting sekali, katanya.”

“Ohya?! Kalau begitu aku mau ke rumahnya sebentar. Bisa nunggu sebentar di sini?” tanya Charlita padaku.

“Oke, “aku mengangguk.

Charlita masuk ke dalam. Dan keluar lagi sudah mengenakan daster batik. Lalu melangkah keluar dari pintu depan.

“Yeni itu sahabat karib Tata. Dia mau menikah minggu depan. Mungkin ingin dibantu oleh Tata untuk mengurus pernikahannya,” kata Bu Hermin setelah Charlita berlalu.

“Ogitu ya…”

“Tinggalnya di Jogja?”

“Saya tinggal di daerah Solo. Tapi dari Solo juga masih jauh lagi ke utara Bu. Di pedesaan sih.”

“Di pedesaan kalau sudah tajir sih gakpapa. Mmm… sebenarnya lusa mama juga mau ke Jogja,” kata Bu Hermin membahasakan dirinya “mama”.

Dan entah kenapa… diam - diam aku mengagumi ibunya Charlita itu yang begitu cantik, meski usianya tidak muda lagi.

“Ada urusan apa ke Jogja Bu?” tanyaku, tetap memanggil “Bu” padanya.

“Mau belanja. Kan mama suka masukkan pakaian ke pasar dan toko - toko di sini. Belanjanya dari Jogja.”

“O begitu. Di Jogja belanja di mana?”

“Ah, di pasar Beringharjo aja.”

“Padahal saya tau pabrik yang memproduksi pakaian di Jogja. Di situ juga bisa beli secara kodian. Saya yakin harganya lebih murah daripada di pasar.”

“Tapi mama gak tau alamatnya. Lagian mama kalau ke Jogja cuma tau Malioboro dan pasar Beringharjo aja.”

“Kalau gitu biar saya antar aja nanti. Ibu bisa telepon saya kalau sudah tiba di Jogja. Nanti saya jemput Ibu di terminal atau di stasiun kereta api. Gimana?”

“Ngerepotin nggak?”

“Nggak Bu. Saya nyantai kok orangnya. Kita tukaran nomor hape aja sekarang.”

“Boleh… kini nomor mama,” kata Bu Hermin sambil menyebutkan nomor hapenya.

Lalu nomor itu ku-misscall dari hapeku sambil berkata, “Itu nomor saya Bu.”

“Terima kasih sebelumnya ya. Tap;I jangan ngomong - ngomong sama Tata. Takut dia marah karena mama mau ngerepotin bossnya.”

“Iya Bu. Tenang aja Bu. Ohya… nanti di Jogja mau nginep?”

“Tergantung kebutuhannya.. mama kadang suka nginep di Jogja, kadang pulang hari.”

“Kalau nginep di mana?”

“Di losmen yang murah aja, asalkan nggak jauh dari Malioboro.”

“Lusa kalau mau nginep, Ibu akan saya tempatkan di hotel yang bagus dan dekat Malioboro juga.”

“Tuh jadi tambah ngerepotin lagi. Mama gak enak hati jadinya.”

“Nggak ngerepotin Bu. Saya punya jatah hotel gratis. Daripada jatahnya nggak dipakai, kan mendingan digunakan untuk menyamankan hati Ibu,” kataku berbohong. Mana ada hotel mau ngasih gratis padaku yang bukan pejabat ini?

“Panggil mama aja deh. Jangan ibu - ibuan. Nak Bona kan teman Charlita, jadi wajar kalau manggil mama.”

Lalu kami ngbrol. Tentang ayah Charlita yang sudah meninggal lima tahun yang lalu. Tentang kehidupan Mama Hermin yang terpaksa harus nyari duit sendiri semenjak suaminya meninggal.

Banyak lagi yang kami obrolkan. Kami pun bersepakat, bahwa lusa akan berjumpa di Jogja dan akan merahasiakannya kepada Charlita.

Tak lama kemudian Charlita pulang. Laporan kepada ibunya bahwa pada hari Minggu mendatang dia harus jadi penerima tamu di nikahan teman karibnya.

Aku pun pamitan pulang, karena hari sudah semakin malam.

Anehnya, di sepanjang jalan menuju rumah Mamie, terawanganku digelayuti oleh bayang - bayang Mama Hermin terus.

Di mataku, Mama Hermin itu luar biasa cantiknya. Bahkan dibandingkan dengan Charlita pun Mama Hermin jauh lebih cantik. Padahal Charlita jauh lebih muda. Tapi kenapa sosok Mama Hermin jauh lebih menarik bagiku?

Apakah aku ini penggila wanita STW?

Tapi tidak semua wanita STW kugilai. Dan khusus tentang mama Hermin yang tinggi langsing dan berkulit putih mulus itu… memang mengugahkan birahiku.

Lalu bisakah aku memilikinya?

Entahlah.

Yang jelas di belakang setir aku membayangkan Mama Hermin terus. Begitu cantik dan seksinya Mama Hermin di mataku. Tapi mungkinkah aku bisa mendapatkannya?

Entahlah. tadi aku merasa masih gelap. Karena tidak melihat gejala - gejala “khusus” selain keramahan dan murah senyumnya. Dan sikap itu mungkin karena ingin supel saja di mataku sebagai teman anaknya.

Setibanya di rumah, hari sudah lewat tengah malam. Karena itu aku masuk ke dalam kamarku dan langsung tidur nyenyak. Namun gilanya… di dalam tidurku datang mimpi gila itu. Mimpi menyetubuhi Mama Hermin… sehingga waktu bangun paginya, kudapati celanaku basah…!

Usiaku sudah hampir 24 tahun, masih mimpi begituan?!

Selesai sarapan pagi, aku langsung on the road lagi, menuju Jogja. Untuk membeli segala jenis furniture dan perabotan rumah selengkap mungkin. Untuk mengisi rumah baru yang sudah kubayar di perumahan elit itu. Semuanya akan dikirim pagi itu juga ke alamat rumah yang akan dihuni oleh Tante Tari dan Tante Artini itu.

Setelah semuanya dikirim dan dipasang oleh tukangnya masing - masing, aku memikirkannya beberapa saat. Mengingat - ingat apakah masih ada yang kurang?

Setelah merasa sudah lengkap, aku pulang ke rumah Mamie ketika hari sudah jam enam sore. Dan tiba di rumah Mamie jam sembilan malam, karena mampir dulu ke toko peralatan komputer.

Langsung aku laporan kepada Tante Tari. Bahwa rumah itu sudah lengkap perabotannya, termasuk perabotan kitchennya.

“Kalau mau dilihat sekarang aja, karena kalau besok aku akan sibuk seharian mengurus lahan Mamie yang di dekat perbatasan Jabar - Jateng itu.”

“Biar menyenangkan semuanya, tunggu sampai kesibuikanmu reda aja Sayang,” sahut Tante Tari sambil mencium pipiku, “aku gak keburu - buru kok. Di sini malah terasa nyaman bisa kumpul sama saudara - saudara.”

Maka malam itu aku istirahat lagi sepuasnya. Tanpa sex sama sekali. Karena besok pagi aku harus berangkat ke Jogja lagi, untuk menjemput Mama Hermin… kalau dia jadi berangkat ke Jogja.

Agar tidak kesal menunggu call dari Mama Hermin, aku stand by di rumah Tante Tari itu. Rumah yang Tante Tari sendiri belum melihatnya. Dan dibeli atas namaku, seperti yang Tante Tari inginkan.

Dalam masalah duit, mungkin aku kini tergolong sangat jujur. Tak pernah mengganggu hak orang lain. Tapi dalam masalah perempuan, mungkin aku ini termasuk kurang jujur.

Kenapa kuakui bahwa dalam masalah perempuan aku ini kurang jujur?

Karena ketika stand by di rumah Tante Tari itu, terlintas di dalam pikiranku untuk membawa Mama Hermin ke sini. Tanpa harus cek in di hotel segala.

Tapi setelah dipikir - pikir, nantinya malah merepotkanku sendiri. Karena aku harus melenyapkan segala “jejak” Mama Hermin sebelum Tante Tari dibawa ke rumah ini.

Tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata call dari Mama Hermin…!

“Yaaa… selamat pagi Mama…”

“Selamat pagi juga. Sekadar mau laporan, ini mama sudah dekat ke Jogja. Nanti kalau mama nunggu di depan kantor pos aja gimana? Apa gak merepotkan Nak Bona?”

“Iya Mam. Aku akan langsung menuju ke situ sekarang,” sahutku sambil bergegas menghidupkan mesin mobilku dan kupaksakan meluncur menuju kantor pos seperti yang disebut oleh Mama Hermin tadi. Di jalan aku pun menyempatkan diri untuk menghubungi hotel… hotel yang pernah kupakai untuk mengambil keperawanan Mbak Rina dan Mbak Lidya itu.

Tak lama kemudian aku tiba di depan kantor pos.

Ternyata Mama Hermin sudah menungguku dalam pakaian yang aduhai. Celana legging hitam yang ketat dan fullover putih yang ketat ketat juga. Sehingga membuatku terpana sesaat, karena begitu seksinya Mama Hermin di mataku.

Bergegas aku turun dari mobil, untuk membukakan pintu depan kiri. Setelah Mama Hermin duduk di depan kiri, bergegas aku masuk ke belakang setir.

“Agak lama ya nunggu barusan? Maklum jalanan lagi macet,” kataku sambil menjalankan mobilku kembali.

“Gak lama, paling juga sepuluh menitan Nak,” sahut Mama Hermin.

“Panggil namaku langsung aja Ma. Biar lebih akrab.”

“Masa boss anak mama dipanggil nama langsung?”

“Heheheee… jangan mengingat ke sana deh. Sekarang aku mau habiskan waktu khusus untuk Mama. Kalau perlu, sampai besok malam juga boleh.”

“Wah… ngapain lama - lama banget? Rumah nggak ada yang nungguin Nak, eh Bon.”

“Tata sudah berangkat ke Banjar?”

“Sudah, kemaren. Dia kelihatan sangat bersemangat mendapatkan pekerjaan dari Bona itu.”

“Mmm… barusan aku sampai bengong melihat Mama berdiri di depan kantor pos.”

“Kenapa?”

“Mama kelihatan cantik sekali. Kenapa kecantikan Mama tidak menurun ke Charlita ya?”

“Ah… Bona bisa aja. Masa sudah tua dibilang cantik.”

“Aku bicara sejujurnya lho. Kalau dibandingkan dengan Mama, Charlita itu kalah jauh.”

“Tata kan menuruni tampang ayahnya.”

“O, pantesan. Makanya waktu aku sedang berada di rumah Mama, aku mikir… kenapa kecantikan Mama gak nurun pada Charlita ya?”

“Mmm… Bona juga ganteng sekali kok.”

“Berarti nyambung dong. Yang ganteng harus sama yang cantik.”

“Masa sih?! Mama kan udah tua Bon.”

“Boleh aku terus terang?”

“Soal apa?”

“Aku ini pengagum wanita setengah baya seperti Mama ini.”

Tiba - tiba Mama Hermin memegang tangan kiriku sambil berkata, “Yang bener nih. Jangan bikin mama ge - er dong…”

“Aku serius Mama. Nanti di pusat penjualan pakaian itu, silakan Mama ambil semua pakaian yang diperkirakan laku. Aku yang akan bayar semuanya. Hitung - hitung ngasih modal aja sama Mama.”

“Duh duh duuuh… kalau modal sih memang mama kekurangan Bon. Terima kasih sebelumnya ya. Terus setelah belanja di pusatnya itu ke mana mama mau dibawa?”

“Ke hotel bintang lima seperti yang kukatakan di rumah Mama.”

“Terus sekarang mau ke mana?”

“Ke pusat penjualan pakaian yang biasa disebut factory outlet itu Mama.”

Tiba - tiba Mama Hermin mendekatkan mulutnya ke telingaku. Dan berbisik, “Ke hotel aja dulu. Biar mama tenang belanjanya nanti. Kalau perlu, besok pagi aja belanjanya. Supaya mama bisa mikir dulu, jenis apa saja yang sekira laku dijual di kampung mama nanti.”

“Itu lebih baik Mam,” ucapku sambil membelokkan arah mobil menuju hotel bintang lima itu.

“Tapi jangan ngomong apa - apa sama Tata nanti ya Bon.”

“Iya Mam. Soal itu sih dijamin bakal ditutup rapat - rapat kepada siapa pun.”

Tak lama kemudian, aku dan Mama Hermin sudah berada di dalam lift yang mengantarkan kami ke lantai lima. Mama Hermin terus - terusan menatapku dengan senyum manisnya.

Senyum manis itu pun tersungging lagi di bibir sensual Mama Hermin ketika kami sudah berada di dalam kamar yang sudah kubooking.

Lalu kami duduk berdampingan di sofa yang tak jauh dari bed.

“Mama tau gak? Sepulangnya dari rumah Mama… aku sampai mimpiin Mama lho,” kataku sambil memegang tangan Mama.

“Mimpiin apa?”

“Mimpiin begituan sama Mama. Besoknya… celanaku basah. Hihihihiii…”

“Mama akan wujudkan mimpi itu. Karena mama juga kagum berat sama Bona sejak pertama kali melihat boss Tata ini. Tapi mama kan tau diri, usia mama gak muda lagi. Makanya disimpan aja perasaan itu di dalam hati.”

“Jadi Mama sudah membayangkan kalau kita bakal sedekat ini?”

“Ada sih bayangan itu… tapi samar - samar. Karena mama pikir cuma khayalan yang gak tau diri. Masa cowok seganteng dan semuda ini mau sama mama…”

“Yang samar - samar itu sekarang sudah jadi jelas ya Mam,” ucapku sambil melingkarkan lengan di leher Mama Hermin.

Seperti tahu apa yang kuinginkan, Mama Hermin mendekatkan bibirnya ke bibirku, dengan tatapan sepasang mata bening yang indah dari jarak sangat dekat sekali pun. Aku menanggapinya cuma dengan senyum, karena ingin tahu apakah dia seagresif anaknya atau tidak. Ternyata dia memagut bibirku sambil memeluk leherku.

Maka aku pun ingin lebih agresif lagi, karena semuanya ini sudah terbayangkan sejak dua malam yang lalu. Dengan menyelundupkan tanganku ke balik celana legging ketatnya. Mama Hermin reaktif juga. Menyadari aku sulit memasukkan tangan ke balik celana leggingnya, maka celana legging itu pu dipelorotkan sampai ke lututnya, sehingga dengan mudah aku menyelundupkan tanganku ke balik celana dalam putih bersihnya.

Maka dengan penuh gairah kucolek - colek belahan memek yang masih bersembunyi di balik celana dalamnya itu.

Mama Hermin pun memagut dan melumat bibirku lagi, lebih lahap dari sebelumnya. Bahkan pada suatu saat ia berbisik, “Pindah ke atas tempat tidur aja yuk…”

Aku mengangguk dan mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. Lalu membantu Mama Hermin melepaskan celana leggingnya. Bahkan aku pula yang melepaskan celana dalam putihnya. Sehingga tampaklah memeknya yang bersih dari jembut itu, seolah menantangku untuk menjilatinya. Tapi aku hanya menciuminya sebentar, karena Mama hermin mau melangkah ke bed.

Di pinggiran bed ia melepaskan fullover dan beha serba putihnya. Sehingga tampaklah sepasang toketnya yang tak kalah gede daripada toket Charlita…!

Apakah semuanya ini terlalu cepat bagiku? Tidak. Aku bahkan pernah punya pengalaman yang lebih cepat lagi dahulu, ketika aku masih tinggal bersama Papa dan Mama angkatku di Jogja. Dengan seorang wanita yang mengantarkan seorang pembantu untuk bekerja di rumah kami. Setelah kuperhatikan, wanita itu memang manis sekali.

Maka kutawarkan jasaku untuk mengantarkannya pulang ke kampungnya di sekitar Jatingaleh Semarang. Wanita itu tampak senang. Lalu nemplok di boncengan motorku. Dan kuantarkan ke arah Semarang. Namun di Ungaran aku mengajaknya untuk mandi air panas mineral. Ia pun setuju. Dan di dalam kamar mandi air panas itu aku langsung bisa mengentotnya…

Jadi aku tidak menganggap Mama Hermin ini terlalu cepat untuk melangkah sejauh ini. Aku malah butuh waktu dua malam untuk mencapai semuanya ini.

Tidak terlalu cepat untuk menanggalkan pakaianku sehelai demi sehelai, tinggal celana dalam saja yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku. Lalu merayap ke atas tubuh Mama Hermin yang sudah celentang dalam keadaan sudah telanjang bulat itu.

Mama Hermin pun menyambutku dengan senyum manisnya. Lalu membiarkanku memegang sepasang toket gedenya yang ternyata belum kendor. Masih kenyal dan padat. Tak kalah dengan toket putrinya.

Namun tujuan utamaku dalam foreplay ini adalah ingin menjilati memeknya yang gundul bersih itu. Maka aku pun langsung melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memek Mama Hermin. Pada saat yang sama Mama Hermin pun merenggangkan sepasang paha putih mulusnya, seolah mengandung ucapan “silakan jilatin memekku sepuasmu”.

Ketika ujung lidahku mulai menyapu - nyapu bibir luar (labia mayora), Mama Hermin agak tersentak. Tapi sepasang paha putih mulusnya semakin direnggangkan, sementara kedua tanganku sudah mengangakan mulut vaginanya, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu ternganga lebar di depan mataku. Bagian yang berwarna pink itulah kujilati habis - habisan, sehingga Mama Hermin mulai menggeliat - geliat dengan nafas berdesah - desah.

Di mataku, Mama Hermin ini dari ujung kaki sampai ujung rambutnya tiada celanya. Tubuh yang tinggi langsing tapi tidak kurus. Toket dan bokongnya gede. Kulitnya putih mulus. Wajahnya pun sangat cantik. Sehingga aku menganggap Mama Hermin ini harus mendapat prioritas kedua setelah Mamie. Ya, biar aku beristrikan perempuan secantik bidadari pun, Mamie tetap menjadi sosok yang paling menggiurkan dan paling kuutamakan.

Tapi dalam hal kecantikan, semuanya kalah oleh Mamie Hermin ini. Selain cantik dia bertubuh seksi dan sangat menggiurkan…!

Dan kini aku sedang menjilati memeknya yang beraroma khas. Mungkin dia rajin minum ramuan tradisional, khusus untuk mengharumkan kemaluan wanita. Sehingga aku jadi begini lahap menjilati memek tembemnya.

Namun menjilati memek bukanlah tujuan utamaku. Cunnilingus hanya sebagian dari foreplay. Maka ketika kontolku sudah sangat ngaceng dan ingin segera dijebloskan ke liang memek Mama Hermin, aku pun melepaskan celana dalamku.

Mama Hermin spontan duduk sambil memegang kontolku, “Astagaaaa… ini penis manusia apa kontol kuda?! Wadududuuuh… mama sampai merinding nih. Gak nyangka Bona punya meriam sepanjang dan segede ini.”

“Kenapa merinding? Takut?” tanyaku.

“Merinding karena membayangkan nikmatnya kalau sudah dimainkan di dalam memek mama…! “Mama Hermin menelentang lagi, sambil mengusap - usap memeknya yang sudah basah kuyup oleh air liurku, bercampur dengan lendir libidonya, mungkin.

Pada saat yang sama, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mama Hermin. Lalu kudorong sekuat tenaga… blessssssss… amblas hampir separohnya… diiringi ringisan Mama Hermin, “Ooooohhhhh… masuuuuuuk… gede banget… oooo… ooooohhh…”

Tercapai juga yang kubayangkan dalam dua hari belakangan ini. Bahwa kontolku membenam terus… sampai cukup jaraknya untuk mulai kuayun perlahan - lahan. Tubuh menggiurkan itu pun mulai menggeletar - geletar, dalam amukan birahiku yang seolah tengah merayap cepat menuju lereng surgawi… untuk merayap terus menuju puncaknya.

Ayunan kontolku pun seakan ingin memamerkan keperkasaanku, yang selama ini belum pernah mengecewakan. Dan kepak - kepak sepasang tangan wanita setengah baya itu mulai mengusutkan kain seprai putih yang berkali - kali diremasnya.

Aku pun mulai melengkapinya. Ketika kontolku mulai gencar mengentot liang memek Mama Hermin, mulutku pun tak sekadar mencium dan melumat bibir sensualnya. terkadang nyungsep di leher jenjangnya, untuk menjilatinya dengan lahap, disertai gigitan - gigitan lembut.

Ini membuatnya mulai merintih dan mendesah, sambil mempererat dekapannya di pinggangku.

“Aaaaaaahhh… Bonaaaa.. ini luar biasa Booon… luar biasa indahnya… lakukan apa pun yang Bona inginkan pada diri mama… entot terus Booon… penis Bona luar biasa enaknya… terasa sekali gesekannya… pasti akan membuat mama ketagihan nanti… aaa… aaaaaahhhh… aaaa… aaaaaahhhh…

Aku harus mengakui bahwa Mama Hermin ini wanita tercantik di antara sekian banyak wanita yang telah kugauli. Namun aku tak mau mengatakannya secara lisan. Aku hanya ingin membuatnya klepek - klepek dalam entotan kontolku yang mulai kupercepat, bermaju mundur di dalam liang memeknya yang sangat legit ini.

Mama Hermin pun mulai atraktif. Bokong gedenya mulai menggeol - geol tak ubahnya kocokan telor manual. Memutar - mutar dan meliuk - liuk. Tekadang menghempas - hempas ke atas kasur, sehingga itilnya bergesekan dengan badan kontolku.

Memang luar biasa nikmatnya geolan pantat Mama Hermin ini. kontolku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memeknya. Namun karena itilnya terus - terusan bergesekan dengan kontolku, maka tak lama kemudian terdengar rengekan histerisnya. “Booo… Boooonaaaa… mama maaaaauuuu lepassss…

Mama Hermin berkelojotan dengan nafas tersendat - sendat. Dengan tangan meremas - remas bahuku. Dan akhirnya mengejang tegang, dengan perut agak terangkat, dengan nafas tertahan, mulut ternganga dan mata terpejam.

Aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memeknya.

Lalu liang memek legit ini terasa seperti ular yang tengah bergerak melilit batang kontolku. Membuat mataku terpejam, dalam nikmat.

“Aaaaaaaaahhhhh… “Mama Hermin menghembuskan nafasnya setelah tertahan beberapa detik. Lalu sekujur tubuhnya melemas. Sementara wajahnya tampak seolah bersinar, seolah memancarkan aura kecantikannya yang menimbulkan rasa sayang di dalam hatiku.

Kuusap - usap pipi Mama Hermin yang keringatan. Lalu kucium bibirnya mesra. Dan berbisik, “Sudah orgasme Mam?”

Mama Hermin membuka kelopak matanya. Menatapku dengan sorot seperti baru bangun tidur, Dan memelukku erat - erat sambil menyahut, “Sudah Sayang… terima kasih. Setelah bertahun - tahun puasa, ternyata mama masih punya kesempatan merasakan nikmatnya digauli lelaki… semuda dan seganteng ini pula…

Aku tersenyum. Mengecup bibir sensualnya lagi. Lalu mengayun kontolku lagi, di dalam liang memek yang terasa becek. Sehinga terdengar bunyi unik dari memek Mama Hermin. Stttt… crekkkk… srttttttttt… crekkkk… stttt… crekkkkkkkkk… stttt… crekkkkkkk…

“Jadi becek mama jadi becek ya?” bisiknya sambil mendekap pinggangku lagi.

“Biar aja. Aku justru seneng memek becek yang baru orgasme gini,” sahutku tanpa menghentikan entotanku.

Mama Hermin tersenyum manis. Lalu mengusap - usap rambutku sambil berkata perlahan, “Sepertinya mama mulai mencintai Bona…”

“Kita rawat aja cintanya…”

“Terus, kalau mama kangen sama Bona gimana?”

“Ketemuan aja,” sahutku sambil melambatkan ayunan kontolku, “Mama belanja ke Jogja berapa hari sekali?”

“Biasanya sih seminggu sekali.”

“Nah… sedikitnya seminggu sekali aku bisa ngentot memek Mama yang legit ini,” ucapku sambil mulai mempercepat lagi entotanku.

Mama Hermin pun terdiam. Dan menggeliat - geliat lagi.

Mungkin fisiknya sudah pulih, sehingga bisa merasakan lagi nikmatnya gesekan kontolku yang memang berukuran di atas rata - rata ini, mungkin.

Lalu aku merasa seolah sedang melayang - layang di langit tinggi. Langit yang ketujuh kata para pujangga. Langit yang bertaburkan bunga - bunga surgawi, diiringi dentang - denting gamelan kahyangan.

Pergesekan antara kulit zakar dengan dinding liang kewanitaan wanita setengah baya itu memang membuatku lupa segalanya. Aku hanya merasa bahwa rongga di hatiku sudah bertambah satu nama lagi. Hermin jelita yang membuatku lupa daratan.

Keringat pun mulai membanjiri tubuh kami. Padahal kami sedang bergelut di dalam ruangan berAC dingin sekali.

Mama Hermin pun sudah orgasme lagi. Namun aku tetap mengentotnya dengan gairah birahi yang semakin indah… semakin nikmat.

Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu. Bahwa aku hampir mencapai puncak kenikmatan itu, yang kebetulan berbarengan dengan orgasme ketiga mama Hermin.

Pada detik - detik indah itulah kami seolah sepasang manusia kerasukan. Saling cengkram sekuatnya, saling remas sebisanya.

Kemudian meriam pusakaku menembak - nembakkan peluru lendirnya di dalam liang memek ibunya Charlita itu. Crotcroooot… croooottttt.. crottt… croooottt… crooootttt…!

Lalu kami terkapar di pantai yang sangat indah, bernama kepuasan…

**Ang waktu berputar dengan cepatnya…

Tanpa terasa 6 bulan sudah berlalu. Dalam tempo setengah tahun itu banyak yang sudah terjadi.

Mama Hermin tidak mengedarkan pakaian ke pasar dan toko - toko lagi. Karena sudah punya toko sendiri. Toko yang tak kalah bagus daripada FO - FO di kota besar. Pakaian yang dijual pun bukan pakaian kodian lagi, melainkan pakaian yang mengikuti trend masa kini.

Mama Hermin pun tak lagi harus belanja secara rutin ke Jogja, karena ada supplier dari Bandung yang datang sendiri untuk menyimpan pakaian model terbaru. Memang dalam soal mode, Bandung selalu ngetop. Setiap hari selalu muncul model baru, yang belum ada di kota lain.

Dengan sendirinya Mama Hermin pun berubah penampilannya. Menyesuaikan diri dengan pakaian yang dijualnya. Hal itu membuatku bangga. Karena Mama Hermin jadi tampak semakin cantik di balik pakaian yang sesuai dengannya.

Tentu saja aku ikut berperan untuk memajukan usaha Mama Hermin itu. Karena aku selalu mentransfer dana untuk mengembangkan usahanya.

Namun hubunganku dengan Mama Hermin tetap dirahasiakan. Karena kami berusaha agar Charlita jangan sampai tahu. Maka semua kemasjuan yang telah dicapai oleh Mama hermin itu seolah berasal dari perjuangannya sendiri. Padahal aku berada di belakangnya.

Sementara itu insinyur pertanian untuk memimpin di lahan Mamie di Jatim dan Jateng sudah ada. Di Jatim dipegang oleh Yuniar, teman seangkatanku yang kebetulan lahir dan dibesarkan di Jatim, meski aslinya orang Sumatra. Lahan yang di Jateng, dipegang oleh teman seangkatanku yang biasa kupanggil Joko.

Kantor untuk urusan agro bisnis tetap di tempat yang tak jauh dari rumah Mamie. Tapi di Jogja aku buka kantor baru, untuk mengurus bisnis yang berasal dari dana Tante Tari. Kantor pusat urusan lahan - lahan Mamie baik yang di Jawa mau pun di luar Jawa, disatukan di kantor ini. Agar aku mudah mengurusnya kalau ada yang harus diselesaikan.

Kantor ini dibeli dengan dana Tante Tari 90% dan dana Mamie 10%. Karena urusan lahan - lahan Mamie hanya menggunakan satu ruangan. Itu pun ruangan kerjaku, karena aku tak membutuhkan asisten lagi untuk urusan lahan - lahan Mamie itu.

Sedangkan untuk urusan bisnis yang Tante Tari serahkan sepenuhnya padaku, membutuhkan sembilan ruangan, karena bisnisnya bermacam - macam (yang tak perlu dibuka satu persatu). Tentu saja aku yang memimpin semuanya itu.

Lalu bagaimana dengan ibu angkatku yang sejak kecil kupanggil Mama itu?

Nasib kandungannya ternyata malang sekali. Karena ketika kandungannya baru berusia 7 bulan, bayi di dalam perut Mama itu dinyatakan sudah meninggal, kata dokter yang merawatnya. Sehingga bayi yang sudah meninggal itu harus dikeluarkan. Untungnya Mama hanya diberi suntikan agar mulas - mulas. Kemudian bayi laki - laki yang tidak bernyawa lagi itu lahir, tanpa harus dioperasi dan sebagainya.

Aku bisa memaklumi hal itu, karena usia Mama memang sudah di atas 40 tahun. Tentu tidak mudah untuk hamil dan melahirkan di usia yang sudah tidak muda lagi itu.

Sementara itu, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah pada menikah. Dengan sendirinya mereka dibawa oleh suaminya masing - masing. Sehingga Mama tinggal sendirian di rumahnya yang di Subang itu.

Hal itu kusampaikan kepada Mamie. Bahwa Mama di Subang tinggal sendirian, karena anak - anaknya sudah pada kawin dan dibawa oleh suaminya masing - masing. Tentu saja masalah kehamilan Mama itu tidak kuceritakan kepada Mamie.

Maka Mamie berkata, “Kasihan juga ya. Biar bagaimana dia sangat berjasa pada kita. Kalau tidak ada dia, mamie takkan bisa terbang ke Hongkong saat itu, takkan berjumpa dengan pengusaha besar yang lalu menjadi suami mamie itu. Mama angkatmu yang membiayai kelahiranmu. Lalu merawatmu sejak bayi merah sampai dewasa.

Aku setuju kepada saran Mamie. Soal rumah, aku sudah membeli rumah di kompleks perumahan kelas menengah. Bukan di kompleks perumahan yang sudah dijadikan tempat tinggal Tante Tari dan Tante Artini itu. Aku membeli rumah itu untuk diriku sendiri. Karena terkadang aku merasa letih kalau harus pulang ke rumah Mamie.

Setelah mendengar saran Mamie, aku merencanakan rumah itu untuk tempat tinggal Mama.

Keesokan harinya aku menelepon Mama dari kantorku. Lalu :

“Hallo Sayang? Apa kabar? Sehat - sehat saja kan?”

“Sehat Mam. Mama sendiri gimana? Aku ingat terus nih sama Mama.”

“Mama juga sehat Sayang.”

“Mbak Rina dan Mbak Lidya suka nengok Mama nggak?”

“Rina kan dibawa pindah ke Palembang. Sedangkan Lidya pindah ke Jakarta. Sampai saat ini mereka belum ada yang nengokin mama, Sayang.”

“Kalau gitu Mama pindah ke Jogja aja ya. Rumah untuk Mama sudah kusediakan. Lumayan bagus kok rumahnya.”

“Mama kan punya usaha di Subang ini Sayang. Usaha mama justru sedang berkembang pesat sekarang ini. Bagaimana bisa mama tinggal di Jogja? Kalau mama kangen sama kamu, biarlah mama yang pergi ke Jogja. Tapi mama gak bisa menetap di Jogja, Bona Sayang…”

“Yaaahhh… Mama sih gitu. Padahal aku sudah berunding sama Mamie. Bahkan Mamie juga yang nyuruh aku beli rumah untuk Mama.”

“Iya. Terima kasih atas perhatian kamu dan mamiemu itu. Tapi mama bener - bener gak bisa ninggalin Subang Sayang.”

Aku pun memutar kata - kata yang intinya ingin agar Mama menetap di Jogja, tapi hasilnya nihil. Mama tetap tak mau pindah ke Jogja. Meski Mama merasakan kesepian di Subang, Mama akan memaksakan diri untuk terbiasa dengan suasana sepi itu.

Sehingga akhirnya aku menyerah. Kalau ingin memperlihatkan rasa sayangku padanya, mungkin harus transfer duit aja sebulan sekali. Tak ada jalan lain, karena kalau aku diminta pindah ke Subang pun takkan bisa.

Karena itu rumah yang akan direlakan untuk tempat tinggal Mama, akhirnya kupakai sendiri. Karena menurut seorang pakar bisnis, tiap pelaku bisnis harus menyediakan waktu sedikitnya 1 atau 2 jam untuk menyendiri dan merenungkan segala langkah bisnisnya, tanpa gangguan apa pun.

Sementara itu baik Tante Tari mau pun Tante Artini belum ada yang hamil. Padahal aku sudah “serajin mungkin” menggauli mereka. Bahkan aku dan Tante Tari pernah memeriksakan diri ke dokter. Jawaban dari dokter itu, “Dua - duanya normal. Sabar aja ya.”

Begitulah secara singkat tentang segala yang telah terjadi pada diriku dan orang - orang yang dekat denganku selama 6 bulan itu.

Sampai pada suatu hari…

Siang itu aku mau meninggalkan kantor, karena ada sesuatu yang harus kuurus di tempat lain. Namun ketika aku baru tiba di ambang pintu ruang kerjaku, tampak seorang gadis berkulit putih bersih dan berperawakan tinggi langsing tapi padat dan berisi, mengenakan celana dan baju yang sama - sama terbuat dari bahan blue jeans.

Ternyata dia Yuniar, teman seangkatanku yang kutugaskan untuk mengelola lahan Mamie yang di Jatim itu.

“Selamat pagi Boss,” ucap Yuniar sambil menjabat tanganku dengan sikap agak formal.

“Wow… kirain siapa, “sambutku sambil memeluk pinggang Yuniar, lalu cipika - cipiki dengannya. “Setelah tinggal di Jatim lagi, kamu jadi tambah cantik Yun.”

“Masa sih?! “Yuniar tersipu, “Tapi aku sedang ada masalah Boss.”

“Mmm… ayo duduk dululah,” kataku sambil menuntun Yuniar ke ruang tamu.

“Ada masalah apa?” tanyaku setelah Yuniar duduk di sofa ruang tamu kantor.

“Aku melarikan diri nih dari rumah ortu.”

“Ohya? Emangnya ada apa?”

“Mau dijodohin sama lelaki yang sudah tua. Cuma mau dijadiin bini muda pula. Gila kan?”

“Hahahahaa… kalau kaya raya kan nggak apa - apa.”

“Aaah… cuma punya mobil satu. Di zaman sekarang tukang bikin tempe juga bisa beli mobil lebih dari satu.”

“Terus… kamu tinggalkan tugasmu di lahan yang kupercayakan padamu?”

“Sudah ditanami bibit semua secara teratur sekali. Sekarang tinggal bersihkan rumput liarnya doang Boss. Pekerjaan itu kan bisa diberikan kepada buruh. Sekarang aku membutuhkan perlindunganmu Bon,” ucap Yuniar yang tiba - tiba menangis terisak - isak sambil memeluk dan merapatkan wajahnya ke dadaku.

Aku pun mengusap - usap punggungnya sambil berkata lembut, “Tiada masalah yang bisa diselesaikan dengan menangis. Coba katakan apa yang bisa kubantu agar kamu bisa merasa tenang dan nyaman?”

“Tolong sembunyikan aku Bon. Aku takut dipaksa pulang lalu dikawinkan dengan lelaki yang lebih pantas jadi ayahku itu… hikssss… hiksss…”

Aku berpikir sejenak. Dan langsung memutuskan untuk menyembunyikan Yuniar di rumah yang tadinya untuk tempat tinggal Mama itu. Tapi aku lalu teringat sesuatu. Maka kataku, “Kalau aku menyembunyikan kamu, aku bisa dituduh menculik anak orang. Itu bisa dipidana, Yun.”

“Aku bilang kantor pusatku di Jakarta. Bukan di Jogja. Jadi seandainya orang tuaku melapor kepada polisi pun, pasti aku akan dilacak di Jakarta. Bukan di Jogja. Lagian, seandainya pun aku ketahuan, aku akan membelamu habis - habisan nanti. Yang penting aku sembunyikan Bona yang baik… hiks…”

Tanpa berpikir panjang lagi, Yuniar kubawa ke rumah itu. Rumah yang di sana sini sedang diperbaiki oleh pemilik lamanya, tapi banyak yang belum selesai renovasinya. Sementara aku pun belum sempat memanggil tukang bangunan untuk melanjutkan renovasi yang belum selesai itu.

Tapi di bagian dalamnya, rumah itu bagus dan bersih. Furniture dan perabotan rumahnya pun sudah lengkap. Sehingga Yuniar langsung merasa nyaman setelah berada di dalam rumah itu.

“Di rumah ini Bona tinggal sendirian?” tanyanya sambil mengamati keadaan di dalam rumah ini.

“Iya,” sahutku, “Tapi seringnya aku tidur di rumah mamieku, agak jauh dari Solo, di pedesaan.”

“Aaah… kalau tinggal sendirian di rumah segede ini, aku takut Bon. Terutama pada waktu malam. Kalau siang - siang sih gak apa - apa,” ucap Yuniar sambil memegang kedua pergelangan tanganku, sambil menatapku dengan sorot memohon.

“Nanti kupertimbangkan dulu ya. Sekarang mandi dulu gih sana. Perjalanan dari Jatim ke sini kan jauh. Pasti banyak debu yang menempel di tubuhmu.”

“Mumpung Bona sedang ada di sini, temenin aku mandi sekalian yuk.”

“Mmmm?! Memang aku juga belum mandi sore nih.”

“Ya ayolah temenin aku mandi.”

“Nanti kalau aku tergiur melihatmu telanjang gimana?”

“Apa pun yang Bona inginkan dariku, akan kuberikan. Asalkan aku disembunyikan dan dilindungi di sini.”

“Serius nih?”

“Sangat serius,” sahutnya sambil mengangguk dan tersenyum manis sekali.

Sebenarnya Yuniar jarang sekali tersenyum. Sikapnya sering kelihatan formal. Tapi justru itulah yang kusukai, sehingga aku menempatkannya di Jawa Timur.

Ya, Yuniar tidak pernah sembarangan tersenyum, apalagi tertawa. Dengan kata lain, dia sosok berwibawa di mataku, sehingga kuanggap cocok untuk menjadi pemimpin di lahan Mamie yang di Jatim itu.

Dan kini Yuniar sudah mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar mandi ysng sudah ditata secara modern, namun tidak semewah kamar mandi rumah Mamie atau rumah Tante Tari.

Di dalam kamar mandi, Yuniar melepaskan busananya sehelai demi sehelai. Sehingga tinggal beha dan celana dalam saja yang masih melekat di badannya. Sementara aku sendiri sudah tinggal mengenakan celana dalam saja, karena sudah mau mandi juga. Dan setelah melepaskan behanya, Yuniar menutupi sepasang toketnya dengan kedua telapak tangannya sambil tersipu - sipu malu.

Namun aku menepiskan kedua tangannya itu, sehingga sepasang toketnya pun tampak di mataku. Dan… aduh maaaak… toket Yuniar ternyata gede… tak kalah indah dengan toket Charlita…!

Hasratku mendadak bangkit. Ketika Yuniar sedang melepaskan celana dalamnya, aku melangkah ke belakangnya. Lalu menggenggam kedua toketnya dengan kedua tanganku sambil berkata, “Gak nyangka toketmu luar biasa indahnya…”

Yuniar tidak menyahut. Sementara celana dalamnya sudah dilepaskan dari kakinya. Sehingga aku memindahkan tanganku ke bawah perutnya, ingin memegang sesuatu yang belum kelihatan karena aku masih berdiri di belakangnya.

Kusentuh rambut pendek - pendek sekali di bawah perut Yuniar. Kompak dengan Charlita, sama - sama berjembut tapi digunting rapi dengan model “cepak”.

“Katanya mau mandi…” ucap Yuniar tanpa menoleh padaku.

Tak kujawab. Bahkan bertanya, “Ini jembutnya dicukur di mana? Di salon?”

“Aaaah… guntingin sendiri aja. Masa ke salon cuma buat nyukur jembut.”

“Zaman sekarang kan musim di-waxing.”

“Iya sering denger. Malah sekarang ada yang baru lagi, pakai laser. Gak ada kerjaan, jembut - jembut aja diurusin.”

“Sepertinya kamu masih perawan Yun.”

“Ya iyalah. Bona lihat sendiri waktu masih kuliah, kapan aku suka dekat dengan cowok?”

“Kebayang enaknya… “gumamku.

“Apanya yang enak?”

“Memekmu ini… pasti enak sekali… masih perawan pula.”

“Iiih… kirain apaan…”

Aku ketawa kecil sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar keran shower air hangat.

Shower di atas kepala kami pun memancarkan air hangat ke kepala dan tubuh kami.

Yuniar berkali - kali memandang serius ke arah kontolku yang sudah ngaceng ini. Bahkan lalu seperti penasaran, digenggamnya kontol ngacengku sambil bertanya, “Nanti malam mau nemenin aku di sini kan?”

“Upahin sama memekmu ya,” sahutku bercanda.

“Sekujur tubuhku akan kupasrahkan padamu, asalkan kehadiranku di sini dirahasiakan dan dilindungi. Daripada dijadikan mangsa lelaki tua itu, mendingan kukasihkan pada teman lamaku yang sekarang sudah jadi bossku ini,” kata Yuniar sambil mendekap pinggangku, sehingga kontolku terasa bertempelan dengan memeknya.

Setelah selesai mandi, kubawa Yuniar ke dalam kamar yang biasa kupakai.

Kebetulan aku punya burger yang kusimpan di dalam kulkas. Lalu kukeluarkan burger - burger itu dan kupanaskan di dalam microwave. Seolah memberi contoh kepada Yuniar, bagaimana caranya kalau dia sedang lapar nanti. Karena di kamarku ada kulkas dan microwave. Di dalam kulkas pun banyak makanan dan soft drink yang bisa dinikmati pada saat lapar dan malas ke luar rumah.

Yuniar tampak senang melihat fasilitas sederhana yang bisa dimanfaatkan dalam masa persembunyiannya.

“Kalau berduaan terus begini, pasti akhirnya akan terjadi sesuatu di antara kita,” kataku sambil rebahan setelah menyantap burger bersama Yuniar.

Yuniar yang sudah mengenakan kimono wetlook putih, merebahkan diri di sampingku. Dan menyahut, “Aku sudah siap untuk diapakan juga. Bahkan untuk hamil pun aku siap.”

“Wah, jangan hamil dulu.”

“Kenapa?”

“Kalau kamu hamil, aku harus menikahimu. Sedangkan aku sudah punya calon istri,” ucapku berbohong. Padahal aku belum tahu siapa yang akan kujadikan calon istriku.

“Nikah siri kan bisa. Pokoknya dijadikan simpananmu juga aku mau.”

“Terus pekerjaanmu gimana? Mau resign?”

Yuniar menghela nafas panjang. Lalu berkata lirih, “Sebenarnya aku sangat mencintai tugas yang diberikan padaku itu. Apalagi sekarang, tanah ibumu itu sudah tertata dengan rapi. Dalam tempo singkat saja akan kelihatan menghijau. Sekarang sudah mulai musim hujan pula. Tanpa disirami pun pepohonan yang kutanam akan berkembang subur.

“Kalau kamu mengaku sudah punya pacar, orang tuamu bisa menerima?”

“Entahlah. Otakku masih blank. Tapi kalau mengaku sedang hamil, mungkin mereka akan menerima.”

Sebenarnya aku sudah semakin tertarik pada Yuniar, karena setelah diperhatikan dari dekat, dia itu cantik. Tapi aku belum bisa memutuskan apa - apa sebelum membuktikan keperawanannya.

Hal ini penting. Meski aku tidak perjaka lagi, tapi lelaki itu bersifat “membuang”. Sementara wanita bersifat “menyimpan”. Karena itu tidak mengherankan kalau ada kata - kata mutirara yang berbunyi

“Lelaki berbuat nista seribu kali, dunia masih tersenyum. Tapi wanita berbuat nista sekali saja, dunia akan menangis dibuatnya”.

Ya… karena wanita bersifat “menyimpan” itu.

Dan kini aku ingin membuktikan siapa sebenarnya Yuniar ini. Dia memang teman seangkatan denganku. Tapi aku belum tahu banyak mengenai kepribadiannya.

“Seandainya aku menjadi milikmu, aku merasa bangga, meski tidak menikah secara sah,” kata Yuniar pada suatu saat, sambil memegang tanganku dan meremasnya dengan lembut. Saat itu aku pun mengenakan kimono, yang terbuat dari bahan handuk berwarna biru muda.

“Kenapa merasa bangga meski cuma kujadikan simpanan?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke balik kimono Yuniar yang aku tahu tidak mengenakan beha maupun CD di balik kimono

“Aku mau jujur ya,” ucapnya sambil menatap langit - langit kamarku, “Sebenarnya sejak kita masih sama - sama kuliah, aku sudah punya perasaan suka padamu Bon.”

“Ohya?” cetusku pada saat tanganku mulai menyentuh jembut Yuniar.

“Iya. Tapi kamu kan seperti tidak mau didekati cewek. Mungkin karena sudah punya calon istri itu.”

“Terus?”

Yuniar malah memejamkan matanya sambil berkata, “Ooooh Bona… kalau memekku dijamah dan dicolek - colek gini… aku jadi pengen merasakan di… disetubuhi olehmu…”

“Kan memang juga aku akan menyetubuhimu. Tapi kalau kontolkju langsung dimasukkan ke dalam tempikmu, pasti kamu kesakitan. Makanya harus pelan - pelan dulu,” ucapku sambil melepaskan tali kimono Yuniar dan merentangkan kedua sisinya, sehingga bagian depan tubuh teman seangkatanku itu terbuka sepenuhnya.

Aku berpikir sesaat. Kemudian turun dari bed, mengambil lotion dari atas meja kertjaku. Dan kembali lagi ke arah Yuniar.

“Buat apa lotion itu Bon?” tanya Yuniar sambil menanggalkan kimononya.

“Buat pelumas… supaya liang memekmu licin,” sahutku sambil mendekatkan lotion itu ke memek Yuniar yang sudah celentang lagi.

“Memekmu banyak jembutnya. Kalau dicukur habis atau digunting pendek - pendek, dijilatin dulu juga bisa,” kataku sambil menyemprotkan lotion itu ke memek Yuniar.

“Kalau mau plontos, besok deh kucukur habis jembutnya,” ucap Yuniar sambil tersenyum.

“Kamu kalau sedang tersenyum, kelihatan cantiknya. Kenapa sih kamu jarang sekali tersenyum?” tanyaku.

“Gak tau Bon… sejak kecil aku terbiasa serius. Jadi nyaris gak ada yang bisa membuatku tersenyum, apalagi ketawa. Tapi untuk Bona… akan kuusahakan sering tersenyum deh,” sahutnya sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum Yuniar itu.

“Naaah… kalau begitu kan kelihatan sekali cantiknya kamu ini,” ucapku yang kulanjutkan dengan menyemprotkan lotion sebanyak mungkin ke memek Yuniar. Bahkan celah menuju lubang sanggamanya pun kusemprot dengan lotion sebanyak mungkin.

Dalam tempo singkat aku yakin bahwa memek Yuniar sudah siap untuk dipenetrasi oleh kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

Lalu kudorong sepasang paha Yun agar merenggang selebar mungkin. setelah mengusap - usap memeknya, agar lotion merata di setiap yang akan dimasuki kontolku, maka kuletakkan moncong kontolku tepat di belahan memeknya yang kelihatan sudah merah itu. Tanganku juga ikut campur meraba - raba memek bagian dalam Yun.

Lalu aku mengumpulkan tenaga dengan menarik nafas panjang beberapa kali. Dan kudorong kontolku sekuat tenaga. Langsung masuk sedikit demi sedikit…!

Aku pun merapatkan dadaku ke dada Yuniar. Yang disambutnya dengan pelukan di leherku diiringi bisikan, “Kalau Bona tau… sudah lama aku memimpikan hal ini Bon…”

Lalu dipagutnya bibirku ke dalam lumatannya, sementara kontolku mulai kugerakkan sedikit demi sedikit, dengan hati - hati pula agar jangan sampai terlepas dari liang memek Yun yang luar biasa sempit menjepitnya ini.

Awalnya gerakan kontolku terasa seret sekali. Tapi lama - lama liang sempit itu menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku, sehingga aku pun mulai lancar mengentotnya.

“Bona… oooh… obsesiku jadi kenyataan… luar biasa indahnya Boon… sekarang sekujur tubuh dan batinku sudah menjadi milikmu Bona… oooooh… Booonaaa… ini luar biasa indahnya Booon…”

Mulutku pun mulai aktif menjilati lehernya disertai gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sehingga Yun semakin menggeliat, mendesah dan merintih - rintih histeris, “Booonaaaa… aaaaa… ssuuuhhhh… faaahhhh… Booonaaaa… ternyata lu… luar biasa indahnya sssseee… semua ini Booon…

Aaa… aku… aku… mencintaimu Booon… jangan buang aku nanti ya Booon… aku cinta kamuuu… cintaaaa Booon… cintaaaa kamuuuu… sudah bertahun - tahun aku kagum padamu… dan sekarang bukan kagum lagi… sekarang aku cintaaaa… cinta padamu Booon… dengan segenap jiwakuuuu… dijadikan budak cintamu juga aku maaaauuuu …

Aku mendengarkan semua ocehan histerisnya itu. Namun mulutku sedang berpindah sasaran. Mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.

Yuniar pun semakin klepek - klepek dibuatnya. Terlebih ketika aku mencium bibirnya, Yun langsung melumat bibirku dengan lahapnya.

Diam - diam aku membanding - bandingkan Yuniar dengan perempuan - perempuan lain yang pernah kugauli. Dan aku yakin… bahwa Yuniar ini yang paling enak di antara semua perempuan yang pernah kugauli. Sehingga aku merasa harus menyayanginya. Dan harus mempertimbangkan ke depannya kelak. Bukan sekadar melampiaskan nafsu birahi semata.

Dan… pada waktu aku sedang gencar - gencarnya mengentot, aku menarik kontolku sampai terlepas. “Uff… lepasss… gak disengaja,” ucapku pura - pura tak sengaja mencabut kontolku. Padahal aku ingin menyelidik sesuatu di bawah memek Yuniar. Darah perawan itu… Ya… setelah menyaksikan darah perawan itu, perasaanku jadi semakin luluh.

Kemudian kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Yuniar yang luar biasa enaknya ini.

“Kamu benar - benar masih perawan sebelum kumasukkan kontolku ke dalam liang memekmu,” ucapku sambil merapatkan pipiku ke pipi Yuniar.

“Ya iyalah… pacaran aja aku belum pernah. Mana bisa hilang virginitasku…” sahut Yuniar disusul dengan ciuman mesranya di bibirku. “Ini juga kalau bukan sama Bona sih takkan kuserahkan kesucianku.”

“Memangnya aku sebegitu istimewanya bagimu Sayang?” tanyaku sambil mencolek bibirnya yang sebenarnya sensual itu.

“Sangat penting… karena baru sekali ini aku merasakan cinta. Jadi… Bona adalah cinta pertamaku… semoga jadi cinta terakhir juga… ooooo… oooooohhhhh… Boooon… ini jadi enak lagi… ooooo… ooooooh…” ucapan Yuniar dilanjutkan dengan rintihan - rintihan histerisnya, karena kontolku sudah mulai mengentot liang memeknya lagi.

Mulutku pun mulai beraksi. Ketika tangan Yuniar direntangkan, kuserudukkan mulutku ke ketiaknya. Lalu menjilati ketiak yang harum deodorant itu, disertai dengan gigitan - gigitan kecil dan sedotan - sedotan kuat.

Yuniar pun semakin menggelepar - gelepar bersama rengekan dan rintihan histerisnya. “booon… ooooohhhhh… Boooon makin lama makin indah dan nikmat Booon… mungkin inilah yang disebut surga dunia Booon… oooo… ooooohhhhh… Boooon…”

“Ya, kita memang sedang berada di surga dunia Sayang,” sahutku terengah, tanpa menghentikan entotanku.

“Oooo… oooo… oooooh… benarkah Bona sayang padaku?”

Kucium bibir sensual Yuniar, lalu berkata terengah, “Aku… harus… menyayangi dsn melindungi cewek yang… telah menyerahkan kesuciannya padaku…”

“Ooooh… aku bahagia sekali mendengarnya…” ucap Yuniar disusul dengan ciumannya yang bertubi - tubi di pipi dan di bibirku.

Aku pun menggencarkan entotanku kembali. Maju mundur dan maju mundur terus di dalam jepitan liang memek Yuniar yang luar biasa sempitnya ini.

Aku bisa memperpanjang durasi entotanku. Tapi aku tak mau menyiksa Yuniar yang baru sekali ini merasakan disetubuhi. Karena itu ketika Yuniar berkelojotan sambil mendesah - desah… aku pun semakin mempercepat entotanku, dengan tujuan agar ejakulasiku berbarengan dengan orgasmenya Yuniar.

Maka pada suatu saat, ketika Yuniar mengejang tegang, kontolku pun menancap di liang memekya tanpa kugerakkan lagi.

Lalu kami seperti kerasukan. Saling cengkram dan saling remas dengan nafas sama - sama tertahan.

Lalu nafasku berdengus - dengus dengan kontol mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku di dalam liang memek Yuniar yang juga tengah berkedut - kedut.

Croooottttt… crottt… crooootttt… croootttttt… crotttttt… croooooootttt… crooootttt…!

Kami pun terkapar dengan tubuh bermandikan keringat.

Lalu sama - sama terkulai di pantai kepuasan.

Ketika malam semakin larut, Yuniar merengek ingin disetubuhi sekali lagi. Aku pun mengabulkannya. Karena nafsuku memang sudah bangkit lagi.

Tapi dalam ronde kedua ini durasiku lumayan panjang. Sehingga Yuniar lebih dari dua kali orgasme. setelah dia tampak kepayahan, barulah aku berejakulasi.

Setelah bersih - bersih di kamar mandi, kami pun tertidur nyenyak sambil berpelukan.

Esoknya aku bangun kesiangan.

Ketika aku terbangun, aku tertegun melihat Yuniar sudah berubah 180 derajat. Memang dia masih mengenakan baju kaus dan celana pendek yang serba biru muda. Baju dan celana pendek yang dikenakannya waktu tidur semalam. Tapi wajahnya sudah bermake-up, meski cuma make-up tipis. Bibir sensualnya pun sudah dipolesi lipstick, juga cuma polesan tipis.

“Nah… kalau sedang tersenyum begitu, kamu cantik sekali Yun, “pujiku sambil membiarkan bibir sensualnya mencium sepasang pipiku.

“Sebenarnya aku ini anak broken home sejak ibuku meninggal dunia, pada waktu usiaku baru sepuluh tahun. Kemudian ayahku menikah lagi dengan seorang gadis yang usianya hanya lebih tua enam tahun dariku. Mungkin sejak saat itulah aku sangat jarang tersenyum,” kata Yuniar sambil menunduk.

“Berarti sekarang ibu tirimu baru berusia tigapuluh tahun?” tanggapku.

“Iya.”

“Apakah ibu tirimu galak seperti anjing boxer?” tanyaku.

“Galak sih nggak. Mmm… dia baik kok. Bahkan terkadang dia lebih baik daripada Papa. Tapi sebaik - baiknya ibu tiri, tentu takkan sebaik ibu kandung. Yah, minimal aku tidak bisa merasakan lagi pelukan hangat seorang ibu…”

Lalu Yuniar menceritakan pengalaman masa kecilnya. Bahwa ketika pulang dari sekolah, ia ikut ke rumah temannya. Begitu temannya tiba di rumah, temannya disambut dengan pelukan dan ciuman ibunya. Sering Yuniar melihat temannya diperlakukan sepoerti itu oleh ibunya. Sementara Yuniar sendiri?

Yuniar tidak pernah dimarahi apalagi dipukul oleh ibu tirinya. Tapi Yuniar tidak pernah dipeluk dan diciumi seperti perlakuan ibu kandung terhadap teman Yuniar itu. Padahal waktu ibu kandungnya masih hidup, Yuniar selalu disambut dengan pelukan dan ciuman sayang juga, seperti temannya itu.

Itulah sebabnya Yuniar menganggap sebaik - baiknya ibu tiri, takkan sebaik ibu kandung.

Selain daripada itu, ada hal yang tidak disukai oleh Yuniar. Pada waktu ibunya masih hidup, ayah Yuniar selalu dominan sebagai pemimpin di rumahnya. Tapi setelah ibunya meninggal dan ayahnya kawin lagi, keadaan menjadi sebaliknya. Ibu tirinya yang kelihatan berkuasa di rumahnya. Dalam hal apa pun ayahnya selalu mengalah.

Semua itu diamati oleh Yuniar sejak kecil sampai dewasa.

“Mungkin hal itulah yang membuatku jarang tersenyum, apalagi ketawa,” ucap Yuniar di akhir penuturannya. “Tapi sejak saat ini aku akan berusaha berubah, karena aku sudah jadi milikmu… cowok yang kudambakan sejak semester pertama waktu masih kuliah dahulu.”

“Apakah kamu merasa bahagia setelah menjadi milikku sekarang.” tanyaku sambil mendekap pinggang Yuniar.

“Sangat bahagia. Nih lihat… apa yang Bona inginkan sudah kulakukan,” kata Yuniar sambil melepaskan celana pendeknya. Lalu berlutut di lantai sambil melepaskan celana dalamnya.

‘Sudah bersih sekarang kan?” Yuniar menatapku dengan senyum manis. Sementara aku terlongong setelah memperhatikan memeknya yang sudah bersih dari jembut. Bersih sekali.

“Hahahaaaa… “aku tergelak - gelak ketawa, sambil mendekap pinggangnya. Lalu mengangkatnya ke atas bed.

“Kalau sudah bersih begini, enak jilatinnya,” kataku sambil mengusap - usap memek Yuniar yang sudah bersih plontos itu. “Tapi aku mau mandi dulu ya. Kamu sudah mandi?”

“Sudah dari tadi, begitu bangun langsung mandi. Ohya… itu ada toaster dan rotinya juga. Mau dibikinin roti bakar buat sarapan?”

“Boleh,” sahutku, “tapi yang terpenting harus ada kopi. Kopi hitam aja, jangan pakai apa - apa lagi.”

“Gula sih pakai kali ya?”

“Jangan. Aku senang kopi pahit Sayang.”

“Mmmm… bahagianya hatiku kalau sudah dipanggil sayang sama kamu Bon… “Yuniar memejamkan matanya sambil mengelus - elus telapak tanganku.

“Ya udah aku mau mandi dulu ya,” ucapku sambil turun dari bed.

“Iya, aku mau nyiapkan sarapan buat pangeranku,” sahut Yuniar sambil turun dari bed juga.

Sementara aku langsung masuk ke dalam kamar mandi.

Pada waktu sedang mandi, aku memikirkan masalah Yuniar itu. Sebenarnya dia sudah memenuhi kriteriaku untuk menjadi calon istriku. Terlebih lagi kalau aku mengingat pepatah, “Carilah pasangan yang mencintaimu, jangan hanya sekadar yang kamu cintai…”

Dan aku percaya bahwa Yuniar sangat mencintaiku. Tapi aku tak mau terburu - buru. Aku belum tahu karakter dia yang sebenarnya. Latar belakang keluarganya pun harus kuselidik dahulu lebih jauh. Karena sekalinya aku melangkah maju, pantang untuk surut lagi ke balakang.

Selesai mandi dan berpakaian casual, aku duduk di atas sofa ruang keluarga. Karena roti bakar keju dan secangkir kopi panas sudah dihidangkan di situ.

Tak lama kemudian Yuniar pun muncul dan duduk merapat ke samping kiriku, dengan senyum manis di bibir sensualnya lagi. Mungkin dia sedang melatih untuk tersenyum terus manakala berdekatan denganku.

Lalu ia merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, sambil berkata setengah berbisik, “Abis sarapan, main lagi ya.”

“Main apa? Pengen dientot lagi?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.

“Iya. Kan jembutku sudah dicukur abis. Harus dicobain apa bedanya berjembut dengan tidak.”

“Buatku sih yang berjembut dan yang botak punya kelebihan masing - masing. Jadi… sama aja enaknya.”

“Pasti ada bedanya lah.”

“Mmm… kalau digundulin, memang enak ngejilatinnya. Kalau gondrong kan bisa ada jembut bisa nyangkut di gigi.”

“Hihihiiii… pengen nyobain kayak apa sih memek dijilatin…”

“Dahulu orang bule banyak yang pelihara anjing, lalu dilatih untuk menjilati memek majikannya. Tapi sekarang manusia yang jilatin memek,” kataku sambil menarik pinggang Yuniar, agar dia duduk di atas kedua pahaku.

Setelah Yun duduk di atas pangkuan, tanganku langsung menyelinap ke balik celana pendeknya yang longgar dan… langsung menyentuh memeknya yang baru habis dicukur itu.

“Bekas kemaren sore, sakit nggak?” tanyaku.

“Nggak, “Yuniar menggeleng.

“Hebat. Kamu memang bukan cewek cengeng.”

Lalu aku bangkit sambil membopong tubuh Yuniar, menuju ke dalam kamar.

Ketika aku mulai menjilati memeknya, Yuniar pun mulai menggeliat - geliat. Sambil meremas - remas kain seprai yang baru diganti olehnya dengan kain seprai bersih pada waktu aku sedang mandi tadi.

Terlebih ketika aku mulai menjilati itilnya, Yuniar pun mulai mengusap - usap rambutku sambil mendesah - desah, “Booon… aaaaaa… aaaaah… Booon… dijilatin gini… fantastis sekali Booon… sama aja enaknya dengan dientot… aaaaa… aaaaah… Booonaaaa… aku… aku jadi semakin dalam mencintaimu Booon …

Aku semakin gencar menjilati itilnya sambil sesekali kusedot - sedot bagian yang cuma sebesar kacang kedelai itu.

“Adududuuuuhhh… Boooon… kok rasanya aku… aku mau orgasme Booon… gimana Boon?’ ri ntih Yuniar pada suatu saat.

“Lepasin aja… kalau mau orgasme… lepasiiin…” ucapku sambil menghentikan jilatanku. Tapi lalu menjilati itilnya kembali lebih lahap… juga kusedot - sedot, sampai itilnya kelihatan agak “mancung”.

“Boonaaaaa… Bonaaaaa… aaaaaaaaah… Booonaaaa… “Yuniar memekik - mekik tertahan, sambil mengepak - ngepak kasur, seperti burung patah sayapnya, ingin terbang tapi tak bisa.

Yuniaar berkelojotan. Sampai akhirnya ia mengejang tegang. Pada saat yang sama, kubenamkan kontol ngacengku ke dalam liang memeknya… blesssss… aku memang ingin merasakan nikmatnya menghayati liang memek yang sedang orgasme.

Pada saat itulah Yuniar meremas p- remas bahuku sambil menahan nafasnya. Kemudian kurasakan liang memeknya berkedut - kedut erotis. Nikmat… nikmat sekali merasakan liang memek yang tengah bergerak - gerak spontan seperti ini.

“Oooooh… Booonaaaa… kok baru dijilatin aja luar biasa enaknya Bon…”

“Terus, gak pengen dientot sama kontolku?” tanyaku sambil mempermainkan pentil toket Yuniar.

“Maaauuu… tapi sebentar… istirahat dulu… masih pada ngilu - ngilu nih… mmm… sekujur tubuhku sudah menjadi milikmu… hatiku juga sudah menjadi milikmu. Tapi… bisakah Bona menjadi milikku?”

“Bisa… tapi aku punya banyak perempuan yang menyangkut bisnisku. Sehingga aku harus membagi waktu dengan semuanya.”

“Perempuan menyangkut bisnismu?”

“Iya. Aku takkan seperti ini kalau tidak ada mereka. Kamu mengerti apa maksudku kan?”

“Iya, iya, iyaaa… gak apa - apa. Aku hanya ingin nikah siri denganmu, lalu hamil… aaaah… betapa bahagianya hatiku kalau bisa mengandung anakmu kelak.”

“Bisa… itu bisa. Memangnya kamu sudah siap untuk menjadi seorang istri dan seorang ibu?”

“Kalau sama kamu… aku sangat siap menjadi seorang istri Bon.”

“Meski pun kamu bukan satu - satunya istriku?”

“Iya. Yang penting aku bisa ikut memilikimu seumur hidupku…”

Tiba - tiba handphone Yuniar berdering, sehingga memutuskan percakapan kami berdua.

Dengan susah payah Yuniar meraih hanphone yang tergeletak di atas meja kecil dekat bed, sementara kontolku masih menancap di liang memeknya dan belum digerakkan sama sekali.

Begitu melihat layar ponselnya, Yuniar berseru perlahan, “Dari Mama…!”

“Dari mama tirimu?” tanyaku.

“Iya. Gimana ya? Angkat jangan?” tanya Yuniar tampak bimbang.

“Terima aja. Keluarin suaranya biar aku bisa ikut dengar,” kataku, “Bilang aja kamu sedang bersama calon suamimu.”

Sambil celentang, dengan memek masih menjepit konyolku, Yuniar membuka call dari ibu tirinya itu.

“Hallo Mam…”

“Yun… kamu sebenarnya di mana sekarang?”

“Jauh dari kampung Mam.”

“Iya di mana? Kamu gak sayang ya sama mama dan papamu? Sekarang Papa sakit tuh, gara - gara kamu kabur dari rumah.”

“Iya, tapi kalau Papa dan Mama berkeras mau menjodohkanku dengan lelaki tua bangka itu, aku takkan mau pulang. anggap aja aku sudah mati Mam.”

“Sayang… kamu gak boleh ngomong gitu. Soal rencana perjodohanmu itu, biar nanti mama yang desak Papa supaya jangan memaksamu. Sekarang katakan dong, di mana kamu berada? Mama akan menyusulmu, karena mama kuatir… takut terjadi apa - apa padamu.”

“Aku di rumah calon suamiku Mam.”

“Calon suami siapa? Kok tiba - tiba kamu mengaku punya calon suami segala?”

“Iya Mam. Dia siap untuk menikah denganku, asalkan lewat nikah siri dulu. Karena dia juga sudah dijodohkan oleh orang tuanya, tapi dia inginnya menikah denganku.”

“Kalau mama boleh tau, siapa calon suamimu itu? Apa pekerjaannya?”

“Dia bossku Mam. Pemilik perkebunan yang sedang kugarap itu.”

“Ohya?! Bisa mama ngomong sama dia sekarang?”

Yuniar menatapku sambil memberi isyarat, seolah bertanya apakah aku mau menerima keinginan mama tirinyua untuk berbicara denganku?

Aku mengangguk sambil menengadahkan telapak tanganku. Yuniar pun meletakkan hapenya di telapak tanganku. Lalu aku berkata di dekat handphone Yuniar, “Selamat pagi Bu.”

“Pagi. Maaf ya… apa benar yang berbicara ini pemilik perkebunan tempat Yuniar bekerja?”

“Betul. Ada yang bisa kubantu?”

“Anda kan tadinya teman kuliah Yuniar. Betul?”

“Betul.”

“Bisakah Anda menjawab secara gentleman, di mana sekarang Anda dan Yuniar berada?”

“Di Jogja Bu.”

“Bisa aku ke tempat Anda untuk menemui Yuniar besok?”

“Kalau niat Ibu baik, silakan. Kami akan menerima kedatangan Ibu dengan kedua tangan terbuka.”

“Tentu aja dengan niat baik. Besok aku akan ke Jogja. Bisa Anda dan Yuniar menjemput di stasiun kereta api?”

“Bisa. Telepon aja kalau keretanya sudah dekat Jogja.”

Sepertinya aku sudah bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Yuniar. Tapi Yuniar malah menatap langit - langit kamar sambil berkata, “Kalau mau jemput ke stasiun, bisa Bona sendiri aja yang jemput?”

“Lho kenapa gitu?” tanyaku heran.

“Aku takut Papa datang… bawa teman - temannya yang biasa mendukung di belakang. Lalu aku dibawa dengan paksa ke Madiun. Kalau bisa, aku sih dimunculkan setelah keadaan benar - benar udah clear aja Bon.”

“Kalau mau clear sekali, kamu ngumpet di kantorku aja. Di ruang kerjaku ada bed dan kamar mandi segala. Gimana?” tanyaku.

“Iya, itu lebih baik. Nanti kalau sudah benar - benar clear, call aku aja. Dan aku akan secepatnya ke sini.”

“Iya. Nanti bilang aja kamu lagi ada tugas yang harus diselesaikan dulu di luar kota. Terus kasihkan nomor hapeku ke ibu tirimu. Ohya… nama ibu tirimu itu siapa?”

“Fience. Kalau Papa sih manggilnya Fien aja.”

Obrolan serius itu, membuat kontolku melemas sendiri di dalam liang memek Yuniar. Tapi kupaksakan juga agar ngaceng kembali.

Memang berhasil tegang dan siap tempur lagi. Tapi suasana perasaan masih galau, sehingga aku tidak bisa menikmati persetubuhan ini secara sempurna.

Biarlah, yang penting sudah ngecrot. Lalu aku turun dari tempat tidur, dengan pikiran masih bercampur aduk.

Keesokan harinya, pagi - pagi sekali Yuniar mendapat call dari ibu tirinya, mengatakan bahwa sang Ibu Tiri sudah berada di jalan menuju Jogja. Pada saat itulah Youniar berkata, bahwa ada masalah pekerjaan yang mendadak dan membuatnya harus ke luar kota. Lalu nanti yang akan menjemput ke stasiun adalah aku.

Kemudian kuantarkan Yuniar ke kantor.

“Nah di balik partisi itu ada bed buat istirahat. Kamar mandi dan toilet juga ada. Kalau mau makan, suruh pelayan kantor menyediakannya,” kataku setelah berada di ruang kerjaku.

“Bona mau pergi sendirian ke stasiun?”

“Aku akan bawa beberapa orang petugas security. Tapi mereka pakai mobil lain. Mereka hanya ditugaskan mengawal di stasiun aja. Kalau kelihatan aman, mereka akan kusuruh meninggallkan stasiun lagi.”

Setelah berunding sebentar dengan Yuniar, aku pun kembali ke sedan hitamku dan menjalankannya ke arah stasiun Tugu. Diikuti oleh mobil security di belakang.

Seolah mau “show of force”, sengaja aku membawa 12 orang security berseragam hitam - hitam semua. Jadi seandainya ayah Yuniar datang dan membawa teman - temannya, aku pun sudah siap dengan membawa “pasukan”ku.

Tapi ternyata semuanya itu seperti komedi belaka. Karena kebetulan penumpang yang keluar dari pintu kedatangan hanya beberapa orang. Kebanyakan wanita tua semua. Hanya seorang wanita muda di antara mereka, yang mengenakan blazer dan rok span biru tua, dengan blouse putih di dalamnya. Cocok seperti laporan Yuniar tadi, bahwa ibu tirinya mengenakan blazer dan spanrok biru tua dengan blouse putih di baliknya.

Spontan aku menghampirinya dan bertanya, “Maaf… Ibu Fience?”

“Iya,” sahut wanita 30 tahunan itu sambil tersenyum, “Ini Bona?”

“Betul Bu,” sahutku sambil menjabat dan mencium tangannya, sebagaimana layaknya seorang calon menantu kepada calon mertuanya, meski calon mertua itu terlalu muda.

“Waduuuuh… pantesan Yuniar gak mau dijodohkan. Ternyata pacarnya begini gantengnya… “Bu Fien merangkul dan menciumi sepasang pipiku. Membuatku jadi salah tingkah. Apalagi kalau mengingat adanya para petugas security yang berderet di belakangku.

Kemudian salah seorang petugas security kuperintahkan untuk membawa kopor pakaian yang dibawa oleh ibu tiri Yuniar itu ke dalam bagasi sedan hitamku.

Bu Fience yang berkulit sawomatang dan berbibir sensual itu terlongong melihat para pengawalku dan sikap mereka sedemikian hormatnya padaku.

Namun setelah koper Bu Fience sudah dimasukkan ke dalam bagasi sedan hitamku, kusuruh para petugas security itu kembali ke kantor. Sementara aku membukakan pintu sedan hitamku yang di depan sebelah kiri, kemudian kupersilakan Bu Fience masuk ke dalamnya.

Setelah ibu tiri Yuniar duduk di dalam mobil, bergegas aku masuk ke belakang setir.

Begitu mobil kujalankan, ibu tiri Yuniar itu mulai berkicau. “Pantesan Yuniar dibelain lari dari rumah setelah mendengar akan dijodohkan dengan orang. Ternyata pacarnya ganteng sekali. Hihihihiiii… makanya kamu harus berbaik - baik sama mama ya. Karena papanya Yuniar bisa mama kendalikan. Kata mama hijau, ya hijau pula dia.

“Iya,” sahutku, “aku akan berusaha untuk sebaik mungkin kepada Ibu.”

“Panggil mama aja, jangan ibu - ibuan ah.”

“Iya Mam,” sahutku.

“Duh dipanggil Mam sama kamu… kalau lagi berdua begini sih aku juga mau manggil Pap sama kamu ya Bon.”

“Hahahaaa… ya suka - suka Mama lah,” sahutku dengan perasaan yang ganjil menyelinap ke dalam batinku. “Mama mau makan dulu?”

“Nggak ah masih kenyang. Tadi makan di kereta api. Ohya… Yuniar pulang ke Jogja lagi kapan?”

“Paling juga besok pagi baru pulang mam.”

“Terus di rumah ada siapa aja?”

“Nggak ada siapa - siapa. Rumah itu belum lama kubeli. Sebenarnya rumahku di sebelah utara Solo, masih jauh lagi. Rumah di Jogja sih hanya untuk tempat istirahat aja Mam.”

“Berarti nanti hanya kita berdua aja di rumah itu?”

“Iya Mam. Sampai besok pagi hanya kita berdua di rumah itu.”

“Asyik dong… kamu bisa nemenin mama tidur kan?”

“Takut Mam.”

“Takut apa?”

“Takut nggak kuat nahan nafsu. “ “Hihihihiiii… emwuaaaaah… “Mama Fien ketawa yang berujung dengan kecupan hangat di pipi kiriku, “Memangnya mama masih menarik di matamu?”

“Masih menarik. Mama item manis dan seksi,” sahutku nyeplos begitu saja.

“Syukurlah. Kirain mama gak menarik lagi di mata cowok semuda dan seganteng kamu. Jadi mama bisa menjalankan rencana.”

“Rencana apa?”

“Rencana agar kita kompak. Sementara masalah papanya Yuniar, mama yang jamin. Pernikahan kalian akan berjalan lancar.”

“Tapi aku hanya bisa nikah siri Mam. Soalnya aku…”

“Sudah dijodohkan sama orang tua?” potong Mama Fien, “Kan Yuniar juga udah ngasih tau masalah itu.”

Aku tidak menanggapi karena sedang membelokkan mobil ke depabn garasi rumahku.

“Ini rumahmu?” tanya Mama Fien.

“Iya Mam. Masih banyak yang harus direnovasi, tapi belum sempat.”

“Waaaah… rumah segede dan semegah gini, mau direnovasi apanya lagi?”

“Di lantai dua, direnovasi oleh pemilik lamanya. Belum selesai keburu butuh duit lalu dijualnya padaku. Tapi di lantai bawah sih sudah lumayan rapi.”

Lalu wanita bertubuh tinggi langsing berkulit sawomatang itu masuk ke dalam rumahku.

“Nanti setelah nikah Yuniar akan tinggal di rumah ini?” tanyanya sambil memandang ke sekeliling ruangan demi ruangan yang dilewatinya.

“Proyeknya kan di Jawa Timur. Jadi mungkin hanya hari - hari weekend aja dia bisa tinggal di rumah ini. Nah… ini kamar untuk Mama tempati selama tinggal di Jogja.”

“Berarti kalau mama mau ke sini, harus di hari - hari yang bukan weekend ya. Supaya tidak bentrok waktunya dengan Yuniar. Hihihihiiii… “Mama Fien ketawa cekikikan sambil mendekap pinggangku dari belakang.

Aku semakin mengerti apa yang dipikirkan oleh ibu tiri Yuniar yang manis dan lincah itu.

“Jadi Mama ingin ketemu sama aku secara rutin?”

“Iya… entah kenapa… begitu melihat Bona, mama jadi kesengsem Bon… sambil membayangkan betapa indahnya kalau… ah… malu mengatakannya…”

“Kalau apa Mam?”

“Kalau didekap dan digumuli oleh anak muda seganteng Bona…” sahutnya agak bergetar.

Aku pun berpikir dengan cepat. Bahwa tiada salahnya kalau aku dekat dengan ibu tirinya Yuniar ini, meski mungkin mengandung resiko kalau ketahuan oleh Yuniar nanti.

Dan aku tak mau munafik, bahwa sejak melihatnya di stasiun Tugu tadi, aku sudah tertarik pada Mama Fien ini. Terutama kulitnya yang berwarna kecoklatan itu, memang sudah lama kuidam - idamkan. Karena perempuan - perempuan yang punya hubungan rahasia denganku, termasuk Mama dan Mamie, berkulit putih bersih semua (putih untuk ukuran bangsaku).

“Kalau diizinkan, mama pengen mandi dulu, boleh?”

“Tentu aja boleh. Apa mau kutemani mandinya biar bisa gantian menyabuni.”

“Aaaaaw… ayoooo… justru mama seneng kalau Bona mau mandi bareng… biar bisa saling selidik sekujur tubuh kita… bisa saling menyabuni dan aaaah… ayo Bon… di mana kamar mandinya?”

“Kamar yang kuberikan untuk tempat istirahat Mama itu ada kamar mandinya Mam. Ohya… kopernya ketinggalan di mobil ya. Sebentar… kuambilin dulu… !”

Aku bergegas menuju mobilku, membuka tutup bagasi dan mengeluarkan koper pakaian Mama Fience. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah dan menghampiri Mama Fien yang sudah berada di kamar yang sudah kuperuntukkan baginya itu.

“Ini kopernya Mam,” kataku sambil meletakkan koper berwarna orange itu di atas meja kecil yang fiapit oleh dua sofa.

“Oh, iya… terima kasih Bona ganteng,” sahut Mama Fien yang disusul dengan kecupan hangat di pipiku. Maka kali ini aku yang merengkuh lehernya, untuk memagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatan hangatku.

Mama Fien pun bereaksi, dengan meremas - remas bahuku sambil balas melumat bibirku.

“Jadi kita udah sepakat nih?” tanya Mama Fien sambil menanggalkan blazer dan spanroknya yang serba biru tua.

“Bahwa kita akan menjalin hubungan rahasia?”

“Iya… cerdas sekali bossnya Yuniar yang bakal jadi calon mantuku ini,” ucapnya sambil menanggalkan blouse putihnya. Maka tinggal celana dalam dan beha yang serba putih masih melekat di badannya.

Pada saat itulah aku bergerak ke belakang Mama firn, lalu mendekapnya dari belakang. Terasa hangat pinggang ibu tiri Yuniar ini. Tapi tujuanku bukan hanya sekadar ingin mendekap pinggangnya, karena tanganku dengan cepat menyelusup ke balik celana dalam putihnya.

‘Aaaaw… langsung megang tempik… !” seru Mama Fien yang tidak berusaha menepiskan tanganku dari balik celana dalamnya. Berarti dia juga ingin agar aku menyentuh memeknya yang ternyata tidak berjembut sama - sekali ini.

Yuniar kalah sama ibu tirinya ini. Waktu pertama kali aku menyentuh memeknya, masih ditumbuhi jembut. Baru besoknyalah jembut itu dicukur bersih.

Rambut di kepalanya pun Yuniar kalah satu langkah. Yuniar masih mempertahankan warna rambut aslinya yang hitam legam. Sementara rambut Mama Fience ini, diselang - seling warna hitam dengan warna cokelat.

“Ayo ah sambil mandi mendingan juga. Nanti di kamar mandi tempik mama mau diapain juga silakan…” kata Mama Fien sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. Kemudian ia membuka koper pakaiannya. Dan mengeluarkan peralatan mandinya, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi. sementara aku sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhku di luar kamar mandi.

Lalu aku ikut masuk ke dalam kamar mandi yang bersatu dengan kamar tidur untuk ibu tiri Yuniar itu.

Begitu aku masuk ke dalam kamar mandi, Mama Fien langsung memamerkan memeknya sambil berkata, “Nih tempikku sing arep tak kei karo sampeyan… ‘

“Mboten ngertos Mam. Kulo sanes tiang jawi,” sahutku.

“Nah itu bisa ngomong halus.”

“Yah… belajar sedikit - sedikit, karena aku lahir dan besar di Jogja. Tapi aku memang bukan orang sini Mam.”

“Sama dong. Mama juga bukan orang Jawa. Papa dan almarhumah ibu kandungnya Yuniar juga bukan orang Jawa. Semuanya berasal dari seberang, tapi pada besar di pulau Jawa.”

Pada waktu Mama Fien ngomong itulah, diam - diam kulepaskan celana dalamku. Kemudian kutarik tangan wanita itu dan kutempelkan telapaknya di kontolku yang langsung ngaceng begitu melihat memek Mama Fien barusan.

“Wooooow…! “Mama Fien memegang kontolku dengan mata terbelalak, “Kok ada ya kontol yang segede dan sepanjang ini…?! Kebayang kalau sudah dimainkan di dalam memekku nanti… !”

“Ayolah kita mandi. Setelah mandi kita mau ngewe kan?”

“Iya Sayang… iyaaa… hihihiiiii… senengnya hati mama punya calon mantu yang pengertian gini… “Mama Fien memutar kan shower utama yang lalu memancarkan air hangat dari atas kepalanya. Aku pun ikutan berdiri di bawah pancaran air hangat shower, sambil memeluk dan menciumi bibirnya yang benar - benar sensual itu.

Rasanya aku merasa bisa “sambil menyelam minum air”.

Sambil bertualang, akan mendapatkan dukungan Mama Fien untuk dijadikan menantunya kelak.

Dan yang jelas, setelah mandi dan mengeringkan badan kami, Mama Fien duluan keluar dari kamar mandi, dengan hanya membelitkan handuk di tubuh seksinya.

Goresan baru akan mengisi lembaran kehidupanku yhang memang senang bertualang ini…

Mama Fience memang eksotis. Hitam manis dengan bibir yang sensual, membangkitkan gairahku untuk sering - sering mencium bibirnya.

Dan ketika aku yang sudah telanjang lagi ini baru naik ke atas bed, Mama Fien menyambutku dengan rangkulan hangatnya, dengan senyum manis di bibir sensualnya.

Aku pun menerkamnya dengan sepenuh gairahku. Menciumi bibir sensualnya sambil meremas toketnya yang tidak sekencang toket Yuniar, tapi masih sangat enak untuk diremas.

Mama Fien pun mendekap pinggangku erat - erat, seolah takut kalau aku menjauh. Namun target utamaku kali ini adalah ingin menjilati memeknya yang masih tampak “terkatup” itu. Masalahnya, aku sudah sering menjilati memek yang putih dan “isian”nya berwarna pink. Dan aku ingin merasakan sejauh apa bedanya dengan memek wanita yang warna kulitnya lebih gelap daripada kulit Yuniar ini.

Maka tak lama kemudian aku melorot turun. Mengemut pentil toketnya sejenak, lalu melorot lagi untuk menjilati pusar perutnya.

Dan akhirnya mulutku sudah berada tepat di atasa memeknya yang berwarna lebih gelap namun masih terkatup rapat. Ketika kedua tanganku mengangakan bibir luar memek Mama Fien, tampak bagian dalamnya seperti merah darah… merah membara yang sangat merangsang birahiku.

Lalu ujung lidahku mulai menjilati bagian yang merah membara itu dengan sepenuh gairah birahiku.

Mama Fien pun mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas kain seprai.

Ini membuatku semakin bergairah, ingin agar mama Fien klepek - klepek, lalu ketagihan dan jadi kompak denganku untuk meluluhkan hati suaminya. Agar menyetujui pernikahan siriku dengan Yuniar.

Jadi, sebenarnya aku melakukan semua ini demi ketenangan Yuniar juga. Agar dia bisa bekerja kembali sebagai manager pelaksana replanting perkebunan di lahan punya Mamie itu.

Dan kini aku sudah fokus untuk menjilati dan menyedot - nyedot itil Mama Fien, membuat wanita hitam manis itu semakin mengeliat - geliat disertai dengan desahan dan rengekan erotisnya, “Aaaa… aaaaah… Booonaaaaa… ini luar biasa enaknya Booon… ternyata kamu jauh lebih pandai daripada papanya Yuniaaar …

Mama Fience sudah bukan perawan lagi. Karena itu aku tak perlu berlama - lama menjilati memeknya. Yang penting mulut memeknya sudah basah.

Maka aku pun meletakkan moncong kontolku di mulut memek ibu tiri Yuniar itu.

Spontan Mama Fience merenggangkan sepasang pahanya. Sehingga aku pun langsung mendorong kontol ngacengkusekuat mungkin. Dan… kontolku mulai amblas ke dalam liang memek ibu tiri Yuniar… blessss… disambut dengan rengkuhan di leher dan ciuman yang nyelepot di bibirku.

Aku pun mulai mengentotnya perlahan - lahan dulu… menimbulkan erangan perlahan dari mulut Mama Fience, “Ooooohhhh… akhirnya bisa juga mama merasakan enaknya kontol sekeras dan segede ini… kontol anak muda yang masih sempurna ngacengnya… entotlah selama mungkin ya Booon…”

Sambil meremas toketnya yang berukuran sedang dan masih sangat kenyal untuk kuremas, aku pun mulai mempercepat entotanku. untuk mulai membuktikan bahwa memek wanita berkulit sawomatang ini legit sekali rasanya.

Mama Fience pun menyambut entotanku dengan goyangan pinggulnya, yang begitu lincah memutar - mutar dan meliuk - liuk. Sehingga kontolku serasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memek legitnya.

“Mama… ughhhh… memek Mama legit banget…” ucapku terengah.

“Kontolmu juga luar biasa enaknya… ereksinya sempurna… maklum kontol anak muda… entot teruys Bon… entooooooottttttt… entoooooottttttt… iyaaaaa… iyaaaaaa… baru sekali ini mama merasakan dientot yang begini enaknya Booon… entoooottttt… entooootttttt…”

Goyangan pinggul Mama Fien pun semakin lincah, memutar - mutrar dan meliuk - liuk. terkadang bokongnya menghempas - hempas ke atas kasur, sehingga itilnya seolah disengaja untuk bergesekan dengan badan kontolku. Dan mungkin memang disengaja. Agar bagian yang terpeka di kemaluannya itu senantiasa bergesekan dengan kontolku.

Namuin hal itu membuatnya cepat orgasme.

Ya, baru belasan menit aku mengentot liang memek legit Mama Fien ini, tiba - tiba dia berkelojotan sambil berdesah - desah. Dan… dia mengejang sambil menahan nafasnya, sambil mencengkram sepasang bahuklu dan meremasnya kuat - kuat. Disusul dengan geliat liang memeknya yang sedang berkedut - kedut kencang, pertanda sedang melepaskan lendir libidonya.

Namun aku seolah tak mau memberi ampun padanya. Kontolku tetap kuayun. Maju mundurt dengan gencarnya di dalam liang memek yang sudah becek itu. Sementara Mama Fience terkapar lunglai, sambil memejamkan matanya. Goyangan pinggulnya pun terhenti beberapa saat.

Namun pada suatu saat Mama Fience membuka kelopak matanya. Sepasang mata bundar bening itu pun menatapku sambil menyunggingkan senyum di bibir sensualnya.

“Mama udah orgasme barusan. Tapi kamu belum apa - apa ya. Ayolah mama ladeni. Sekarang udah hilang ngilu - ngilunya,” kata Mama Fience sambil menggeolkan kembali pantatnya, laksana penari perut dari Timur Tengah yang jauh lebih hot daripada penari di negaraku.

Tapi Mama Fience tidak tahu kemampuanku yang sebenarnya. Dia juga tidak tahu bahwa aku akan memamerkan keperkasaanku yang semoga jauh melebihi lelaki mana pun yang pernah menggaulinya.

Aku mengentotnya habis - habisan. Sampai badanku mulai bercucuran keringat. Mamie Fien orgasme dan orgasme lagi, dalam bermnacam - macam posisi, dengan tubuh yang sudah basah oleh keringatnya bercampur aduk dengan keringatku. Namun aku masih teguh mengentot ibu tiri Yuniar itu tanpa ampun.

Sampai pada suatu saat, aku mendengar bunyi denting handphoneku… triiiing…!

Aku tahu bahwa itu bunyi WA dari Yuniar. Karena tone notifications-nya kubedakan dengan WA dari yang lain.

Maka aku pun konsentrasi pada legit dan nikmatnya liang memek Mama Fience meski sudah becek karena sudah berkali - kali orgasme dalam entotanku.

Maka pada suatu saat aku pun mulai tiba di detik - detik krusialku. Dan bertanya, “Lepasin di mana Mam?”

“Udah mau n gecrot? Owhhh… lepasin di dalam aja. Barengion sama mama… ini mama juga udah mau orgasme lagi… ayo barengin Bon… biar nikmat…”

Lalu pinggul Mama Fience pun bergoyang gila - gilaan, untuk menyambut datangnya puncak nikmat yang ingin kami capai secara bersamaan itu.

Ketika puncak nikmat itu kami capai secara bersamaan, kami jadi seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Mata sama - sama melotot, sambil saling cengkram dan saling remas, seolah ingin saling meremukkan tulang di dalam tuibuh kami.

Lianbg memek Mama Fien berkedut - kedut lagi, disambut dengan tembakan lendir kenikmatan dari moncong kontolku yhang mengejut - ngejut juga… croooottt… crooottttt… croootttt… crooootttt… crotttt… croooottttt…!

Lalu kami sama - sama terkulai lunglai. Perahu birahi pun terdampar di pantai, bernama pantai kepuasan…

Mama Fien tampak tepar. Seolah tgak peduli lagi apa yang sedang terjadi selanjutnya. Sementara aku sudah sangat penasaran ingin membaca WA dari Yuniar itu.

Setelah mencabut kontolku dari liang memek Mama Fience, bergegas aku menuju kamar mandi setelah mengambil handphoneku dari atas meja kecil di depan sofa.

Di kamar mandi, sambil kencing kubuka WA dari Yuniar itu. Ternyata isinya agak panjang :- Bona Sayang, bagaimana suasananya? Baik - baik aja? Aku punya saran, agar Mama berpihak kepada kita, gauli aja dia Bon. Kalau sudah kamu gauli, pasti dia akan bergabung dengan kita untuk melunakkan hati Papa. Lagian dia sangat dominan menguasai Papa. Apa pun yang dikatakannya kepada Papa nanti, pasti disetujui oleh Papa. Rayu aja dia Bon. Rayu sampai kamu bisa menggaulinya ya Sayang -

Aku tersenyum sendiri. Ternyata Yuniar punya pikiran yang sama denganku. Tapi aku masih berpura - pura bego. Lalu kubalas WA itu dengan :

- Memangnya kamu tidak cemburu kalau aku sampai bisa menggauli Mama? -

Yuniar :-Nggak Bon. Kita kan punya tujuan untuk melicinkan jalan kita ke depannya -

Aku: -Kalau kelak dia ketagihan gimana?-

Yuniar :- Ya kasih aja. Gakpapa. Demi lancarnya rencana kita, aku harus berkorban kan? -

Aku :- Oke deh. Aku akan berusaha merayunya ya. Mudah - mudahan aja dia mau. Kamu mau pulang kapan? -

Yuiniar: - Terserah instruksi darimu. Kapan pun aku siap pulang, asalkan situasinya sudah aman dan terkendali. Hihihihi… kayak polwan aja -

Aku :- Oke, kalau gitu kamu pulang besok pagi aja ya -

Yuniar :- Siap Boss. Selamat ena - ena sama mama tiriku yang item manis itu yaaa. Aku bakal bangga kalau kamuj berhasil mendapatkan Mrs. V Mama. -

Aku tersenyum sendiri. Karena aku berhasil mengelabuinya. Aku seolah - olah belum menyetubuhi Mama Fien. Padahal sejak dua jam yang lalu aku telah membuat Mama Fien klepek - klepek dan membuatnya berkali - kali memekik di puncak orgasmenya.

Dan aku menyuruh Yuniar pulang besok pagi, karena aku punya rencana untuk mengentot Mama Fien menjelang fajar menyingsing nanti…

Tapi ketika aku mendapatkan panggilan dari Tante Tari, aku harus mengesampingkan segalanya. Karena meski pun tidak ada tulisan hitam di atas putih, Tante Tari itu adalah bossku dalam bisnis yang sedang kutekuni sekarang ini.

Karena itu, setelah yakin bahwa di antara Yuniar dan ibu tirinya baik - baik saja, aku pun melarikan mobilku menuju rumah Tante Tari, sambil membawa laporan bulanan dari bank - bank di mana dana Tante Tari kusimpan dan kukembangkan.

Tante Tari senang sekali ketika kuperlihatkan jumlah dana yang mengendap di beberapa bank. Yang nominalnya sudah dua kali nominal saldo awal, yakni ketika Tante Tari menyerahkan semua saldo di 5 bank pilihannya. Berarti dalam setahun aku sudah berhasil meraih 100% keuntungan. Dana Tante Tari sudah jadi dua kali lipat jumlahnya.

“Aku sudah menduga bahwa prestasimu luar biasa. Makanya aku menyerahkan sepenuhnya padamu Bon. Uruslah semuanya, aku sudah seratus persen percaya padamu. Kalau ada keperluan apa - apa, pakailah dana itu. Karena sekarang dana itu sudah milik kita bersama,” kata Tante Tari.

“Iya Tante,” sahutku, “Tapi selama ini Tante kok belum pernah minta duit padaku. Kan Tante juga banyak kebutuhan.”

“Kan aku sudah bilang, bahwa sebelum bercerai, mantan suamiku berjanji untuk tetap mentransfer duit untuk kebutuhanku. Itu akan dilakukannya terus sampai aku menikah lagi. Sampai saat ini aku kan belum menikah secara resmi. Padahal… heheheee… kasitau jangan yaaaa…?”

“Soal apa Tante?” tanyaku heran.

Tante Tari membisiki telingaku, “Kemaren aku memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya… aku mulai hamil. Sekarang sudah lima minggu kandungannya.”

“Wooow! Aku bahagia mendengarnya…! “seruku sambil menciumi pipi dan bibir Tante Tari.

“Kamu harus makin sayang padaku ya.”

“Tentu aja.”

“Meski pun sudah kawin dengan Vivi, kamu harus tetap sayang padaku ya. Meski pun Vivi itu cantik sekali. Pasti aku kalah cantik kalau dibandingkan dengan dia sih.”

“Sebentar dulu… Vivi itu siapa? Kok Tante tiba - tiba bicara soal dia mau menikah denganku segala?” tanyaku bingung.

“Lho… memangnya mamiemu belum pernah bicara soal Vivi sama kamu?”

“Belum. Siapa sih Vivi itu Tan?”

“Tante Surtini yang tinggal di Semarang itu sudah kenal kan?”

“Sudah. Tante Surtini sih sudah kenal waktu dia bertamu ke rumah Mamie.”

“Sama Tante Haryati yang tinggal di Surabaya sudah kenal?”

“Belum. Belum pernah ketemu sama Tante Haryati sih. Nanti kapan - kapan aku dan Mamie mau maen ke rumahnya di Surabaya, supaya aku kenal dengan semua adik Mamie. Nanti dulu… kenapa Tante langsung bicara soal Tante Surtini dan Tante Haryati?”

“Vivi itu anak Tante Surtini. Cantik sekali anaknya Bon. Takkan kecewa deh kamu dijodohkan dengan anak Tante Surtini itu. Tapi Vivi masih sekolah, baru naik ke kelas tiga SMA. Umurnya juga baru tujuhbelas tahun. Kalau pun kamu bersedia dijodohkan dengannya, kamu harus mau menunggu dulu sekitar setahun.

Aku sering ngomong kepada Yuniar dan ibu tirinya bahwa aku sudah dijodohkan dengan pilihan ibuku. Padahal saat itu hanya ngomong asal nyeplos saja. Hanya alasan agar aku tidak menikah secara resmi dengan Yuniar dan cukup menikah secara siri saja (secara diam - diam tentunya, tanpa harus mengundang siapa pun).

Tapi mungkin ucapanku tentang “dijodohkan oleh orang tua” itu dicatat oleh malaikat, sebagai doa dari diriku sendiri. Lalu Mamie akan menjodohkanku dengan anak Tante Surtini yang bernama Vivi itu.

Aku jadi penasaran. Maka pada malam itu juga aku pulang ke rumah Mamie, setelah lebih dari sebulan aku tidak pulang - pulang ke rumah beliau.

Seperti biasa, karena tak kutemukan Mamie di lantai dasar, aku naik lift khusus yang menghubungkan kamarku dengan kamar dan ruang keluarga di lantai tiga.

Ketika aku membuka pintu lift, ternyata Mamie sedang berdiri di depan pintu lift. Dalam gaun tidur berwarna merah, sambil tersenyum ceria dan merentangkan kedua tangannya. Aku pun menghambur ke dalam pelukannya.

“Kenapa lama sekali gak pulang - pulang?” tanya Mamie setelah menciumi sepasang pipiku.

“Iya Mam. Banyak sekali yang harus diurus, terutama untuk mnengurus lahan - lahan Mamie itu. Tapi sekarang yang di pulau Jawa dan Sumatra sudah clear. Tinggal yang di Kalimantan dan Papua yang belum diurus.”

“Yang di Papua, kalau ada yang minat sih jual aja Bon. Ngurusnya berat di ongkos berat di tenaga dan waktu juga.”

“Iya Mam. Nanti dicarikan dulu peminatnya, harus yang sudah terbiasa berbisnis di Papua. Ohya Mam… apa benar Mamie mau menjodohkanku dengan anaknya Tante Surti?”

“Siapa yang ngomong? Tari ya.”

“Betul.”

“Mamie memang punya niat mengenalkanmu pada Vivi. Tapi mamie takkan main jodoh - jodohkan seperti di zaman Siti Nurbaya. Kenalan aja dulu. Kalau cocok dengan seleramu, jalanin. Kalau gak cocok ya jangan dipaksain.”

“Tapi Mamie tentu punya alasan kenapa mau menjodohkanku dengan anak Tante Surtini.”

“Tentu ada dasarnya. Mamie ingin agar harta kita tidak jatguh ke orang luar. Lagian Vivi itu cantik sekali Bon. Makanya kapan - kapan kamu main aja dulu ke Semarang. Lihat dulu anaknya.”

“Tante Surti sudah tau kalau Mamie berniat akan menjadikan anaknya sebagai menantu?”

“Tentu aja sudah tau. Tempo hari waktu Surti datang ke sini, mamie sudah berunding dengannya. Tapi dia juga sepoendapat dengan mamie, takkan memaksakan kehendak baik kepada Vivi mau pun kepadamu. Kenalan aja dulu deh. Lagian anaknya juga masih sekolah. Biarkan dia selesaikan dulu SMAnya. Baru kita buat rencana selanjutnya.

“Umurnya berapa tahun sekarang?” tanyaku.

“Sudah hampir delapanbelas tahun.”

“Hampir delapanbelas tahun masih di SMA?”

“Dia itu terlambat dimasukkan ke SD. Karena ayahnya meninggal pada saat Vivi belum sekolah. Kalau nggak salah, umur tujuh tahun baru dimasukkan ke SD.”

“O, pantesan…” ucapku sambil memeluk Mamie dari belakang, “Tapi biarlah soal; itu sih gak usah diseriuskan dulu. Kan anaknya juga masih sekolah. Yang penting… aku udah kangen sama Mamie…”

“Mamie juga udah kangen…” sahut Mamie yang membiarkanku menyelinapkan tangan ke balik celana dalamnya.

“Mamie gak diet lagi ya… perasaan Mamie jadi makin gemuk. Tapi justru seksi di mataku.”

“Kamu belum tau ya kalau Mamie lagi hamil.”

“Haaa?! Mamie lagi hamil?! Berapa bulan?”

“Sudah tiga bulan.”

“Lho… kok Mamie gak cepat ngasih tau aku?” cetusku dengan pikiran melayang - layang ke arah lain. Ke arah Tante Tari yang sedang hamil juga. Bahkan terawanganku jauh ke depan. Bahwa kalau kehamilan Mamie sudah tiga bula, sementara kehamilan Tante Tari baru 5 minggu, berarti kelak Mamie yang akan duluan melahirkan.

“Mamie juga baru tau seminggu yang lalu,” kata Mamie, “Tadinya mamie pikir hanya telat datang bulan biasa. Tapi setelah mamie merasa sering mual - mual, mamie memeriksakan diri ke dokter. Ternyata mamie sedang hamil… jadi perut mamie ini sudah ada janin dari benihmu, Sayang.”

“Iya. Nanti kita atur bagaimana caranya agar Mamie tikdak membuat heboh orang luar. Sembunyi di Jogja aja ya. Gak usah jauh - jauh.”

“Iya, mamie mau mengikuti caramu aja. “

Lalu Mamie melepaskan gaun tidur merahnya, diikuti dengan pelepasan beha dan celana dalamnya yang berwarna merah juga. Kemudian Mamie merebahkan diri di atas bed sambil beretanya, “Mamie masih menarik dalam keadaan sedang hamil begini?”

“Justru Mamie semakin menggiurkan dalam keadaan hamil begini. Ohya… Mamie hamil baru tiga bulan, tapi perutnya keliatan sudah mulai membesar ya Mam?”

“Mamie kan gak hamil juga perutnya agak buncit. Apalagi dalam keadaan hamil begini,” kata Mamie sambil memperhatikanku yuang tenbgah melepaskan segala yang melekatg di tubuhku, sampai telanjang bulat seperti Mamie.

Kemudian aku naik ke atas bed. “Mamie masih boleh disetubuhi kan?”

“Ya masihlah. Dulu waktu kamu masih berada di dalam perut mami juga, sampai usia kandungan mamie delapan bulan, masih digauli oleh ayahmu.”

“Ohya… ayahku itu di mana sekarang Mam?”

“Gak tau. Dengar - dengar sih di Tegal. dekat pantai katanya sih, karena dia jadi nelayan setelah melarikan diri dari Jogja itu.”

“Boleh aku tau siapoa nama ayahku itu Mam?”

“Pramono. Tapi biasa dipanggil Mono aja.”

“Boleh pada suatu saat aku cari dia?”

“Tentu aja boleh. Karena biar bagaimana pun dia itu ayah kandungmu.”

Percakapan tentang ayah kandungku, yang aku belum tahu seperti apa bentuknya, lalu terputus. Karena kontolku sudah melesak masuk ke dalam liang memek Mamie. Bahkan sesaat kemudian aku mulai mengentotnya, dengan kedua siku menahan tubuhku, agar tidak menggencet perut Mamie yang sedang hamil itu.

“Mam… ooooohhhh… waktu hamil gini tempik Mamie kok malah lebih enak Mam…” ucapku terengah.

“Mungkin sudah diciptakan dari sononya, supaya suami makin rajin ngentot istrinya yang sedang hamil. Makanya kamu harus semakin rajin nyetubuhin mamie ya Bon.”

“Iya Mam… kalau perlu aku akan tidur di sini lagi, supaya gak susah kalau lagi kepengen ngentot Mamie.”

“Nggak harus tidur di sini terus. Kan bisnismu juga harus diurus Sayang. Ooooh… Bona Sayaaang… ini mulai enak Booon… entot terus Sayaaang… luar biasa enaknya niiiihhh…”

Aku sendiri tidak mengerti, kenapa tiap kali menyetubuhi Mamie, aku merasakan nikmat yang luar biasa? Apakah karena dibantu setan?

Entahlah. Yang jelas, dibandingkan dengan cewek yang masih perawan pun, memek Mamie ini tetap lebih nikmat bagiku.

Ketika aku mulai gencar mengentotnya, aku rasakan liang memek Mamie memang lain dari yang lain. Rasanya kenyal dan legit, ada gerakan mpot - mpotan pula di dalamnya. Ini yang tidak ada di memek perempuan - perempuan yang pernah kugauli. Hanya Mamie yang punya mpot ayam begini. Disebvut mpot ayam, karena kalau pantat ayam ditiup, suka mpot - mpotan.

Karena itu setiap kali aku mengentot Mamie, selalu saja terawanganku dibuat melayang - layang di langit tinggi. Langit yang bertaburkan bunga - bunga surgawi, diiringi bunyi merdu gamelan nirwana.

Kini, dalam keadaan hamil, liang memek Mamie malah semakin enak saja rasanya. Sepasang toketnya yang lebih gede daripada biasanya, juga semakin enak buat ditepuk - tepuk, diremas - remas dan diemut pentilnya.

“Bonaaaa… aaaaaa… aaaaahhhh… ini luar biasa enaknya Booon… sudah lama kamu nggak ngentot mamie yaaaa… ooooh… Boooon… Boooon… entot terus Booon… tapi jangan terlalu lama ya. Kalau bisa barengin sama mamie ntar… kalau terlalu lama kasihan bayinya digoncang - goncang terus sama kontol ayahnya…

Aku mengiyakan sambil tetap mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mamie yang kenyal dan legit ini. Sementara keringat pun mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Mamie.

Sampai pada suatu saat… terdengar bisikan Mamie, “Mamie udah mau keluar… ayo barengin Sayang…”

“Iya Mam,” sahutku sambil memacu kontolku secepat mungkin. Sementara Mamie sudah berkelojotan. Dan akhirnya mengejang tegang.

Tapi aku merasa masih jauh dari ejakulasi. Karena itu aku berpura - pura sedang ngecrot, sambil membenamkan kontolku sedalam mungkin, sambil kukejut - kejutkan seolah - olah sedang ngecrot. Padahal aku bvelum apa - apa.

Liang memek Mamie pun terasa mengejut - ngejut, sementara liang memeknya terasa banjir dengan lendir kewanitaannya.

“Duuuuh… luar biasa nikmatnya, “cetus Mamie sambil mengecup bibirku dengan mesra.

Aku malah menyahut lain, “Tante Tari juga sedang hamil Mam.”

“Haaa?! Mmmm… sudah berapa bulan hamilnya?” tanya Mamie yang tampaknya tidak sadar bahwa kontolku dicabut dalam keadaan masih ngaceng.

“Baru lima minggu,” sahutku.

“Artini belum hamil kan?”

“Belum.”

“Kalau begitu, setelah perut mamie mulai membuncit sekali, mamie mau sembunyi di rumah Tari aja. Ayo kita ke rumahnya sekarang Bon.”

“Nggak terlalu malam Mam?”

“Kalau buat orang lain memang sudah malam benar. Tapi kita kanb keluarga. Bukan orang jauh. Ayo kita ke rumah Tari sekarang Bon.”

“Baik Mam. Sebentar, mau pipis dan bersih - bersih dulu,” sahutku sambil bergegas menuju kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, aku sudah melarikan mobil ke arah Jogja. Dengan Mamie yang duduk di samping kiriku.

“Bagaimana perasaan Mamie setelah tahu bahwa Mamie sedang mengandung?” tanyaku di tengah kegelapan malam.

“Bahagia. Karena sebenarnya sejak mamie tinggal di Hongkong, mamie ingin sekali punya anak lagi. Tapi mantan suami almarhum memang mandul. Dia sudah nikah kedua kalinya waktu dengan mamie itu. Dari perkawinan pertamanya pun tidak punya anak. Baru sekarang mamie bisa punya anak.”

“Nanti aku bakal punya anak dua orang secara bverturut - turut. Dari Mamike dan dari Tante Tari.”

“Kalau Artini hamil juga, berarti anakmu bakal jadi tiga orang.”

“Kalau Tante Artini hamil juga, siapa yang bakal ngurus Mamie dan Tante Tari?”

“Sebenarnya gampang soal itu sih. Nanti kita kan bisa menggaji zuster. Buat ngurus mamie seorang, buat ngurus Tari seorang.”

“Iya sih. Yapi harus memilih zuster yang bisa menyimpan rahasia kita Mam.”

“Iya. Dengan gaji yang lebih besar daripada gaji perawat pada umumnya, mereka akan bisa menyimpan rahasia kita Bon. Lagian kehamilan seperti yang mamie alami ini, bukan masalah aneh lagi di zaman sekarang.”

“Mam… sebenarnya tadi aku belum ngecrot. Aku terpaksa berpura - pura, m karena takut membuat Mamie tersiksa.”

“Ohya?! Kamu nakal ya… berarti sekaranmg masih ngaceng?” tanya Mamie sambil menarik ritsleting celana jeansku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku dan menjamah kontolku yang memang masih ngaceng ini.

“Hihihiii… beneran masih ngaceng nih. Kasian anak mamie… jadi tadi saking sayangnya sama mamie, kamu dibela - belain gak sampai ngecrot?”

“Heheheee… iya Mam. Aku kan gak tega kalau Mamie merasa tersiksa tadi.”

“Ya udah… nanti kita lanjutkan di rumah Tari aja ya. Biar kamu puas, sekalian Tari juga kita ajak main threesome.”

“Iya Mam.”

“Ohya… bukan hanya threesome, kan ada Artini juga. Jadi bisa foursome. Mampu kamu bikin orgasme tiga orang?”

“Tadi sebelum pulang aku sempat ke rumah Tante Tari dulu. Tante Artini lagi pulang dulu ke rumahnya yang akan dijadikan supermarket Mam.”

“Owh… iya ya. Mamie juga belum sempat nengok kegiatan Artini setelah rumahnya dirombak atas dukungan Tari ya. Tapi kalau rumah dan rumah kos itu sih mamie yang modalin.”

“Iya Mam. Tante Artini pernah cerita soal itu. Makanya dia sangat patuh sama Mamie.”

“Ya harus patuh lah. Kalau orang tua sudah tiada, adik harus patuh kepada kakak. Makanya tarti juga patuh sama Mamie, walaupun dia sudah tajir melintir gitu.”

“Tante Tari juga pernah cerita, katanya Mamie paling sayang sama dia. Makanya dia juga sangat sayang kepada Mamie.”

Beberapa saat kemudian mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Tante tari. Mamie menelepon sebelum turun dari mobil, “Tari… ini aku di depan rumahmu.”

Kemudian pintui depan dibuka oleh Tante tari sendiri. Dan tampak sumringah ketika melihat kami datang. Dia memeluk Mamie sambil cipika - cipiki. Dan tanpa canggung dia pun cipika - cipiki yang dilanjutkan dengan ciuman mesra di bibirku.

“Kamu cuma sendirian sekarang?” tanya Mamie kepada adiknya.

“Ada pembantu dua orang,” sahut Tante Tari, “Tapi jam segini udah pada ngorok Mbak. Di depan juga ada satpam yang jagain. Mungkin karena melihat mobil Bona, mereka gak mau nyamperin, takut merasa terganggu Bonanya.”

Kemudian Tante Tari mengajak kami ke ruang keluarga yang sudah ditata sedemikikan mewahnya.

“Kamu gak kaget didatangi malam - malam gini?” tanya Mamie yang duduk berdampingan dengan Tante Tari.

Sambil mengusap - usap tangamn Mamie, Tante tari menjawab, “Nggak. Masa didatangi keluarga pakai kaget segala. Mbak dan Bona mau pada nemenin aku kan?”

Mamie membelai rambut Tante Tari, lalu berkata, “Begini… Bona bilang kamu mulai hamil ya?”

“Iya Mbak. Sudah bertahun - tahun aku ingin hamil. Tapi ternyata baru sekarang bisanya.”

“Aku juga sama,” kata Mamie sambil mengusap - usap perutnya sendiri, “Kandunganku malah lebih tua daripada kandunganmu. Jadi kalau sama - sama lancar, aku bakal duluan melahirkan anak Bona nanti.”

“Ohya?! Kalau begitu, Mbak tinggal di sini aja sampai bayinya lahir. Supaya aku ada temen.”

“Memang tujuanku juga begitu Sayang. Begitu denger kamu hamil, aku langsung ingin tinggal di sini, tapi nanti kalau perutku sudah gede. Makanya malem - malem juga maksain dateng ke sini. Lagian Bona udah kangen juga sama kamu katanya.”

“Tadi siang Bona kan baru ke sini,” kata Tante Tari sambil tersenyum padaku.

“Memang ke sini, tapi gak ngapa - ngapain… karena keburu dengar aku mau dijodohkan itu. Jadi penasaran, ingin dengar dari mulut Mamie langsung.”

“Ya udah… nanti Bona kita keroyok, biar dia puas ya,” kata Mamie sambil menepuk lutut Tante Tari.

Tante Tari pun mengangguk sambil tersenyum.

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top